Rokok dan Filosofi "Terima Kasih"



Rasanya, ada-ada saja isu yang muncul silih berganti, menghangatkan atmosfer perdebatan di ranah publik. Seiring isu yang mencuat beragam tanggapan pun selalu ikut menemani. Setelah disuguhi polemik dwi kewarganegaraan dengan tokoh utama si paskibra manis Gloria dan menteri BUMN demisionar, Arcanda Tahar, kini kita disuapi lagi dengan isu kenaikan harga rokok yang konon katanya akan naik 100% dalam waktu dekat.
Bagi mereka yang bukan pecandu rokok tentu ini bukan masalah berarti. Bahkan banyak yang bersyukur dengan kebijakan ini. Klaim angka kemiskinan akan menurun, Indonesia lebih sehat, atau peningkatan pendapatan negara jadi alibi kuat yang mereka lempar ke publik.
Lain halnya mereka, para konsumen setia rokok. Isu kenaikan rokok sedikit banyak mengusik ketenangan bathin, bagaimana tidak ? taruhlah harga rokok per bungkus Rp. 50.000. asumsinya per-hari minimal menghabiskan 1 bungkus, maka sebulan mereka harus mengalokasikan dana sebesar 3 juta rupiah untuk rokok tok. Angka yang tidak sedikit bukan ? setahun mereka harus keluar duit 36 juta untuk badget rokok. Bisa jadi DP mobil ya ? bahkan ongkos umrah pun Insya Allah cukup. Kalau buat nikah ? entah lah, tanyakan pada mereka yang sudah ijab sah.


Di lain sisi, harus kita akui rokok sudah mendarah daging begitu kuat bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Dari pejabat, rakyat melarat, preman, pelajar, santri, cendikiawan hingga barisan para kiyai pun banyak yang hobi merokok. Maka tidak heran banyak yang berkeberatan dan bermasygul ria jika benda berbentuk silinder memanjang itu naik harganya.
Saya pribadi berpendapat pemerintah harus mengkaji ulang rencana kenaikan harga rokok ini. Jangan hanya ditinjau dari segi pragmatisnya saja. Berapa persen keuntungan pendapatan, atau berapa persen perbaikan kesehatan masyarakat, tapi kaji juga dari segi kultur-budaya. Bukan tidak mungkin jika kenaikan harga rokok tidak diimbangi dengan follow up dan langkah antisipasi yang strategis, kenaikan tersebut bisa menimbulkan gejolak hebat di masyarakat. Misalnya, angka kriminalitas meningkat disebabkan banyak jambret dan begal akan beroperasi lebih intens supaya bisa beli rokok. Juga ancaman stabilitas politik dan keamanan nasional, ini yang harus diwaspadai Jokowi. Bukan tidak mungkin para penikmat rokok yang jumlahnya Masya Allahu Akbar itu bersatu dan mengkudeta Presiden Jokowi. Kan kurang keren kalau beliau dikudeta gara-gara masalah rokok. Mbok ya yang kerenan dikit lah, biar elegan dalam sejarah gitu. Jangan remehkan kekuatan perokok aktif yang jumlahnya pasti lebih banyak dari followers-nya Jonru atau Tere Liye itu.
Saya sengaja tidak melihat isu ini dari segi ekonomi maupun kesehatan. Ada banyak argumen pro-kontra dari aspek tersebut yang gampang ditemui baik di media sosial maupun surat kabar. Sisi positif negatif tentu akan selalu ada. Dan saya–sebagai orang yang tidak merokok–mendukung kebijakan kenaikan harga rokok ini asalkan ada langkah antisipasi yang strategis dari pemerintah. Kalau ndak ada ya lebih baik jangan dinaikkan dulu lah.
Sebagai orang yang tidak merokok namun berkomunikasi dengan perokok aktif tidak jarang saya mendapati debat kecil-kecilan tentang lebih baik merokok atau tidak. Nah, ada satu alibi yang mainstream diajukan oleh barisan anti rokok. Alasan yang sebenarnya agak pragmatis ; andai saja duit buat rokok itu ditabung, dengan asumsi harga rokok Rp. 20.000 per bungkus per hari. Seandainya duit 20 ribu itu ditabung sebulan maka kita akan mendapatkan 600 ribu. Kalau setahun ; 600 ribu x 12 = 7.200.000. Setahun aja ndak ngerokok kita bisa kredit motor, beli laptop, atau yang lainnya.
Sayangnya mereka–barisan anti rokok–abai terhadap realita. Secara teoritis dan praktis hidup (yang berkaitan dengan materi) bukan hanya masalah perkalian, tapi ada kalanya penambahan, pengurangan, hingga pembagian. Ndak selamanya materi bisa dikalkulasi, akan ada saatnya kita sakit dan keluar duit untuk beli obat, ada saatnya teman datang minjam atau bahkan minta duit ke kita saking butuhnya. Ada saatnya pula kita mendapat tambahan rezeki dari arah yang tak disangka.
Kita begitu mudah mengucapkan terima kasih namun kerap abai akan makna filosofisnya. Setiap mendapatkan rezeki berupa materi kita sering bilang “terima kasih”. Ungkapan tersebut terdiri dari dua kata, “terima” dan “kasih”. Harusnya setiap mengucapkan kalimat ini kita menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa ada kalanya kita menerima rezeki dan ada saatnya pula kita harus kasih rezeki itu kepada orang lain.
Hal ini sejalan dengan ajaran Abah Husni dalam teori pembelajaran rekognitif. Materi harus diposisikan sebagai sarana, bukan tujuan. Materi adalah amanah yang harus digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan, bukan untuk disimpan dan diagung-agungkan. Kita–manusia–memiliki martabat yang lebih tinggi dari materi, maka marilah kita belajar melihat materi sebagai amanah Tuhan agar dijadikan sarana dalam mengupayakan kebaikan demi kebaikan.
“Bang, bentar dulu deh, pembelajaran rekognitif ini maksudnya apa?”
Anu, Dek. Ehm, panjang penjelasannya. Sekarang Abang lagi OTW mengkhatamkan buku yang membahas tentang itu. Nanti kalau sudah kelar dan kerangka bukunya bisa ketangkep di pikiran ini insya Allah Abang share via blog ya.
Oke, sekian dulu. Sudah waktunya solat magrib untuk daerah Jogja dan sekitarnya. Tetap semangat !! Teruslah belajar !!!
IsyKarima !!! Hiduplah dengan mulia!!!

Jogjakarta, 22 Agustus 2016
18:04 WIB

Muhammad Izzuddin

“Bang!! Bang!!! Yah, kok kabur sih, ane penasaran nih sama pembelajaran rekognitif itu” -_-


Komentar

Postingan Populer