Resensi : Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto



Judul                : Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto
Pengarang        : Emha Ainun Nadjib
Penerbit            : Bentang Pustaka
Cetakan-1         : April 2016
Halaman           : xii + 189 hlm

Bulan Mei di Indonesia memiliki beberapa momen bersejarah. 2 Mei diperingati sebagai hari pendidikan nasional. 20 Mei dikenal sebagai hari kebangkitan nasional. Dan 21 Mei dikenal sebagai hari kemenangan masyarakat Indonesia terhadap rezim Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun lamanya. Yups, 21 Mei 1998 Soeharto resmi mengundurkan diri dari jabatan kepresidenan.
Pengunduran diri Soeharto bukan tanpa sebab pun pasti memiliki akibat. Sayang saat polemik itu terjadi saya masih berusia 2 tahun. Lisan belum mampu berbicara fasih, nalar pun belum kuasa memahami pertikaian yang ada. Tapi, melalui omongan orang, buku bacaan, hingga berita-berita terkait menjadikan saya tahu sedikit demi sedikit apa yang terjadi kala itu.
Kebetulan buku yang saya beli beberapa hari lalu ini adalah salah satu buku yang membahas detik-detik reformasi. Ditulis oleh budayawan Emha Ainun Nadjib. Cak Nun menjadi satu dari sepuluh tokoh yang dipanggil oleh Soeharto beberapa jam sebelum ia mengundurkan diri. Bersama Nurcholis Majid, Yusril Ihza Mahendra, dan tokoh lain. Mereka dimintai pendapat oleh Soeharto bagaimana langkah yang harus ia ambil.
Menurut kesaksian Cak Nun, menjelang lengsernya, Pak Harto telah menyadari kesalahan dan dosanya pada rakyat Indonesia. Bahkan beliau beri’tikad baik menjadi mediator reformasi di republik tercinta. Sayangnya kala itu masyarakat sudah kadung “benci” dengan Pak Harto. Beliau sadar akan hal tersebut, karena itulah beliau meminta pendapat 10 orang yang dipercayainya mewakili seluruh elemen masyarakat Indonesia.
Buku ini juga menggambarkan bagaimana suasana dan mencekamnya kondisi politik-sosial-ekonomi Indonesia saat itu. Aksi berjama’ah mahasiswa di seluruh tanah air menjadi aktor utama luluhnya hati Soeharto menanggalkan jabatan. Hanya saja, saat itu masyarakat memang sudah kebakaran jenggot. Terlalu emosian. Begitu bernafsu mencapai reformasi sehingga kekacauan demi kekacauan tak pelak menghampiri.
Di sebuah artikel lain saya pernah membaca salah satu hal yang mencegah Soeharto menanggalkan jabatan adalah keraguannya pada orang yang akan menggantikannya sesuai aturan konstitusi. Habibie yang kala itu menjabat wakil presiden otomatis naik pangkat jika Soeharto turun. Dan kemampuan Habibie diragukan oleh Soeharto. Sebenarnya dalam hal ini bukan hanya Soeharto yang ragu tapi juga para politisi, tokoh masyarakat, dan berbagai elemen masyarakat.
Cak Nun sendiri menulis dengan gamblang terkait keraguan publik terhadap Habibie yang pada akhirnya memang terbukti. Salah satu kelemahan yang dimiliki Habibie adalah minimnya kekuatan politik. Saat itu justru Soeharto masih memegang kekuasaan penuh. Andai Soeharto mau menetapkan kondisi darurat dan terus berkuasa gampang saja baginya. ABRI dan seluruh perangkat keamanan negara masih segan dan sungkan kepadanya. Beruntung Allah memberi hidayah dan taufiq pada Pak Soeharto hingga beliau insyaf dan bertaubat.
Ada satu pemikiran Cak Nun yang begitu menarik bagi saya terkait reformasi. Menanggapi asumsi kebanyakan masyarakat Indonesia kala itu yang teramat terburu-buru mencapai reformasi. Padahal kalau saja mereka mau menunggu dan bersabar agar Pak Harto mempersiapkan dengan matang reformasi dan segala perangkat pendukungnya, insya Allah tak terlalu banyak polemik dan dinamika yang menimpa masyarakat Indonesia. Sayangnya mereka kurang sabar. Tapi Allah maha bijak lagi maha baik. Selalu saja ada hikmah di setiap peristiwa yang kita lalui termasuk reformasi.
Menurut Cak Nun untuk mengatasi krisis dan membangung bangsa Indonesia tidak cukup hanya dengan pergantian presiden. Jangan membayangkan kalau Pak Harto diganti lantas semuanya beres. Jangan disangka kalau reformasi terlaksana, semuanya akan berjalan seperti yang kita harapkan (Ainun Nadjib, 2016:25).
