Kopi dan Sturkturalisme ; Sebuah Alibi Penikmat Kopi
Bismillahirrahmanirrahim...
Hari ini saya pulang
lebih awal, Prof. Sangidu yang mengampu mata kuliah Sastra Anak tengah berada
di luar kota. Kelas pun diliburkan dan mahasiswa dipersilahkan melanjutkan
aktifitas masing-masing. Ada yang mabit di kampus dengan berbagai motif,
misalnya wifi-an, rapat organisasi, atau sekedar menghabiskan waktu lantaran
enggan kembali ke kos yang mereka anggap membosankan.
Ada pula mahasiswa yang
memilih belanja, jalan-jalan, bekerja, dan yang paling mainstream; kembali ke
kos. Saya contohnya. Karena itu di sore ini saya bisa kembali menggoreskan
kata-kata absurd ditemani secangkir kopi hangat. Sebagai mana yang pernah saya
utarakan, ngopi sambil nulis atau membaca merupakan salah satu aktifitas paling
membahagiakan bagi diri ini. Bukan lantaran ingin kelihatan pintar, tapi
begitulah yang saya rasa.
Oiya, beberapa waktu ke
depan sepertinya frekuensi tulisan yang saya post di blog agak
berkurang. Ini dikarenakan beberapa
aktifitas yang memang akan menyita waktu dan laptop yang sepertinya mulai
ngambek. Dari semalam Lenovo ini seolah minta dibanting, sampai-sampai saya
harus pinjam laptop teman untuk mengerjakan tugas. Siang tadi pun demikian, si
laptop merajuk laiknya permaisuri tengah datang bulan. Ajaibnya sore ini ia
kembali normal. Saya sih berharap seterusnya normal, tapi itu semua kan rahasia
langit. Manusia Cuma bisa merajut asa. Masalah takdir ? itu murni menjadi
rahasia-Nya.
Nah, kawan-kawan yang
dimuliakan Allah. Berhubung sore ini saya ditemani secangkir kopi, izinkanlah
diri ini menggoreskan untaian terima kasih melalui huruf demi huruf kepada si
kopi. Bagi saya kopi seperti kampung halaman. Ia mengandung rindu. Bukan rindu
biasa melainkan rindu membara yang harus dituntaskan. Ia juga memberi
kehangatan dan tak jarang berujung pada rasa tenang dan nyaman. Cobalah seruput
kopi Anda dengan segenap kesyukuran, resapi kolaborasi pahit-manisnya, dan
nikmati kepulan uapnya dengan hati yang tenang, niscaya kopi itu akan bertambah
nikmat berkali-kali lipat.
![]() |
sumber : google image |
Saya tidak akan mengambil
tajuk filosofi kopi dalam goresan kali ini, nanti dikira nyontek karyanya Dee
Lestari. Saya ingin sedikit mengaitkan antara kopi dan teori strukturalisme.
Sebuah teori bahasa yang kemudian diadopsi oleh ilmu sosial-humaniora lainnya.
Meski puncak nge-hits teori ini sudah lewat bukan berarti haram bagi saya untuk
membahasnya to? Soale jujur saja, ini salah satu teori favorit saya. Eh
bukan favorit deng, tapi satu-satunya teori yang–sementara ini–agak lumayan
nempel di jidat. Hehe. Sekarang lagi otw memahami beberapa teori lain. Mohon
doanya ya semoga dilancarkan.
Strukturalisme adalah
teori bahasa yang dicetuskan oleh Ferdinand de Sausure, seorang linguis
berkebangsaan Prancis. Kemudian teori ini dikembangkan oleh ilmuwan lain dalam
berbagai disiplin ilmu lain.
Jika melihat sekejap
mata, insya Allah kita bisa menerka seperti apa gambaran umum teori ini.
Strukturalisme berasal dari structure yang berarti bangunan. Struktur
sendiri dipahami sebagai sistem secara menyeluruh atau umum. Dalam Sosiologi,
Antropologi, dan Linguistik, strukturalisme adalah metodologi yang digunakan
untuk mengungkap struktur yang mendasari segala tingkah laku, pikiran, dan
perasaan manusia. Ada beberapa aspek dalam strukturalisme, diantaranya ;
langue-parole, signifier-signified, sinkronik-diakronik, dan
sintagmatik-paradigmatik.
Nah, saran saya jangan
memusingkan diri dengan istilah di atas, apa lagi bagi Anda yang pernah
mengambil jurusan IPA, karena sesungguhnya istilah-istilah di atas adalah
istilah linguistik. Kalau penasaran banget silahkan search di google,
karena dalam kesempatan ini saya hanya akan mengutip langue dan parole saja
untuk kemudian dikaitkan dengan kopi.
Untuk mempermudah
hadirian jama’ah internet sekalian dalam mencerna langue dan parole, izinkan
saya menyita waktu Anda sebentar saja untuk menyimak ilustrasi berikut :
Saya kelahiran Lombok
Timur namun tumbuh dan mimpi basah di Lombok Barat. Hal ini menyebabkan lisan
saya terbiasa berbahasa sasak (bahasa daerah di Lombok) dengan style Lombok
Barat. Kita ketahui bersama bahwa antar satu daerah dengan daerah lain yang
menggunakan bahasa yang sama pasti terdapat perbedaan. Bahasa Jawa Timur punya
beberapa perbedaan dengan bahasa Jawa Tengah atau Jogjakarta. Begitupun Lombok,
bahasa Lombok Timur memiliki sejumlah perbedaan dengan Lombok Barat, Tengah,
Mataram, hingga Lombok Utara. Baik dari segi mufradat, gramatika, hingga lahjah
atau dialek.
