Al-Qur'an Bukan Bikinan Muhammad
Beberapa waktu lalu, di
sebuah grup WA yang saya ikuti terjadi diskusi–cenderung debat–yang cukup
mengusik hati. Adalah si Fulan, seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi
negeri di Jogja mengatakan bahwa istilah kitab suci itu salah kaprah, karena ia
percaya ndak ada kitab yang suci, semua kitab umat beragama adalah buatan
manusia, include al-Qur’an.
Tak ayal, keyakinannya
yang begitu paradoks dengan keyakinan mainstream penghuni grup memantik
adu argumen yang tak berkesudahan. Si Fulan meyakini bahwa al-Qur’an adalah
wahyu namun redaksi bahasanya itu bikinan Nabi Muhammad, jadinya ndak sah kalau
al-Qur’an diklaim sebagai kitab suci, wong yang bikin manusia. Kecuali
kalau redaksinya dari Allah baru sah dikatakan sebagai kitab suci.
Dengan jumawa ia
menantang, “berikan bukti ilmiah dan logis kalau redaksi al-Qur’an itu dari
Allah, saya ndak mau pake dalil agama, karena kalau pake dalil itu artinya al-Qur’an
mengklaim diri suci”
FYI, saya ndak sempat
ikut nimbrung di grup tersebut disebabkan terlambat muncul (online). Ndak tega
rasanya menyela disaat perdebatan lagi hangat-hangatnya, maka jadilah saya SR (Silent
Reader) saat itu. Maka melalui blog ini saya ingin mencurahkan beberapa
poin yang rasanya bisa dijadikan tambahan renungan untuk meyakini bahwa
al-Qur’an bukan buatan nabi Muhammad.
Nabi Muhammad kan
nggak bisa baca dan nulis, ya kali bikin tulisan sebegitu indahnya?
Islam lahir disaat
jazirah Arab tengah mencapai puncak peradaban, utamanya di bidang sastra. Ada
banyak pujangga masyhur nan cerdas hidup pada zaman itu. Bahkan ka’bah sendiri
pada saat itu selain difungsikan sebagai tempat sembahyangnya kaum pagan juga
digunakan sebagai tempat pembacaan puisi, syair, dan adu kemahiran antar
penyair.
Inilah alasan mengapa
mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW berupa al-Qur’an. Sebuah kitab yang berjiwa
sastra tinggi. Tentu untuk memahami nilai-nilai sastra dalam al-Quran kita
harus melihatnya dari perspektif sastra arab. Kalau saya jabarkan aspek-aspek
keindahannya tentu membutuhkan space yang tak sedikit. Dari perspektif
morfem, sintaks, ataupun stilistika, ada keindahan-keindahan tersendiri yang
akan membuat orang-orang–yang peka dengan sastra–berdecak kagum.
Nabi Muhammad menerima
wahyu dalam kondisi ummi, ummi ini maksudnya ndak bisa membaca pun menulis.
Sehingga sangat logis jika Nabi Muhammad, sebelum menyebarkan Islam dan
mengajarkan al-Qur’an ndak pernah membaca tulisan apapun, apalagi puisi, syair,
dan lain sebagainya. Logikanya, apa masuk akal orang yang buta sastra tiba-tiba
bisa bikin karya sastra yang maha indah? Lain ceritanya kalau nabi Muhammad
saat itu adalah penyair. Wajar orang-orang ragu dengan al-Qur’an yang beliau
bawa dan mengklaim al-Qur’an itu buatan beliau.
Hal inilah yang Allah
maksudkan dalam QS. Al Ankabut: 48
ﭽ ﮄ ﮅ
ﮆ ﮇ ﮈ
ﮉ ﮊ ﮋ
ﮌ ﮍﮎ ﮏ
ﮐ ﮑ ﮒ ﭼ
“Dan kamu tidak
pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) sesuatu kitabpun dan kamu tidak (pernah)
menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan
menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).”
Daya ingat orang Arab
itu kuat
Hal ini pernah diutarakan
salah seorang dosen saya. Nama-nama orang Arab nggak ada yang panjang. Palingan
cuma satu kata, tapi mereka hafal dengan baik nama bapak, kakek, eyang, hingga
buyut-buyutnya ke atas. Tengok saja nama sahabat-sahabat nabi, rata-rata satu
kata semua, Umar, Usman, Ali, Zaid, dan lain-lain.
Budaya menghafal ini pun
masih mengakar kuat hingga sekarang. Maka jangan heran pendidikan di timur
tengah lebih banyak menekankan pada hafalan. Siapa yang hafalannya baik dialah
yang lulus. Beda dengan pendidikan barat yang lebih menekankan pada pemahaman
dari pada hafalan.
Jika orang Arab hari ini
ingatannya masih kuat apalagi orang-orang zaman nabi dulu. Jelas lebih kuat
lagi. Maka ketika Jibril membacakan firman Allah, jleb, Nabi Muhammad langsung
hafal. Kemudian beliau ajarkan ke para sahabat, jreng, seluruh sahabat langsung
hafal. Ndak ada ceritanya nabi lupa satu-dua kata firman Tuhan terus mengarang
sendiri saat menyampaikan wahyu, atau waktu Jibril lagi menyampaikan wahyu nabi
minta diulangi kembali karena belum hafal.
Wes, nabi itu ingatannya top jadi apa yang
Allah wahyukan beliau hafal banget dan itu yang beliau ajarkan kepada kaum
muslim. Titik.
Al-Quran itu Ajaib
“Ajaibnya apa, Bang?”
Sebagaimana testimoni
TGB, siapa saja yang punya “kehendak” menghafal al-Qur’an pasti bisa
menghafalkannya. Ini bukan klaim dari al-Qur’an sendiri lo, tapi fakta empirik
yang berbicara. Ada berapa huffadz (penghafal Qur’an) di dunia sekarang?
Banyak sekali bukan ?
Bandingkan dengan Anda
diberi satu buah novel setebal 100 lembar, misalnya, kemudian Anda coba
hafalkan sampai tanda bacanya. Ribet nggak ? susah nggak ? terus kalau hafal
al-Qur’an gimana ? tahaddust binni’mah, terasa lebih mudah dari pada
menghafal bacaan lain.
Harusnya hati Ente
tersentuh dengan fenomena ini. Kalau bukan karena al-Quran itu kalam Allah ndak
mungkin kita mudah menghafalnya. Wallahu a’lam.
Berilmu itu baik, tapi
iringi dengan keimanan yang kuat pula. Ilmu dan iman itu bukan dua hal yang
terpisah. Tapi, sungguh, ia adalah dua permata yang bisa bersatu dalam kalbu
setiap hamba. Maka padukan ia, seimbangkan volumenya. Jadilah ilmuwan yang
beriman, jadilah mukmin yang berilmu. Jangan Cuma ilmu ae, pun ndak
cukup dengan iman tok.
Semangat!!!
IsyKarima!!! Hiduplah
dengan mulia!!!
Jogja, 28
Agustus 2016
17:20 WIB
Muhammad
Izzuddin
Komentar
Posting Komentar