Hal yang paling penting dan harus dilakukan oleh semua elemen masyarakat adalah taubat. Presiden taubat, pemerintah taubat, mahasiswa taubat, masyarakat taubat, pokoknya semua taubat. Taubat dalam artian tidak hanya mereformasi struktur politik dan sistemnya. Namun lebih dari itu, mereformasi mental dalam berpolitik.
Sekarang kita sudah hidup di zaman reformasi. Alhamdulillah kebebasan berpendapat sudah sedari dulu kita raih dan gunakan. Kalau ndak di zaman reformasi mana mungkin Om Jonru bisa dengan bebas dan buasnya menjelek-jelekkan Jokowi. Andai Jonru bersikap gitu ke Pak Harto sudah bisa kita tebak to gimana nasib beliau ? penjara!
Namun jangan pernah melupakan sejarah. Pemerintahan Pak Harto pernah menorehkan tinta emas. Makan jangan heran jika ada foto Pak Harto dengan slogan yang mengatakan “piye kabare ? penak jamanku to ?” (bagaimana kabar? Lebih enak di zamanku kan?). slogan ini bukan asumtif belaka. Menurut berbagai sumber yang saya wawancarai dan saya baca, di zaman Pak Harto kehidupan memang aman. Kejahatan minim. Orang-orang ndak berani macam-macam bikin onar. Pun dengan bahan pokok dan BBM. Semua terjangkau dengan ekonomi dan kantong masyarakat Indonesia. Sekarang bagaimana ? kejahatan ? beuh angkanya nambah terus tiap tahun. BBM dan sembako ? duh, fluktuatif memang tapi selalu mencekik kantong rakyat banyak.
Pertanyaannya sekarang, apakah reformasi memang jalan terbaik untuk Indonesia ? kita jawab saja “iya”. Bahaya kalau jawab “ndak”. Bisa-bisa jadi masalah di kemudian hari. Hanya saja kita jangan lupa, Indonesia ini negara berkembang yang memiliki potensi dan kekayaan berlimpah ruah. Hal ini jadi umpan menggiurkan bagi negara-negara adidaya untuk mengatur grand desain perpolitikan, ekonomi, dan sosial masyarakat Indonesia. Sebut saja Amerika dan sekutu-sekutunya.
Kalau boleh jujur, meski belum terlalu paham teorinya tapi kok ya saya yakin benar dengan teori konspirasi. Soalnya tanda-tandanya sudah terlihat. Media yang tidak obyektif, pemerintah yang seolah berakting peduli namun sebenarnya mencekik, hingga perspesi publik yang begitu mudah dipermainkan dari satu sensasi ke sensasi lain.
Indonesia ini kaya, masyarakatnya banyak. Dua hal ini jarang dimiliki negara manapun di dunia. SDA berkualitas, SDM berkuantitas. Jika SDM kita – misalnya – kurang berkualitas pun masih bisa dijadikan sasaran empuk sebagai pangsa pasar produk-produk mereka. Lihatlah, perusahaan-perusahaan yang kini menguasai perekonomian Indonesia, kebanyakan punya pihak asing. XL Axiata miliknya Malaysia, Air Asia juga punya Malaysia, belum lagi bank bank produk milik asing lainnya.
Kita memang sudah merdeka. Kita memang sudah hidup dalam zaman reformasi. Tapi kita seyogyanya masih dijajah dengan cara yang lebih modern. Kita memang hidup di zaman reformasi yang bukan tidak mungkin hanya kamuflase untuk memudahkan penjajah-penjajah tersebut makin bebas dan berkuasa menggerayangi potensi ekonomi kita.
Cak Nun dalam buku ini menyadarkan kita akan hal tersebut. Pak Harto memang salah. Namun masyarakat salah juga kalau terlalu membenci beliau. saking bencinya mereka abai untuk berfikir bahwa bisa jadi persepsi publik sengaja didesain begitu supaya Pak Harto semakin cepat lengser. Apakah ini suuzon ? iya bisa jadi, tapi bisa juga benar.
Hal terbaik yang harus kita lakukan saat ini adalah bertaubat. Mengembalikan moralitas sesuai fitrah sebagai manusia berbudaya dan beriman. Andai saja para politikus bertaubat, betapa bersih dan jernihnya dunia politk tanah air. Andai para kapitalis ekonomi itu insyaf, kan tercipta stabilitas ekonomi yang berasas keadilan dan kesejahteraan yang merata. Sayangnya, saat ini, saya dan kita semua hanya bisa berandai-andai.
Wassalam..

Jogjakarta, 26 Mei 2016
17:40 WIB

Muhammad Izzuddin

Komentar

Postingan Populer