Menilik Rumput di Pekarangan Sendiri, Indonesia
Di tengah demam
game baru Pokemon Go yang menjangkiti pengguna smartphone di berbagai
penjuru dunia, kita dikagetkan oleh berita percobaan kudeta di Turki. Negara
pimpinan Recep Tayeep Erdogan itu bergejolak sejak 15 Juli lalu. Sekelompok
militer ingin mengambil alih Ankara dan Istanbul untuk menjatuhkan Erdogan dari
kursi kepresidenan.
Tapi yang namanya
percobaan ya ada dua kemungkinan. Berhasil atau gagal. Dan update berita
terbaru mengabarkan bahwa percobaan kudeta tersebut berhasil digagalkan. Pihak
pemerintah bersatu padu dengan masyarakat Turki melawan dan memberontak para
pengkudeta. Namun meski gagal, upaya kudeta tersebut berhasil membuat Turki
yang eksotik itu jadi mencekam dan menakutkan selama beribu-ribu detik. 190
(jumlah sementara) korban jiwa berjatuhan, baik dari pihak militer maupun warga
sipil juga ribuan orang luka-luka.
Saya tidak
mengetahui banyak hal tentang Erdogan dan Turkinya. Namun jika menilik fakta
historis, Turki merupakan salah satu negara yang cukup bersejarah bagi umat Islam.
Istanbul, yang dulunya bernama Konstantinopel, pusat kekuatan Imperium Romawi
Timur berhasil ditaklukan oleh Muhammad al-Fatih, pemuda yang sempat diragukan
musuh lantaran baru berusia 21 tahun saat menaklukan peradaban romawi, 1453 M.
Siapa sangka, hadist nabi tentang penaklukan Romawi berhasil dibuktikan oleh
seorang pemuda. Padahal sejak zaman Khulafaurosyidin hingga dinasti-dinasti
berikutnya upaya penaklukan romawi terus digalakkan.
Tinta emas
sejarah Islam ini masih terngiang dalam benak banyak muslim. Dan inilah
penyakit kebanyakan orang Islam. Hanya puas membangga-banggakan masa lalu. Mengenang
kedigdayaan dahulu kala yang masih tersisa artefak-artefaknya. Bagus juga sih,
namanya juga tasyakkur, tapi akan lebih baik lagi jika tasyakkur
tersebut diiringi ‘azamdan semangat untuk bangkit dari ketertinggalan
hari ini, menyongsong kemajuan di hari esok yang dimulai dari detik ini juga.
Di Indonesia
sendiri, sepengelihatan dan sepengatahuan saya, ada banyak spesies homo sapien
yang mengidolakan Sultan Erdogan dan Turkinya dengan berbagai alasan. Ketika
saya wawancarai alasan-alasan yang mereka berikan lumayan masuk akal dan
baik-baik semua. Namanya juga idola. Begitu juga dengan Turkinya. Mereka
mungkin bisa saya kategorikan tengah mulai “mencintai” Turki. Mereka mulai
mencintai rumput tetangga.
Bagaimana pun
baiknya seorang pemimpin pasti ada sisi negatifnya. Orang yang mengidolakan
seseorang dengan fanatisme tingkat dewa bisa jadi mendapatkan informasi tentang
orang tersebut dari satu sumber atau beberapa sumber yang perspektifnya sama.
Erdogan sering diagung-agungkan karena mulai menerapkan ajaran Islam di Turki.
Tapi tentu rekonsiliasi kerjasama bilateral antara Turki dan Israel yang
disepakati bulan Juni lalu menjadi sebuah paradoks bagi pengagum Erdogan yang
notabene didominasi muslim fanatik. Mereka kemudian berkoar dan berdalih “Ah,
itu adalah strategi Turki untuk membantu Palestina merdeka”. Apakah benar
begitu adanya ? Wallahu a’lam bishawab. Hehe.
Nah, kawan-kawan,
kini cukup dulu kita intip “rumput tetangga”. Sekarang saatnya melihat rumput
di pekarangan sendiri, Indonesia. Secara hitungan persentase populasi muslim di
Indonesia memang berkurang. Tahun 80-90-an survei menunjukkan angka hingga 90%,
kini angka itu berkisar 83-87%. Jika angka ini yang kita jadikan patokan,
sah-sah saja mengatakan jumlah muslim di Indonesia berkurang. Tapi kan yang
namanya populasi pasti bertambah terus. Lebih banyak bayi yang lahir daripada
jiwa yang pergi, maklum orang Indonesia kan hobi
“memproduksi”. Maka, bagi anda yang mengira muslim di Indonesia berkurang. Don't
Worry, lihat angka riilnya. Ada 200 juta lebih muslim di ibu pertiwi. Kita
masih jadi negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia kok. Jangan suudzon
dengan isu-isu SARA yang dapat memecah belah kerukunan di Indonesia tercinta.
Ajakan saya dalam
goresan ini untuk “melihat rumput di pekarangan sendiri” berangkat dari hadits
populer hubbul wahtan min al-iman, mencintai tanah air adalah bagian
dari manisfetasi keimanan seseorang. Kita lahir di Indonesia, makan dari hasil
tanahnya, minum dari sumber mata airnya, bernafas dengan oksigen di udaranya,
dan jangan lupa, kita hidup tentram, nyaman, dan punya jaminan kebebasan yang
berdaulat berkat Pancasilanya.
