Esensi Sebuah Kacamata
Menjelang mudik pertengahan
puasa lalu, entah kenapa saya sedikit jumawa lantaran jarang sakit selama di
perantauan. Paling banter ya sedikit demam, sakit kepala, dan tentunya penyakit
rutin, gigi. Perasaan itu sekelabat terlintas dan saya sama sekali ndak paham
kenapa bisa sampai berfikir demikian. Dan ternyata bisa jadi Allah menggerakkan
otak saya berfikir seperti itu sebagai pertanda awal saya akan jatuh sakit yang
cukup membuat diri ini merintih seorang diri di kamar kos.
Tepat di tanggal 11
Ramadhan saya mulai demam. Suhu badan meningkat, tubuh menggigil dan dingin
menyerang. Tapi saya ndak mau mengalah. Antibodi dalam tubuh harus mampu
melawan penyakit ini. Begitu saya mensugesti diri. Namun keesokan harinya,
sakit saya malah bertambah, punggung terasa nyeri sekali, seperti ditimpa beban
teramat berat. Pusing dan mual pun menghampiri tak lama berselang. Hari itu,
dalam keadaan puasa, 4 kali saya muntah. Lemas sejadi-jadinya.
Hingga puncaknya ketika
malam harinya mata saya terasa amat sakit, pegal, dan sempat memerah. Ini yang
paling bikin saya khawatir, karena mau ndak mau kalau sakit mata udah teramat
sangat ya harus dibawa ke ahlinya. Setelah membeli obat tetes standar dan tidak
ada perubahan saya pun dengan terpaksa berangkat berobat ke Rumah Sakit Mata
dr. YAP, tepat di depan kampus. Untung ada Hasan, sahabat yang sampai detik ini
masih menjomblo itu bersedia meluangkan waktu menjadi ojek gratis saya dari
kosan ke Rumah Sakit.
Minggu itu, mendung
mengungkung langit Jogja. Petala langit masih muram. Matahari pun tak kunjung
menjelang. Lalu lintas Jogja pukul 9 pagi mulai padat merayap. Alhamdulillah,
antrian di rumah sakit tidak terlalu panjang. Saya pun mulai mendaftar di
bagian registrasi dan secara resmi nama saya pun masuk ke arsip rekam medik salah
satu rumah sakit swasta itu.
Sebelum diperiksa oleh
dokter saya diperiksa dahulu oleh 2 orang petugas. Dugaan awal petugas mata
kiri saya minus 1,5, namun mereka mengatakan biar dokter yang memvonis. Saya
pun segera menuju ke ruang dokter di bagian agak dalam dari rumah sakit
tersebut. Ajaib, kala mata dokter itu memperhatikan mata saya beliau langsung
tahu mata ini minus. Kata dokter, mata kiri saya sudah lama minus, tapi ndak
terasa karena pengelihatan selama ini lebih didominasi (dibantu) oleh mata
kanan. Hingga akhirnya kedua mata ini sampai pada titik lelahnya. Itulah yang membuatnya
terasa nyeri.
Dokter menyarankan
memakai alat bantu pengelihatan, apalagi saya yang notabene mahasiswa pasti
akan sering bersitatap dengan layar laptop, gadget, dan peralatan
elektronik lain yang memancarkan sinar biru. Kala itu saya tak henti
berisigfar. Astagfirullah, berapa duit yang bakalan saya keluarin buat beli
kacamata -_-.
Dan kini, sebuah kacamata
selalu menemani mata ini kemana pun melangkah. Utamanya jika berkendara atau
saat duduk-duduk membaca apa saja. Di awal-awal memang terasa ndak nyaman, tapi
setelah kami coba menjalani hubungan ini Alhamdulillah kami menjadi lebih dekat
dan romantis. Eh.
Sodara-sodara yang
berbahagia! Inspired from my true stroy ini saya harapkan kita semua
sadar sesadar-sadarnya bahwa kesehatan itu mahal harganya. Ia merupakan satu
diantara dua kenikmatan yang acap kali terabaikan anak cucu Adam. Sehat dan
sempat. Kala sakit mendera baru lah kita sadar kesehatan begitu berharga. Saat
tak punya waktu sempat barulah kita memahami bahwa anugerah waktu itu teramat
hebat. Maka, gunakanlah kesehatan dan kesempatanmu untuk melakukan amal-amal
solih. Saya tidak bermaksud menggurui, hanya sekedar berbagi nasihat sebagai ungkapan
rasa cinta.
Ngomong-ngomong tentang
pengelihatan dan kacamata, izinkan saya menganalogikan dua hal ini dengan
realitas dan perspektif. Hidup ini dipenuhi oleh realitas-realitas yang
kompleks. Seirama dengan persepktif demi perspektif yang tak kalah kompleks
pula.
Saat pengelihatan ini
didera rabun–umpanaya rabun jauh–kita akan kesulitan membaca sebuah objek. Ini
yang saya alami saat memeriksa mata di rumah sakit dan sebuah optik. Untuk
mampu membaca sebuah tulisan berjarak beberapa meter dari mata, oleh petugas
saya diberikan alat bantu berupa banyak lensa. Satu lensa dicoba, masih saja
tak terbaca, lensa pun diganti namun kekaburan masih saja mendera. Berkali-kali
bongkar pasang lensa hingga akhirnya sebuah lensa benar-benar mampu membantu
saya melihat dari kejauhan dengan jelas. Objek itu terbaca dengan tepat.
