Bahagia Itu...
Orang fakir mengatakan
bahagia pada kekayaan
Orang sakit mengatakan
bahagia pada kesehatan
Orang yang terjerumus
ke lembah dosa mengatakan bahwa terhenti dari dosa itulah kebahagiaan
Seorang yang rindu
atau bercinta, mengatakan hasil maksudnya itulah bahagia
Seorang penganjur
rakyat berpendapat, bahwa kemerdekaan dan kecerdasan umat bangsa yang
dipimpinnya itulah bahagia
Seorang perawan dusun
bernama Asma binti Bahdal, yang dikawini oleh Muawwiyah bin Abi Sufyan
berkeyakinan bahwa bahagia itu adalah kembali ke dusunnya, di dalam pondoknya
yang buruk walaupun sekarang diam dalam istana yang indah.
Seorang pengarang
syair merasa bahagia jika syairnya jadi hafalan orang. Seorang jurnalis merasa
bahagia jika surat kabarnya dan timbangan redaksinya dipahami orang. (Hamka, Tasawuf Modern :
Jakarta, 2015 ; hal 11 – 12)
Dimanakah sebenarnya
bahagia itu ? inilah yang menjadi awal pembahasan dalam buku gubahan Prof.
Hamka, Tasawuf Modern. Apa definisi bahagia, dan seperti apa situasi dan
kondisi yang pantas dikatakan sebagai kebahagiaan ? semua pertanyaan macam ini
hanya akan menghasilkan jawaban-jawaban subjektif. Karena bahagia itu relatif. Bahagia
bagi saya belum tentu bahagia menurut Anda, pun sebaliknya.
Tengoklah syair yang
pernah dinyanyikan oleh Hutai’ah ;
ولستُ ارى السعادة
جمعَ مالٍ # ولكنّ التقى لهي السعيد
وتقوى الله خير الزاد
ذُخرًا # وعند الله للأتقى سعيدٌ
Menurutku, bukanlah
kebahagiaan itu pada mengumpul harta benda # tetapi taqwa akan Allah itulah
bahagia
Taqwa akan Allah itulah
bekal yang sebaik-baiknya disimpan # Pada sisi Allah sajalah kebahagiaan para
orang yang bertaqwa.
Di halaman 24, Buya Hamka
mengutip sebuah hadist ;
Dari Aisyah RA, bahwa
pada suatu hari dia bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, dengan
apakah berkelebihan setengah manusia dari yang setengahnya?”
Rasulullah SAW menjawab, “Dengan
akal!”
Kata Aisyah “Dan di
akhirat?”
“Dengan akal juga” kata
beliau.
“Bukankah seorang manusia
lebih dari manusia yang lain dari hal pahala lantaran amal ibadahnya?” tanya
Aisyah
“Hai, Aisyah, bukankah
amal ibadah yang mereka kerjakan itu hanya menurut kadar akalnya? Sekadar
ketinggian derajat akalnya, sebegitulah ibadah mereka dan menurut amal itu pula
yang diberikan kepada mereka”
Sabda Rasulullah pula “Allah
telah membagi akal kepada tiga bagian ; siapa yang cukup mempunyai ketiga
bagiannya, sempurnalah akalnya; kalau kekurangan walau sebagian, tidaklah ia
terhitung orang yang berakal”
Orang bertanya: “Ya
Rasulullah, manakah bagian yang tiga macam itu?”
Kata beliau: “Pertama
baik ma’rifatnya dengan Allah, kedua, baik taatnya bagi Allah, ketiga, baik
pula sabarnya atas ketentuan Allah”
Dari hadits tersebut,
dapat kita simpulkan bahwa derajat kebahagiaan manusia tergantung derajat
akalnya. Karena akallah yang mampu membedakan mana baik mana buruk. Akal pula
yang mampu memahami bagaimana haikikat kehidupan ini. Bertambah sempurna,
indah, dan murni akal itu, bertambah tinggi pula derajat yang kita capai.
Tentu hadist Rasulllah di
atas berorientasi pada kebahagian universal. Kebahagiaan dunia dan akhirat. Apa
yang termaktub dalam sabda di atas tak kan berlaku bagi manusia yang hanya
mengisi hatinya dengan perkara duniawi saja, pun sebaliknya. Keseimbangan dunia
dan akhirat menjadi kunci kebahagiaan paling mumpuni.
Meski kebahagiaan itu
relatif, namun apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW mutlak kebenarannya. Itulah
puncak kebahagiaan yang sesungguhnya yang hanya akan dicapai oleh orang-orang
yang sempurna akhlaknya pula. Namun mari kita diskusikan lebih lanjut lagi
terkait orientasi kebahagiaan yang lebih dekat dengan sekeliling kita.
Ada satu pertanyaan
mendasar, sudah bahagia kah kita saat ini ? jika jawabannya belum, semoga bukan
indikasi ke-tamak-an dalam diri. Kalau pun jawabannya sudah, semoga bukan pertanda
kita terlalu cepat berpuas diri.
Sodara-sodara, jika kita
masih mengukur kebahagiaan dengan perhiasan dunia, percayalah, kebahagiaan itu
tiada berujung. Saat kaki hanya bisa melangkah, kita berangan-angan mengayuh
sepeda. Kala sepeda telah terkayuh, kita bermimpi mengendalikan motor. Saat motor
sudah di tangan, kita berfikir ingin mengemudikan mobil. Saat mobil sudah di
tangan–meski kreditan, bisa jadi–lantas keluar mobil tipe baru, seketika kita berfikir
ingin mendapatkan model baru itu. Begitu seterusnya.
