Pondok ; Kenangan dan Perjuangan



Hari ini, almamater saya, Pondok Pesantren Hikmatusysyarief NW Salut melaksanakan haflah al-ikhtitam li al-fasli al-akhir alias acara penamatan. Persis apa yang 2 tahun lalu saya dan kawan-kawan angkatan 19 temui. Simbolisasi penyerahan santri dari pondok kepada orang tua mereka kembali. Setelah 3-6 tahun lamanya belajar di pesantren.
acara penamatan adalah satu-satunya momen santri dihalalkan bawa HP

Linangan air mata tumpah. Membentuk sungai di wajah. Keharuan tercipta. Kenangan demi kenangan seakan terputar random dalam lubuk memori. Lagu-lagu sedih disenandungkan. Junior-junior menatap bahagia, “ah, akhirnya giliran kami jadi senior” mungkin begitu gumam mereka.
Barisan santri wati duduk rapi di bawah tenda yang disewa sejak sehari sebelumnya. Hampir semuanya menggengam tisu. Bukan buat paf. Tidak ! itu digunakan untuk menyeka bulir-bulir air mata yang merintik bagai gerimis di senja cantik, mengintip kami menghafal matan jurumiyah di selasar asrama. Biasa, cewek kan gampang gerimis dan badai matanya. Kalau yang santri, ah, mana rela mereka merogoh kocek untuk sebuah benda putih berlabel mitu, paseo, atau sutra. Eh salah ding. Yang terakhir bukan merk tisu perasaan, entah lah merek apa. Kami–selaku cowok–memang tidak menitikkan air mata, tapi percayalah, kami juga sedih harus berpisah setelah 6 tahun bersama. Hastag #IniBukanGombal.
Tuan Guru, selaku pimpinan dan pendiri pesantren duduk di panggung utama. Di usia senja, semangat beliau semakin membara. Masalah istiqomah beliaulah kiblat utama. Tak kenal panas-hujan, sakit-sehat, beliau tetap setia memberi wejangan untuk santri-santrinya, 5 kali dalam seminggu setiap bakda subuh. Meski kini beliau berjalan dengan bantuan tongkat, semangat mengajar dan berbagi itu tak pernah pudar. Kadang kami malu pada beliau. Kami yang lebih muda, lebih sehat, dan lebih bertenaga, malah lebih sering malas beraktifitas. 
Bapak Tuan Guru Haji M. Zahid Syarief, disambut oleh beberapa dewan astadiz

Beliau diapit oleh jajaran ustad berkopiah beluduru penuh wibawa. Orang tua wali berdatangan dengan beragam pakaian. Ada yang datang dengan mengenakan sarung dan baju koko penuh kesehajaan, ada pula yang memakai celana hitam dengan kemeja yang mungkin agak mahal. Tapi, alhamdulillah, ndak ada yang datang bertelanjang badan. Alhamdulillah.
Tahun 2014, kami angkatan 19, yang jumlahnya kurang lebih 62 orang, mau tidak mau harus meninggalkan pondok. Bukan karena kebencian ataupun tidak kerasan, namun demi sebuah perjuangan yang harus diteruskan. Demi nama baik almamater yang harus diharumkan. Dan demi cita-cita yang wajib diwujudkan. Maka tak heran, raut kesedihan dan paras kebahagian seolah bercampur jadi satu. Di satu sisi, kami bersyukur telah paripurna berproses sebagai santri. Namun di sisi yang lain, kami juga sedih, harus berpisah dengan pondok dan suasananya, dengan pak dapur dan masakannya ( bagi yang nge-kost ), dan dengan Pak Dar dan kaca matanya.
Pak Dar, tukang kebun fenomenal