Uniknya, dalam komunitas
pengguna suatu bahasa, katakanlah bahasa sasak, kita bisa memahaminya dengan
baik meskipun berbeda dialek bahkan kosa kata. Misalnya, saat seseorang
bertanya “Kamu mau kemana?” orang Lombok Timur mainstream mengatakan “mbem
laiq?” sedangkan orang Lombok Barat akan ber-qola “mbe ne laiq?” atau “mbe jakn
laiq?” dan sebagian komunitas juga mengatakan “mbem aning?”. Semuanya bermakna
satu ; menanyakan kepada orang yang ditanya mau kemanakah dia. Ketika orang
Lombok Timur mengungkapkan dengan bahasanya sendiri kepada orang Lombok Barat,
niscaya orang Lombok Barat yang mendengar hal itu akan memahami apa maksudnya,
meskipun bahasa tuturan mereka berbeda. Begitupun sebaliknya. Ah semoga
ilustrasi ini tidak membuat Anda bingung ya, hehe.
Langue itu aspek
dasar-kolektif bahasa dan parole adalah aspek tuturan-individual bahasa. Parole
pasti berasal dari langue. Dari ilustrasi di atas kita menemukan fakta bahwa
dalam suatu komunitas masyarakat Sasak, tuturan “mbem laiq” “mbe jak ne aning”
dan lain-lain adalah parole. Sedangkan pemahaman atas semua ungkapan itulah
yang disebut dengan langue. So, langue adalah struktur mendasar dan parole
adalah stuktur permukaan.
Nah, jika berangkat dari
teori ini, niscaya kita akan berasumsi bahwa perbedaan-perbedaan yang menghiasi
kehidupan fana ini berada dalam ranah permukaan, bukan pada aspek mendasar.
Misalnya, antara orang beriman pada Tuhan dan atheis, seyogyanya mereka
memiliki kesamaan, yakni sama-sama memiliki keyakinan yang kemudian berbeda di
permukaan, yang satu yakin Tuhan itu ada yang satunya lagi yakin Tuhan itu
tidak ada. Nah kenapa bisa berbeda padahal aspek mendasarnya sama ? hal itu
bisa dikaji dengan teori dan pendekatan lainnya. Tentu faktor ideologi,
lingkungan, pendidikan, dan psikologi memiliki pengaruh dalam perkembangan
keyakinan dan pribadi seseorang.
Lantas kaitannya sama
kopi apa, bang?
Apa ya? bentar, nyari
wangsit.
Aha, jadi gini.
Ehem....ehemm...
Saya selalu bangga
memproklamirkan diri sebagai pencinta kopi garis keras. Sayangnya saya dianggap
pencinta kopi abal-abal lantaran waktu ditanya nama-nama kopi saya hanya melongo
nggak mudheng (nggak ngerti). Bahkan sampai saat ini saya ndak bisa
membedakan mana coffe late, kopi arabika, kopi tubruk, kopinang kau dengan
bismillah, sumpah saya ndak tahu.
Kenapa saya ndak berusaha
mencari tahu nama-namanya agar mendapat pengakuan dari orang lain sebagai
pencinta kopi? Karena saya tahu bahwa jenis-jenis kopi yang bejibun jumlahnya
itu ibarat parole, ibarat ungkapan individual bahasa yang berbeda antar satu
orang dengan orang lain. Semua jenis kopi memiliki satu aspek mendasar (langue)
yang sama, yakni teracik dari campuran kopi + gula. Adapun campuran lain
seperti crimer, jeruk nipis, atau sianida adalah penyempurna belaka. Artinya
ketika kopi tanpa crimer ia masih bisa dikatakan sebagai kopi. Pun ketiadaan
sianida tak kan mengubah status kopi tersebut di mata hukum.
(Duh, bahasa saya
terkontaminasi bang Otto Hasibuan nih, gara-gara sering update sidang si cantik
Jessica, mohon dimaafkeun).
Beberapa waktu lalu
lantaran rapat dengan beberapa senior saya terpaksa memesan secangkir kopi
arabian dengan bandrol 9 ribu, itu setara dengan satu porsi nasi telor, sebuah
krupuk, dan segelas es teh di warung burjo. Bagi saya–yang belum bisa nyari
duit sendiri–itu termasuk mahal. Meskipun rasanya lumayan nikmat. Pernah pula
saya memesan secangkir kopi yang entah apa namanya, saya lupa, di sebuah
bandara seharga 20 ribu. Sekali lagi, bagi anak kos yang tahu diri dan
sederhana macam saya ini angka itu pun mahal.
Tapi bagi saya, kopi
tetaplah kopi, terbuat dari racikan kopi yang pahit dan gula yang manis
kemudian diseduh dengan air mendidih. Apapun wujud, nama, dan takarannya, kopi
tak kan terbuat dari racikan kopi dan garam. Bubuk kopi dan butiran gula
menjadi aspek mendasar yang tak kan tergantikan. Maka untuk apa menghafal
nama-nama kopi yang bejibun jika dirimu tetap menyukainya.
Sungguh apapun bentuk
kopi, saya tetap setia mencintainya. Pun dengan istri saya kelak, bagaimanapun
dandanannya, saya akan tetap mencintainya. Sekian dulu alibi dari pencinta kopi
ini. Wassalam!!
‘IsyKarima!!! Hiduplah
dengan mulia.
Jogjakarta,
28 September 2016
19:02 WIB
Muhammad
Izzuddin
Komentar
Posting Komentar