Pendidikan, Kabarmu Kini
Beberapa waktu lalu,
menteri pendidikan yang baru, Prof Muhajir mewacanakan full day scholl sebagai
gerakan awalnya memimpin kementerian tersebut. Pengganti Anies Baswedan itu
mengklaim full day scholl akan mampu mengurangi tingkat penyimpangan
yang dilakukan oleh pelajar seperti keluyuran, nongkrong, dan lain sebagainya.
Ia juga meyakini terobosan tersebut mampu mengoptimalkan peran orang tua dalam
mengawal dan menjaga anak-anak mereka. Karena nantinya, anak akan pulang
sekolah berbarengan dengan orang tua mereka yang pulang kerja pada sore hari.
Usulan dari menteri baru
ini pun menimbulkan polemik baik di kalangan pendidik, siswa, orang tua, dan
barisan pengamat amatiran yang tak sempat diekpose media. Saya adalah salah
satunya. Berhubung TV One, Metro TV, hingga TVRI tidak berminat mewawancarai
dan memintai pendapat saya terkait wacana ini, maka dengan sangat terpaksa saya
akan menyampaikan pandangan melalui blog sederhana ini.
Bismillah, saya pribadi
tidak menyalahkan bapak menteri. Karena saya haqqul yaqin, ide tersebut
lahir dari kepedulian beliau terhadap carut marutnya pendidikan di tanah air
tercinta. Toh bapak wapres juga mendukung wacana tersebut. sederhananya, kalau
anak-anak sekolah pulangnya berbarengan dengan orang tua yang pulang kerja, otomatis
mereka ndak punya waktu untuk bernakal-nakal ria. Di sekolah mereka akan
diawasi dan dididik oleh para guru. Malamnya pun mereka mestinya mengerjakan
tugas atau istirahat karena kecapean di sekolah.
Tapi yang namanya niat
dan tujuan baik belum tentu ditanggapi baik pula oleh publik. Buktinya muncul
tanggapan yang sebagian besar menolak wacana tersebut. Siswa nanti kecapean.
Kalau full day scholl diterapkan, kapan waktu untuk ekskul ?. full
day scholl ? haha, nanti gurunya mau digaji berapa ? dan berbagai alasan
lainnya.
Nah hadirin jama’ah
internet yang diselamatkan Allah. Saya sempat termangu saat tanggapan “nanti
gurunya digaji berapa?” itu muncul. Termangu karena ; (a) benar juga, otomatis
jam mengajar guru akan bertambah, lalu bagaimana cara menyesuaikan gaji mereka
? (b) setelah menyadari poin (a) saya pun bingung dan bertanya-tanya, sejak
kapan proses belajar-mengajar ini dikomersialkan? Mengingat ilmu itu adalah
perkara mulia, bahkan dalam agama ilmu itu bagaikan nur (cahaya). Apa
pantas ilmu yang mulia itu diperjual belikan ?
Mari kita flashback sejenak
ke zaman Rasulullah SAW. Pada zaman tersebut Rasulullah intens memberikan
wejangan dan nasihat serta tambahan pengetahuan kepada sahabat-sahabat beliau.
Dan itu semua gratis. Ndak pernah kita mendengar riwayat yang menceritakan Umar
bin Khattab membayar sekian dinar untuk SPP kepada Rasulullah. Rasulullah
mendidik sahabat-sahabat beliau lantaran cinta dan tanggung jawab. Cinta pada
sahabat-sahabat beliau dan bertanggung jawab atas pengetahuan dan pemahaman
yang telah Allah berikan. Hal ini berlanjut di masa sahabat, tabiin dan tabi’ut
tabi’in, serta ulama-ulama seterusnya.
Hanya saja, orang-orang
dahulu, sadar betul pengetahuan itu mahal dan mereka juga peka bahwa untuk
mendapatkan ilmu, mereka wajib menghormati dan memuliakan ahli ilmu. Maka tanpa
diminta mereka dengan suka rela “memberi” sesuatu kepada guru-guru mereka.
