NW Adalah Identitas



Hultah NWDI ke-81 kemarin terasa berbeda bagi saya pribadi. Bahkan kalau boleh jujur, hultah tempo hari adalah kali pertama saya mengikuti hultah yang sesungguhnya. Padahal, terhitung sejak periode 2008-2014, juga 2015, tak pernah sekalipun saya absen mengikuti hultah NWDI. Kami–seluruh santri/wati PP Hikmatusysyarief–diwajibkan mengikuti rangkaian hultah, utamanya pawai ta’aruf yang dilaksanakan H-1 puncak hultah.
Di tahun 2014, angkatan saya menjadi senior di pesantren. Kebetulan kala itu saya juga diamanahi sebagai ketua ISPPH (OSIS nya Hikmatusysyarief). Dibantu oleh seluruh anggota yang jumlahnya sekitar 42 orang, kami berkoordinasi dengan jajaran ustad untuk mengikuti pawai ta’aruf. Dalam pawai ta’aruf ini, yang bikin capek bukan mengikuti rute pawainya, tapi keluar dari aula utama menuju panggung kehormatan. Karena saking banyaknya peserta yang berpawai, sangat sulit bagi panitia menertibkan peserta, termasuk kami. Maka terjadilah desak-desakan antar satu rombongan dengan rombongan lain. rebutan keluar dari gerbang utama. Tak jarang terjadi kericuhan. Puluhan peserta yang pingsan pun jadi pemandangan mainstream.
Seusai pawai, mayoritas santri akan berisitirahat sejenak. Melepas lelah, menyeka peluh. Sebagian lagi memutuskan memburu air guna membersihkan badan. Sebuah mushola kecil yang famous kami sebut dengan “3 serangkai” adalah lokasi favorit mandi berjama’ah. Ah, memori indah yang sangat cihuy sodara-sodara.
FYI, Hultah NWDI adalah liturgi ormas terbesar di NTB. Ratusan ribu masa yang berasal dari berbagai daerah dan elemen, mulai pejabat, ulama, masyarakat biasa, hingga pesantren-pesantren yang berafiliasi ke NW menyemut dan membanjiri Pancor-Lombok Timur, pusat roda organisasi ini bertengger. Maka, H-1 dan hari H hultah laksana lautan manusia. Biasanya, ketika malam hultah, kami para santri akan menikmati kebebasan yang tak kami dapatkan di asrama. Entah ada yang jalan-jalan ke taman, kos teman, pergi kencang, toko kitab, hingga mengelilingi kota santri itu untuk mencari baju apa yang cocok mereka beli.
memori Hultah NWDI ke-78, sumber : jepret pake kamera pribadi
Pas hari H nya gimana ?? nah ini dia masalahnya, diakui atau tidak, menilik dari fakta empirik yang saya miliki, juga hasil observasi amatiran dengan teman-teman lintas pesantren yang sama-sama mengikuti prosesi hultah, hanya sebagian kecil santri yang mengikuti puncak hultah (pengajian). Sebagian besar memilih melanjutkan jalan-jalan yang belum usai semalam, menunggu kedatangan keluarga yang biasa datang menjenguk sekaligus mengikuti hultah dari luar arena, atau istirahat di asrama sementara lantaran kecapean semalaman begadang. Nah, selama jadi santri saya lebih sering ndak mengikuti prosesi puncak peringatan hultah ini (dilarang meniru adegan ini). Kecuali tahun 2014, saya mengikuti dan menjadi saksi tangisan TGB (Tuan Guru Bajang) di panggung hultah.
Abi tercinta (dengan tatapan khasnya, hehe) dengan background rombongan hiksy

Tahun ini terasa sangat berbeda bagi saya, lantaran diri ini hanya datang ke Pancor pada hari H saja. Biasanya kan satu hari sebelumnya saya sudah stay di Pancor, tapi tahun ini beda. Otomatis saya ndak ikut pawai dan tidak juga begadang malam ataupun thawaf keliling Pancor. Terasa sekali gitu, saya ke sini untuk mengaji, terlebih undangan untuk naik ke panggung utama saya kantongi, jadilah saat itu saya mengikuti hultah dari jarak yang amat dekat, dari atas panggung kehormatan.
Apakah ini sebuah kebanggaan ? no no no ! saya Cuma bersyukur ndak perlu desak-desakan masuk ke arena hultah. Cukup tunjukkan surat undangan maka anda dipersilahkan masuk dan diberi jatah snack, lumayan to ^_^. Sedangkan mereka yang ndak punya undangan tapi cintanya sama NW bisa jadi melebihi tamu yang duduk di atas panggung rela berdesak-desakan dan duduk di atas lapangan biasa, mengikuti dengan khidmat pengajian di siang itu.
lokasi jepret : di atas Truk, Otewe Pancor bersama seluruh santri