“Bang Izzu.
Indonesia ini punya banyak masalah, bang. Korupsi, kesenjangan sosial, ekonomi
melemah, pendidikan nggak mereta, konspirasi, dan masih banyak lagi”
Nggak Cuma
Indonesia yang punya masalah, Dek. Semua negara pasti punya. Apa lantaran
Indonesia penuh masalah kita tega mengabaikan “rumput” kita sendiri. Apatis
sekali diri ini jika itu yang kita lakukan.
Sodara-sodara,
kudeta adalah upaya merebut kekuasaan di sebuah negara dengan menggulingkan
pemerintah yang sah. Diantara faktor penyebab kudeta terbesar adalah ketidak
puasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Artinya, saat upaya kudeta di
Turki berlangsung kita bisa mengklaim ada kinerja Erdogan yang tidak memuaskan
beberapa kelompok hingga memantik mereka melakukan kudeta. Erdogan dikabarkan
membredel beberapa media dan organisasi yang “dianggapnya” berbahaya bagi
negerinya. Disini mari kita nafikan sejenak pengaruh eskternal seperti campur
tangan asing dan yang lainnya.
Mari tengok
Indonesia hari ini. Presiden Jokowi yang sejak terpilih sampai detik ini terus
menuai pro kontra toh ndak pernah dikudeta-kudeta. Saya ingat dulu di Facebook
ada gerakan mau mengkudeta Jokowi tanggal 20 Mei 2015. Tapi kenyataannya ? NOL
BESAR. Ini mengindikasikan banyak kok masyakarat Indonesia yang tidak membenci
Jokowinya. Lagian benci buat apa coba ? habis-habiskan waktu dan tenaga.
Indonesia memang
punya banyak masalah. Karena itulah tidak mungkin bisa tuntas hanya 5-10 tahun
bekerja. Inilah mengapai diperlukan sustainable development(pembangunan
berkelanjutan). Inilah problem solving yang paling tepat untuk
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sayangnya, budaya politik kita
kan ganti presiden ganti proker (program kerja), ganti kabinet ganti visi misi,
dan tak lupa, ganti pemerintah ganti “kepentingan” juga. Maka kala Jokowi hadir
dengan visi besar “Revolui Mental”nya, harusnya kita menyambut dan mendukung
beliau. Karena mental kebanyakan masyarakat Indonesia lah yang menjadi masalah
mendasar lalu kemudianmelahirkan permasalahan-permasalahan yang lebih kompleks
lagi di permukaan.
Anda tahu cerita
dibalik pembangunan tembok besar China ? Tembok itu dihajatkan sebagai
pertahanan bangsa China. Mereka yakin tidak akan ada yang mampu menembus tembok
raksasa itu. Namun setelah 100 tahun pertama tembok itu berdiri China terlibat perang
besar 3 kali. Selama peperangan berlangsung pasukan musuh tidak pernah
menghancurkan atau memanjat tembok tersebut melainkan menyogok penjaga pintu
gerbangnya.
Hal ini terjadi
karena China disibukkan dengan membangun tembok dan lupa membangun manusianya.
Padahal membangun manusia–dalam artian membangun mental dan jiwa manusia itu
sendiri–adalah hal pertama yang harus dibangun sebelum membangun apapun. Nah,
saya melihat presiden kita sekarang mungkin lagi keasyikan membangun
infrastruktur dan sedikit lupa dengan visi besarnya, yakni membangun manusia.
Dalam berbagai program kerja dan program blusukannya kok saya belum melihat
aksi nyata dalam mengeksekusi revolusi mental tersebut. Padahal visi itu udah
oke punya, Pak Presiden!!
Saya membayangkan
mental-mental penduduk negeri ini baik-baik semua. Jika terlalu utopis untuk
mengatakan semua ya kita ganti dengan sebagian besar saja ya. Andai
mental-mental sebagian besar penduduk negeri ini baik dan bermartabat, insya
Allah kita hidup bahagia. Mental guru yang hari ini mulai berorientasi materi
direvolusi agar kembali berorientasi pengabdian, hal ini harus ditunjang dengan
jaminan kesejahteraan dari pemerintah. Biar guru ndak mikir yang lain kecuali
menghasilkan didikan yang berkualitas dan bermental hebat. Pun mental siswa,
pejabat pemerintah, penegak hukum, media, ulama, hingga mental
preman-premannya.
Perlu kerja sama
dan kerja jangka panjang mewujudkan visi yang agak utopis ini. Namun bukankah
salah satu fungsi adanya visi utopis adalah agar kita tidak berhenti bekerja,
bergerak, dan berusaha untuk mewujudkannya. Sehingga, suatu saat nanti, seluruh
atau sebagian besar masyarakat Indonesia akan bangga dengan rumput di
pekarangannya yang ndak kalah hijau ranau dibanding rumput-rumput tetangga yang
hari ini dimata kita lebih hijau dari rumput kita sendiri.
IsyKarima!!
Hiduplah dengan
Mulia!!
Lombok,
17 Juli 2016
12:19
WITA
Muhammad
Izzuddin
Komentar
Posting Komentar