Perspektif seseorang
dipengaruhi oleh banyak faktor pembentuk. Mulai dari kondisi lingkungan, background
akademik, hingga kepentingan-kepentingan pribadi. Dikarenakan lingkungan
yang beragam, latar belakang keilmuan yang beraneka macam, dan tumpang
tindihnya kepentingan demi kepentingan menyebabkan perbedaan perspektif antar
individu dalam melihat sebuah realitas.
Hal ini terjadi di
penghujung puasa kemarin. Puluhan BC (broadcast) di BBM, Line, WA,
hingga Facebook ramai-ramai mengkritisi budaya “minal aidin wal faidizin” yang biasa
digunakan orang Indonesia beramah tamah saat hari idul fitri tiba. Mereka
mengatakan budaya mengucapkan minal aidin wal faidizin kurang tepat digunakan
sebagai tahniyah (ucapan selamat) saat momen idul fitri. Hal ini
disebabkan antara lain karena ; makna dari lafadz tersebut adalah dari
orang-orang yang kembali dan menang. Seorang sahabat berkata, “Lah, gimana
bisa ndak ada do’a yang mendahului sebelumnya kok tiba-tiba begitu lafadznya,
kita ini belajar bahasa Arab lo, mari kita perbaiki kesalahan kultural ini”
tulisnya berapi-api di salah satu grup WA.
Alasan kedua, dalam momen
idul fitri lafadz yang paling tepat menurut mereka adalah taqobalaAllahu
minna wa minkum taqobbal ya kariim. Dan alasan ketiga, tidak ada dalil yang
menerangkan adanya anjuran saling maaf memaafkan ketika momen idul fitri tiba.
Minta dan memberi maaf itu bisa setiap hari kok, ngapain harus nunggu lebaran ?
begitu kata mereka.
Jika diantara anda ada
yang menganut atau meyakini cara pandang seperti di atas izinkan saya menjabat
tangan anda dan mari kita berdiskusi dengan niat mencari kebenaran bukan tuk
menyalahkan.
Saya ingin mengkritisi
alasan yang pertama, terkait lafadz minal aidin wal faidizin, bagi
teman-teman yang sudah atau sedang belajar bahasa Arab tingkat menengah akan
sangat paham bahwa lafadz min (من) adalah huruf jar, isim (kata benda) yang terletak
setelah huruf jar dalam ilmu nahwu disebut majrur. Setiap jar-
majrur pada umumnya memiliki tempat muta’allaq (lafadz atau kata
implisit yang berfungsi menyempurnakan makna). Biasanya tempat muta’allaq
jar-majrur berupa fi’il (kata kerja)–sekali lagi sifatnya implisit.
Adapun menurut ilmu yang
saya pelajari sewaktu di Pondok, lafadz minal aidin itu pun punya tempat
muta’allaq yang jika dieksplisitkan akan berbunyi ja’alana Allahu wa iyyakum
minal aidin wal fadizin. Artinya “Semoga Allah menjadikan kita sebagai
orang-orang yang kembali (fitrah) dan menang (melawan hawa nafsu)”.
Pertanyaannya sekarang, keliru kah kita menggunakan tahniyah nan indah
penuh doa berkah ini ? saya rasa tidak. Dan jika mengaitkan antara momen idul
fitri dan esensi dalam tahniyah ini kita akan mendapati keduanya
kompatibel kok.
Dari ilustrasi ini saya
ingin mengingatkan diri saya pribadi dan kita semua, saat menghadapi sebuah
realitas, entah berupa isu atau fakta, namun perspektif kita masih rabun
melihatnya, jangan langsung memberi penilaian prontal dan tergesa-gesa. Bukan
tidak mungkin kita butuh alat bantu untuk persepktif kita laiknya kacamata yang
membantu pengelihatan yang rabun saat menatap sebuah objek. Dan alat bantu itu
adalah pengetahuan, ilmu, dan kearifan dalam menghargai perbedaan pendapat.
Pada akhirnya saya
berharap semoga kita, teman-teman yang membaca blog sederhana ini, dan
orang-orang di sekeliling kita mampu menjadi pribadi yang tidak tergesa-gesa
dan egois dalam menilai sebuah realitas. Apalagi sampai men-judge,
menyalah-nyalahkeun, hingga mengkafirkan sesama. Bahasa agamanya alat bantu
perspektif itu ya tabayun. Gunakan akal fikiran yang jernih untuk
menghormati perbedaan. Karena seyogyanya–meminjam salah satu komponen teori
strukturalisme–perbedaan yang acap kali kita besar-besarkan hanyalah perbedaan
di ranah permukaan bukan perbedaan dalam aspek yang mendasar. Wallahu a’lam.
“Lah, bang Izzu, itu kan baru alasan pertama
yang ditanggapai, alasan kedua dan ketiganya juga dong”
Nah, dek. Sekarang
saatnya kamu menggunakan perspektifmu untuk menanggapinya. Kalau masih rabun,
pakai alat bantu saja. Alat bantunya ya banyak baca dari berbagai refrensi yang
beragam. Jangan yang satu aliran saja. Selamat berkontemplasi. Abang mau
jalan-jalan sore dulu.
Isykarima, Hiduplah
dengan Mulia !!!
Lombok, 18
Juli 2016
16:28 WITA
Muhammad
Izzuddin
![]() |
cakepan mana, pake kacamata atau nggak ? |
Komentar
Posting Komentar