Resensi ; Berhala-berhala Wacana



Judul              : Berhala-berhala Wacana
Penulis          : Edi AH Iyubenu
Penerbit        : Ircisod ( Diva Press Grup )
Cetakan         : ke-1, April 2015
Halaman       : 244 hlm
Seperti buku-buku terbitan Ircisod lainnya, buku ini bergenre filsafat namun dikemas dengan bahasa yang sesantai mungkin. Meski pada hakikatnya filsafat cukup sulit untuk diperlakukan dengan bahasa selo, atau kemampuan pemahaman saya saja yang belum mampu menjangkaunya.
Buku ini hadir dengan komposisi essai bergaya santai, kadang sarkastik, dan easy going, sebagian lainnya bergaya ketat akademik. Keduanya berkarakter analitik-ilmiah, merekam beragam masalah aktual kehidupan beragama, sosial, dan berbangsa.
Ada 17 pembahasan dalam buku ini. Dimana 5 pembahasan terakhir dikemas dalam bentuk makalah akademik, khas mahasiswa program doktoral. Sedangkan pembahasan yang lain disajikan lebih santai, singkat, dan cukup jelas. Berikut akan saya uraikan sekilas tentang beberapa pembahasan yang menarik minat dan memantik gairah pikiran saya. Selamat menyimak !
tak beli minjam pun jadi. jangan cari alasan untuk malas baca