Jujur, sebelumnya saya adalah NW taqlid. Karena orang tua saya NW, kakek, nenek, seluruh keluarga, juga guru-guru adalah NW maka otomatis saya juga NW. NW keturunan. Bahkan saya pernah terjebak dalam fanatisme terhadap NW. Tentu ini lantaran pemahaman saya yang kurang mendalam terhadap NW (faktor internal) dan juga lingkungan yang mainstream fanatik banget sama NW (faktor eskternal). Ditambah dengan dualisme NW yang selalu punya tempat di hati sebagian orang membuat fanatik keberpihakan selalu tumbuh.
Sampai akhirnya saya memutuskan merantau. Menuju tempat baru dengan suasana yang baru pula. Apa yang saya temukan, sodara-sodara sekalian ? kalau dulu saya melihat NW dari dalam, sekarang saya bisa melihat NW dari luar dan membandingkannya dengan ormas serupa yang ternyata–diakui atau tidak–sudah lebih maju dari NW hari ini. Fanatisme itu terkikis. Saya tetap NW tapi nggak fanatik. Apresiasi terhadap NW tetap ada namun kritik dan harapan agar NW lebih baik selalu terpatri. Sayangnya, lantaran keasyikan dengan klaim posisi objektif yang saya rasakan, kok pelan-pelan sikap pragmatis mulai menggrogoti diri ini. Bahkan, sikap apatis juga perlahan terasa meski tak intens. Mungkin ini akibat saya terlalu lama ndak “akrab” dengan identitas ke-NW-an itu sendiri.
Ya, NW adalah identitas. Kita punya Maulanasyaikh, kita punya Hizib Nahdlatul Wathan, kita punya Thariqat Wirid Khusus, dan lain-lain, yang semuanya bukan untuk dibanggakan tapi dilaksanakan dan dihayati oleh segenap Nahdliyin. Identitas adalah ciri khusus yang berfungsi sebagai ciri khusus sekaligus dijadikan pembeda dengan identitas lain. Jika mengatakan identitas NW adalah ideologi aswaja, NU toh aswaja juga, jika mengklaim NW adalah pengabdian, lah Muhammadiyah emang ndak ngabdi to ? yang NW miliki dan tidak dimiliki oleh organisasi sejenis ya diantaranya yang saya sebutkan diatas. Maka, kalau ngaku NW tapi ndak tahu hizib, ndak kenal maulanasyaikh, ndak hafal Solawat Nahdlatain, mohon maaf, ke-NW-an anda harus di-upgrade, sodara-sodara.
Maka, hultah tempo hari bagi saya adalah momentum me-charge kembali semangat ke-NW-an utamanya bagi mereka yang merasa semangat itu mulai redup. Saya hayati bait demi bait lagu “Nahdlatul Wathan lembaga kita”. Hingga tiba pada reff nya,
Marilah kita tetap berjuang menuju cita-cita
Mencapai negara yang adil dan makmur
Dengan keridhoan Yang Maha Esa
Nahdlatul Wathan tetap dalam pengabdiannya
Ikut membina umat beragama
NW bukan ajang pamer kehebatan, NW juga bukan wadah mencari perhatian. NW adalah ranah pengabdian untuk mencapai ridho Allah. Dalam konteks ke-Indonesia-an, NW adalah wahana perjuangan mewujudkan NKRI yang adil dan makmur. NW bukan simbol kebanggaan, bukan organisasi yang mendewakan pimpinan, tapi NW adalah perjuangan. Perjuangan di sini harus kita maknai sebagai verba (kata kerja), sehingga makna perjuangan adalah proses yang berkelanjutan, dinamis, dan berorientasi pada tercapainya tujuan bersama. Tujuan yang mengutamakan kepentingan umat.
Pertanyaannya sekarang, sudahkah NW seperti ekspektasi di atas benar-benar terwujud ? kita jangan membicarakan NW di zaman Maulanasyaikh, namun NW dalam konteks kekinian. NW di zaman Maulanasyaikh adalah sejarah, dan NW hari ini adalah lahan untuk bekerja, berbuat, dan berkreasi. Tunjukkan NW mu !! bukan fanatikmu!!
IsyKarima !! Hiduplah Dengan Mulia !!

Jogjakarta, 21 Agustus 2016
08:11 WIB

Muhammad Izzuddin

Komentar

Postingan Populer