62 orang jumlah kami–saya lupa lebih banyak kaum Adam atau Hawa, yang pasti perbedaannya ndak terlalu mencolok–tentu tak semuanya berlaku baik. Bahkan, dengan bahasa yang lebih prontal, ndak semua khatam matan jurumiyah. Banyak diantara kami yang rajin bertingkah, kadang bikin ustad jengkel bin susah, dan langganan didera hukuman. Termasuk saya. Namun satu hal yang kami tegaskan, insya Allah kami ndak pernah menaruh dendam dan benci untuk guru-guru kami. Sekeras apapun rotan yang pernah mencambuk. Setebal apapun debu yang menempel kala diguling, dan sebanyak apapun helai rambut yang terpotong kala razia dadakan. Kami ikhlas menjalaninya. Mungkin begitu cara kebarokahan dalam diri menyusup, atau minimal, dengan cara itu kami bisa sedikit mengikis dosa yang telah menumpuk. Semoga saja.
Saya mengatakan ini karena tempo hari sempat membaca salah satu status junior di pondok dulu yang seperti mengguratkan kebencian lantaran dihukum oleh ustadnya. Dia masih santri aktif di pondok. Saya cuma bisa beristigfar. Bukan sok alim atau sok baik. Hanya saja, saya tahu benar, doktrin ta’limul muta’allim bukan lah isapan jempol belaka. Ia benar adanya. Menghormati guru adalah salah satu langkah meraih keberkahan ilmu. Ini bagi Kalian yang percaya barokah itu ada, kalau ndak percaya, monggo abaikeun saja bagian ini.
Kawan-kawanku, di manapun berada, semoga kalian selalu bahagia dan dalam lindungan-Nya.
2 tahun lalu, kita di-haflah-kan oleh Pondok tercinta. Dilepas setelah bertahun-tahun mendekam dalam penjara suci. Digodok dengan wejangan, ayat suci, dan nasihat-nasihat para alim ulama. Setelah dipaksa menghafal matan nahwu, shorof, hadist dan juz amma. Dikembalikan pasca ditempa dan dididik penuh keikhlasan oleh ustad-ustad tercinta.
Jangan ragukan keikhlasan mereka, kawan-kawan. Saya tahu benar berapa gaji yang diterima oleh ustad-ustad kita. Tak jarang saya berpikir, duit segitu apa bisa cukup untuk makan sebulan bagi beliau dan keluarganya? Apa lagi setelah saya merantau, Saya jadi tahu tidak sedikit yang harus dikeluarkan untuk makan satu hari saja. Andai kata beliau-beliau itu tidak ikhlas, dan kalau saja beliau-beliau itu–mohon maaf–matrealistis, saya yakin pondok sudah sepi karena tak ada yang sudi mengajar.
Tapi ustad kita tidak seperti itu, kawan. Beliau tidak matrealistis. Kalau saya boleh berhipotesa, mengajar bagi mereka bukanlah profesi, tapi pengabdian. Biarlah rezeki mereka dapatkan dari jalan yang lain, berdagang, bertani, dan lain-lain. Tapi mengajar biar jadi investasi jangka panjang yang manfaatnya akan terus mengalir deras. Bukan kah ilmu yang bermanfaat adalah salah satu amal jariyah ?
Tidak jarang, pondok kita kekurangan uang, saya dulu sering disuruh ngetik itu ini yang berkaitan dengan anggaran oleh bapak, berhubung beliau (mungkin) malas ngetik. Saya jadi tahu beberapa kali pondok harus pinjam duit untuk membayar honor pengajar lantaran ndak ada dana. Tapi pernah kah kita liat ustad kita demo minta gaji dicairkan ? ah jangan kan begitu, demo minta gaji naik saja tidak pernah terlintas dalam benak ustad-ustad kita.
Belum lagi kos (makan ditanggung). Jujur, di tanah rantau ini pengeluaran saya banyak lantaran perkara perut. Dulu pernah mencoba makan sekali sehari, hasilnya, perut melilit tak bisa diajak kompromi. Akhirnya sekarang saya mulai terbiasa makan Cuma dua kali, itu pun bagi saya masih lumayan mahal, padahal Jogja terkenal murahnya dibanding Bandung, Jakarta, atau Surabaya. Sedangkan pondok kita hanya menetapkan uang makan sebesar 250 ribu per-bulan (sekaran sih ndak tahu). Itu pun makannya 3 kali sehari.
Kalau dibagi pake rumus yang diajarkan Ustad Sunipe, per-sekali makan, santri cuma bayar sekitar Rp. 2.700. Coba bayangkan, Dimana Kalian bisa makan semurah itu? Disini saja, nasi pecel satu porsi harganya Rp. 4.000, Kawan. Sedangkan dulu waktu kos, kan ndak selamanya lauk spongebob (baca:tahu-tempe) to ? Sesekali dalam seminggu pernah to makan ayam meski ndak sebesar yang di KFC? Bahkan, pihak dapur dulu sering berhutang dalam pembelian beras hingga berjuta-juta.
Kawan-kawan para alumni dimanapun berada, entah angkatan 19 atau angkatan berapapun. Juga kepada para calon alumni Ponpes Hikmatusysyarief NW Salut. Meskipun kini kita tak mengenakan pakaian putih-putih ala perawat. Dan tak mengenakan sarung sesering di pondok. Semoga jiwa santri selalu terpatri dalam setiap tutur dan laku. Bersyukurlah kita pernah dihukum sewaktu mondok, bahkan bersyukur juga kita sering korengan lantaran satu sabun dipake rame-rame. Percayalah, kehidupan di pesantren jauh lebih indah dari pengalaman di sekolah-sekolah umum. Apakah ini pandangan subyektif ? mungkin iya, tapi saya yakin kita semua sepakat.
Apa kabar pondok kita tercinta kini ? Alhamdulillah, semoga dan sepertinya semakin baik dan maju. Dari tanah rantau, saya rajin stalking medsos pondok. Dari pada stalking akun mantan yang kini tengah galau lantaran pacar barunya, bikin saya mau sujud syukur saja. Pondok kita kini sudah punya kelas khusus kitab kuning, kayak takhashus gitu. Pun kreatifitas santri, sudah mulai diberikan ruang yang lebih terbuka ketimbang masa kami dulu. Bahkan, untuk acara penamatan tahun ini, pondok kita live streaming di yutub. Canggih kan ? bukan ndak mungkin besok-besok disiarkan langsung di bein sport 3.
Menutup goresan ini, izinkan saya memodifikasi statement dari–kalau ndak khilaf–Jhon F Kenedy (kalau salah monggo dikoreksi), jangan tanyakan apa yang pondokmu telah berikan padamu, tapi tanyakanlah apa yang telah kamu berikan pada pondokmu. Melalui goresan ini saya ingin menyampaikan usul, yuk kita sumbang 1 atau 2 buku untuk perpustakaan pondok. Bisa juga lebih, kita kumpulkan sebanyak-banyaknya, ndak harus buku baru, yang bekas pun it’s doesn’t matter. Nanti kita serahkan secara simbolis ke pihak pondok atas nama alumni. Bayangkan kalau semua alumni kompak nyumbang, bisa ribuan buku yang kita hibahkan pada pondok. Menambah minat baca adik-adik kita di sana. Piye ? sederhana tapi saya rasa lumayan bermanfaat.
Salam hangat dan semangat untuk seluruh keluarga besar pondok tercinta.
Isy karima... hiduplah dengan mulia !!!

Di senja kota pelajar
07 Mei 2016
17:25 WIB

Muhammad Izzuddin

Komentar

Postingan Populer