Berhala Wacana
Dalam bab ini, penulis mengutip Thomas Khun yang meluncurkan karya fenomenalnya di tahun 1962, The structure of Scientific Revolution. Melalui buku ini, Khun menghajar Positivisme yang sangat memberhalakan “kebenaran tunggal” (single truth), karena menurutnya semua manusia hanya sanggup menciptakan “paradigma” kebenaran, bukan wajah kebenaran itu sendiri.
Bila gagasan filosofis ini ditarik ke dalam khazanah kehidupan Indonesia masa kini, kontribusi Khun jelas sangat besar. Salah satu dampak serius pemberhalaan wacana di tengah pluralisme ialah lahirnya “sikap under estimate, inferior, dan negasi”. Orang yang berbeda dengan kelompok wacana tertentu rentan diintimidasi sebagai “orang lain” yang absurd, sesat, dan bermasalah.
Maka jangan heran, di bidang agama, budaya kafir-mengkafirkan telah mendarah daging khususnya antar umat Islam. Mengklaim diri Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ada pula yang menyatakan diri sekedar Ahlu sunnah, pun yang “pede” dengan teologi maupun mazhab fiqih mereka masing-masing. Pada ranah inilah kita patut memahami terdapat perbedaan yang sangat mendasar secara epistemologis (pengetahuan) dan aksiologis (prilaku) antara sikap “meyakini sebuah wacana sebagai benar dan menjadikannya prinsip hidup” dengan sikap “meyakini sebuah wacana sebagai satu-satunya kebenaran dan menjadikannya berhala hidup”.
Sikap pertama akan mengantarkan seseorang memiliki orientasi hidup tanpa menegasi prinsip hidup orang lain yang berbeda dengannya. Sedangkan sikap kedua hanya akan melahirkan watak fanatisme, ngotot, dan alergi pluralisme. Termasuk dalam kategori yang mana kah kita ? jika Anda merasa menjadi orang yang meyakini sebuah wacana sebagai satu-satunya kebenaran, mohon maaf, menurut buku ini Anda termasuk budak berhala-berhala wacana.
Kritik Nalar Arab Muhammad ‘Abid Al-Jabiri
Sudah banyak buku dan artikel yang mengulas pemikiran intelektual kontemporer asal Maroko ini, termasuk salah satunya paman saya sendiri. Pembahasan yang disampaikan oleh penulis sendiri pun tidak jauh berbeda. Namun sebelumnya ada baiknya kita mengenal siapa sih Abid Al-Jabiri tersebut ? Beliau lahir di Marokok, sebuah negara yang memiliki 2 bahasa nasional, Arab dan Prancis. Wajar bila Al-Jabiri intens dengan tradisi Arab (Islam) dan Prancis (Barat) sekaligus kaya akan metode analisis sejarah, kritik filsafat, dan jauh dari bentuk-bentuk formalisme ala kaum Postmo.
Dalam proyeknya yang fenomenal Naqd al-Aql aj-‘Araby (Kritik Nalar Arab), beliau memaparkan bahwa untuk memahami tradisi Islam harus dilakukan dengan menelaah seluruh kahazanah kearaban, secara strukturalis (teks bagaimana adanya), analisis sejarah (melihat budaya, politik, dan sosiologisnya) dan ideologis (ideologi yang berkembang). Al-Jabiri kemudian membangun 3 pondasi epistemologi atas proyek ini yaitu Epistemologi Bayani, Burhani, dan Irfani.
Bayani sendiri adalah epistemologi yang menjadikan teks sebagai sumber pengetahuan dan rujukan, dengan melibatkan nalar logika untuk mengambil kesimpulan makna tertentu. Cukup jelas dalam epistemologi ini peran nalar logika tidak begitu bebas. Tujuan utama dalam bayani adalah syariat, fiqh, dan ushul fiqh.
Irfani adalah sistem pengetahuan yang diperoleh berdasarkan kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia oleh Tuhan kepada seseorang personal melalui olah ruhani. Irfani sendiri memiliki akar kata yang sama dengan ma’rifat yang dalam tasawuf dipahami sebagai pengetahuan tertinggi yang ditanamkan oleh Tuhan dalam hati seseorang melalui kasyf (mistik dan ilmunisasi). Bayani dan irfani seyogyanya adalah perdebatan antara ilmu syariat dan hakikat. Syukurnya, Abdul Qadir Jailani, seorang ahli mistik mendamaikan dua epistemologi ini dengan teorinya ; untuk mencapai taraf hakikat harus menempuh taraf syariat dahulu.
Burhani adalah sistem pengetahuan yang dibangun atas dasar kekuatan nalar. Ia mensyaratkan sebuah pengetahuan dinyatakan benar bila memiliki sifat benar secara logika dan atau mencapai derajat benar secara empirik. Dalam epistemologi ini, nalar berperan untuk melihat realitas dan memproduksi pengetahuan atasnya (realitas tersebut) dengan menyingkap sebab (idrak al-sabab). Akal memiliki peran sangat strategis namun bukan berarti Burhani menafikan makna teks. Posisi teks di hadapan burhani diletakkan sebagai spirit etik/religius yang melandasi eksekusi yang didasarkan pada pengetahuan burhani tersebut. Sederhanya, Burhani adalah muthabaqah baina al-aql wa al-waqi’ (sintesis–perpaduan–antara nalar dan realitas empirisnya).
Al-Jabiri selanjutnya melakukan kritik nalar dengan cara menghasratkan sintesis antara bayani dan burhani, dalam posisi supaya burhani melandasi bayani. Tujuannya jelas, bila kita menggali pengetahuan terhadap teks (nash) berhasil dilepaskan dari tujuan utama “mengukuhkan teks” (khas bayani), tetapi mengacu pada setiap realitas yang timbul dalam kehidupan masyarakat Islam dengan berpadu pada nalar dan pembuktiannya (khas burhani), maka pemikiran-pemikiran Islam Kontemporer akan cakap dan terampil dalam mengaktualkan diri di hadapan realitas-realitas aktual. Sederhannya, Al-Jabiri mendorong kita untuk menggunakan nalar dalam menyikapi realitas dan teks. Bukan mengkultuskan teks dan menerima doktrinnya apa adanya.
Komodifikasi Agama
Adalah sebuah kegiatan propaganda agama yang bertujuan meraup keuntungan materi. Ini menjadi fenomena yang banyak kita temui, utamanya dalam iklan-iklan berbagai produk bisnis. Ada sebuah biro travel haji dan umrah yang memiliki tagline “bersama kami, mabrur menanti....”
Sodara-sodara, mari kita kritisi sejenak branding ini. Apa hubungan logis dan agamis antara jasa suatu agen haji dengan mabrur tidaknya haji seseorang ? padahal yang berhak menilai mabruk-tidak mabrur ya Allah. Karena yang akan memberi ganjarannya pun Dia jua. Tugas travel ya nyediain seat, penginapan, dan segala akomodasi selama proses haji/umrah, bukan me-mabrur-kan calon jamaah haji. Mabrur mutlak tergantung pada individu masing-masing.
Pun dengan fenomena hijab syar’i. Jujur, miris hati saya melihat wanita-wanita yang memasarkan hijab mereka dengan tagline hijab syar’i. Maksudnya apa ? apa hanya hijab seperti yang Kau jual itu saja yang tergolong syar’i ? sedangkan yang lain ndak syar’i. Tambah pilu lagi hati saya waktu membaca iklan yang bunyinya begini ; “Mari kakak, dipesan hijab syar’i-nya biar makin salihah”.
Saya ndak bermaksud mengusik bisnis kalian, hanya saja begini, salihah itu juga yang nilai Allah. Bukan kah kanjeng Nabi pernah bersabda bahwa Allah tidak memandang pakaianmu ( termasuk hijab lho ) akan tetapi Dia memandang hatimu. Salihah itu perkara hati, maka jangan mereduksi salihah dari tampilan fisik semata.
Terlepas Kau meyakini boleh tidaknya tindakan komodifikasi agama, saya hanya menghimbau, mbok ya agama itu sakral, bisnis itu profan. Segala jenis bisnis seyogyanya adalah tindakan kapitalistik. Yang membedakan bisnis kita–yang beragama Islam–dengan mereka adalah prinsip ’an taradhin (saling ridha, ikhlas, tulus, dan jujur). Silahkan berbisnis, tapi jangan lupakan prinsip-prinsip Islam di atas. Bisnis ya cari untung, kalaupun apa yang Kau lakukan sekarang ada bau-bau komodifikasi agama, saran saya cuma satu, perbaiki niat. Semoga niat propaganda agama tersebut tidak berorientasi materi semata.
Masih banyak beberapa ulasan lain dalam buku ini. Tapi untuk sementara waktu cukup segini saja dulu. Berhubung besok buku ini harus saya kembalikan ke perpustakaan. Selamat siang ! semoga berkah melimpah.
Isy Karima...! Hiduplah dengan Mulia !!

Jogja, 01 Mei 2016
10:29 WIB

Muhammad Izzuddin

Komentar

Postingan Populer