Maka, Sodara-sodaraku
seiman seakidah yang berbahagia, untuk mencapai kebahagiaan, pastikan hati kita
tak terkungkung perhiasan dunia. Apakah ini artinya saya mengizinkan dan
membolehkan kita jadi miskin ? jangan salah paham dulu. Nabi lebih mencintai
mukmin yang kuat dibanding mukmin lemah. Termasuk dari segi finansial. Asalkan kekuatan
finasial itu dijadikan media, bukan orientasi. Dengan kekayaan kita berbagi,
bukan dengan kekayaan kita bahagia. Maka menjadi miskin mutlak harus dihindari.
Saya rasa, statemen
kebahagiaan yang acap kali diuntaikan Tere Liye melalui fan page-nya terinspirasi
dari sabda nabi di atas. Kebahagiaan bergantung akal. Cuma pertanyaannya,
dimana kah akal itu ? waini. Pertanyaan yang akan menimbulkan perdebatan. Ada yang
meyakini akal itu di dada, ada yang keukeuh akal itu di kepala. Tapi kita
sepakat pada ranah fungsi, akal sebagai pengendali pikiran dan tindakan. Maka orang
yang baik akalnya niscaya baik pikirannya, luhur budinya.
Maka, Sodara-sodaraku
yang unyu-unyu. Salah satu upaya mencapai kebahagiaan adalah menjaga akal. Melindungi
akal dari kerusakan, so, jangan pakai narkoba. Itu bisa merusak akal dan
syaraf-syaraf penting dalam jaringan tubuh. Hindari pula menggunakan akal untuk
berfikir yang ndak baik. Jangan suuzhon jadi orang. Budayakan husnuzhon.
Negatif thingking dihindari, Positif thingking dibiasakan.
Percayalah, jika akal
kita sudah mampu ter-manage dengan baik. Komponen-komponen kebahahagiaan yang
menjadi tolak ukur kebanyakan orang, satu persatu akan datang menghampiri. Apa saja
itu ? Harta-benda, kesehatan jasmani-rohani, dan nama baik.
“Lah! Bang Izzu!!! Itu kan
perkara duniawi semua. Gimana sih ? ndak konsisten sama sekali”
Mari kita bahas satu
persatu dek!
Mengapa harta-benda itu
penting ? sudah Abang uraikan di atas to tentang sabda nabi ? lagian nabi pun
pernah berujar bahwa kemiskinan akan membawa orang kepada kekafiran. Dalam konteks
kekinian dan kedisinian, faktor lemah ekonomi acap kali membuat seseorang tak
menggunakan akal sehatnya dalam bertindak. Pelaku pembunuhan, perkosaan,
pencurian, kebanyakan–untuk tidak mengatakan semua–bermotif ekonomi. Coba saja
mereka punya harta benda yang cukup, mana mau mereka mencuri, iya to ? lagian
kita juga harus membangun barganing position umat Islam. Salah satunya
ya dari sisi ekonomi. Jangan jadi miskin ! jadilah orang kaya yang islami! Nabi
aja ndak miskin kok, Nabi itu kaya, hanya saja gaya hidup beliau sederhana.
Lalu kesehatan
jasmani-rohani. Ini mutlak penting dan vital. Percuma ganteng tapi penyakitan. Percuma
cantik kalau otaknya ndak waras. Dan percuma kaya kalau rohaninya ndak jernih. Kesehatan
jasmani mutlak kita jaga, makan makanan yang bergizi dan teratur, olah raga
yang cukup, dan satu lagi, piknik. Jangan entengkan piknik. Percayalah jika
Anda meluangkan jadwal piknik, minimal sekali sebulan, pikiran akan terasa
lebih fresh. Niscaya beraktifitas pun akan jadi lebih bahagia. Kesehatan
rohani dijaga dengan kesehatan jasmani pula, karena ia turut mempengaruhi. Juga lewat mendekatkan
diri pada sang Ilahi. Cari harta boleh, tapi jangan lupa luangkan waktu untuk
sujud pada yang memberimu harta.
![]() |
ini dicekrek waktu piknik sekitar setahun lebih yang lalu @Pantai Nipah KLU |
Nama baik. Ini bukan
berarti kita gila hormat. Gila hormat itu haram. Namun mencari kehormatan agar
bisa menebar kebaikan dan kemaslahatan dibolehkan. Dalam kitab ta’limul muta’allim
sendiri, niat menuntut ilmu untuk mendapatkan kehormatan agar bisa
berkontribusi besar bagi orang banyak tidak dilarang. Bayangkan, kita punya
nama baik. Siapapun mendengar nasihat kita. Presiden mau bikin kebijakan selalu
minta pendapat kita. DPR mau sahkan Undang-Undang, konsultasi ke kita. Bahkan kita
bisa mempropaganda opini publik, bayangkan betapa banyak kebaikan yang bisa
kita perbuat lantaran punya nama baik.
Ini bukan gila hormat,
Dek. Tapi ini cara berfikir cerdas. Ribuan pendemo yang berkoar-koar sepanjang
hari akan kalah dengan seorang yang memiliki pengaruh strategis. Mencari kehormatan,
demi kemaslahatan orang banyak adalah strategi cerdas lagi mulia.
Dan, ingat,
Sodara-sodaraku! Semua itu bisa kita dapatkan asal memikil akal yang baik,
luhur, dan islami. Tetap semangat !!! Isy Karima.. hiduplah dengan mulia !
Jogja, 06 Mei
2016
08:20 WIB
Muhammad
Izzuddin
Komentar
Posting Komentar