Kesimpulannya, para pendahulu kita yang menjadi guru, ustadz, ulama dan
sejenisnya adalah orang-orang yang ikhlas mengajar tanpa pamrih. Dan mereka
yang menjadi murid adalah generasi yang peka dan cinta kepada guru-guru mereka,
sehingga tanpa diminta pun mereka akan rutin memberi dan mencukupi kebutuhan
guru-gurunya. Ini bukan doktrin, tapi tradisi yang membudaya dikalangan pencinta
ilmu. Bagi teman-teman yang pernah belajar kitab ta’limul muta’allim pasti
sependapat dengan saya.
Dan semua berubah saat
virus materialisme menyerang.
Pelan namun pasti, dan
mau tidak mau, kita dipaksa untuk mengadopsi paham-paham materialisme, hedonisme,
dan kawan-kawannya. Hal ini merupakan konsekuensi dari kolonialisme peradaban
yang mengungkung hampir seluruh dunia. Barat menjadi tokoh utama dan biang
kerok semuanya. Tapi bukan mereka yang salah. Kita lah yang salah karena
terlalu lemah dalam segala aspek sehingga dengan sangat mudah mereka menguasai
peradaban hingga kini.
Pendidikan, menilik kamus
besar bahasa Indonesia merupakan proses pengubahan dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan
; proses, cara, perbuatan mendidik. Singkatnya pendidikan adalah revitalisasi
nilai moral seseorang atau kelompok. Tujuan pendidikan adalah membuat orang
menjadi baik. Bukan menjadi pintar.
Namun apalah daya,
disorientasi dan degradasi esensi dari pendidikan itu sendiri kini tak
terelakkan. Sekolah, universitas, dan pendidik berlomba-lomba mencetak generasi
cerdas namun abai mendidik mereka agar menjadi baik. Pendidikan pun bukan lagi
dipandang sebagai wadah pengabdian, namun sebagai komoditas transaksional. Maka
jangan heran–mohon maaf–banyak guru yang lebih fokus pada materi daripada
mengabdikan diri untuk pendidikan. Guru pun tidak bisa disalahkan terkait hal
ini. Karena sistem lah yang membuat mereka mau tidak mau seperti itu. Kebijakan
pemerintah laiknya sertifikasi guru, tunjangan fungsional, dan lain-lain telah
memicu dan menyita perhatian para pendidik. Andai saja pemerintah ingin
mensejahterakan guru, ya sudah kasih saja mereka uangnya, itu kan hak mereka, jangan
pakai acara pemberkasan dan konco-konconya. Toh para elit pejabat itu ndak
mungkin baca berkas setebel itu semua to ? Cuma formalitas saja.
Tulisan ini memang lebih
saya fokuskan pada reaksi yang muncul akibat wacana yang mencuat. Karena reaksi
itu lah yang mengusik kegelisahan saya. masalah program full day school
atau sejenisnya saya rasa ndak ada masalah, karena semuanya tentu bertujuan
baik, tinggal bagaimana mengeksekusinya. Misalnya, wacana tersebut silahkan
diterapkan di kota-kota gede yang notabene banyak orang tua-orang tua yang
kerja sampai sore. Kalau di tempat-tempat yang mayoritas penduduknya petani ya
jangan dong. Apalagi di pedesaan itu banyak kok yang orang tuanya ndak
dua-duanya bekerja. Suami yang kerja dan istri tetap di rumah mengurus rumah
tangga. Seperti di daerah saya. Jadi di survei dulu Pak Menteri, lokasi mana
saja yang cocok menerapkan wacana tersebut andai wacana itu jadi dieksekusi.
Lalu bagaimana sikap kita
? kita butuh pendidikan tapi kan katanya Bang Izzu pendidikan hari ini sudah
jadi komoditas transaksional ?
Duh, dek, Abang pun
puyeng. Wes, jalani saja hidup ini. Hehe. Tetap enyam pendidikan karena ia
begitu penting untuk kehidupanmu. Masalah disorientasi pendidikan itu mau ndak
mau harus diselesaikan ke akar-akarnya. Yakni mental pendidik dan orang yang
berkecimpung di dunia pendidikan. Perlu waktu lama untuk merevolusi dan
merekonstruksi mental manusia. Paling ndak, kita berharap serta berusaha,
tentunya mulai dari diri sendiri, untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih
baik lagi.
Tetap semangat nggih!
IsyKarima !! Hiduplah
dengan mulia!!
Jogja, 13
Agustus 2016
16:12 WIB
Muhammad
Izzuddin
Komentar
Posting Komentar