Kalah, Dapat Hadiah

Selamat sore dari Jogja. Huh, cuaca di kota gudeg sangat terik menyengat. Kerongkongan seperti minta diisi terus. Mentari begitu semangat membakar kalori dalam tubuh, sejalan dengan besarnya semangat para budak ilmu untuk membakar kebodohan dan kebobrokan dalam diri.
Mengawali tulisan ini saya ucapkan “ selamat hari sumpah pemuda ”. semoga pemuda Indonesia bisa menjiwai makna sumpah pemuda dalam membangun semangat, moral, etika, dan paradigma berfikir serta bertindak. Tapi kali ini saya lagi nggak mood ngebahas “ pemuda ”. saya justru ingin menuliskan sebuah kerinduan. Kerinduan akan momen di masa lampau yang terngiang dalam irama flashback kenangan indah nan mengesankan.
Kerinduan ini bukan berorientasi pada sosok mantan diantara mantan-mantan saya di masa lalu. Apa itu mantan ? makhluk astral seperti apa ? atau spesies baru dalam dunia flora dan fauna ? tidak penting untuk dibahas. Kerinduan ini tentang atmosfer persaingan yang dibalut dalam even-even lomba. Tahaddus binni’mah, sejak SD saya kerap mengikuti lomba. Eh ralat ! bukan sejak SD, tapi sejak pra TK. Mengingat salah satu prestasi bergengsi yang pernah saya raih semasa kecil adalah lomba busana muslim. Bayangkan !!! di usia 4 tahun saya meraih juara 1 lomba busana tingkat dusun, mengalahkan para sesepuh saya. itu salah satu momen yang awesome bagi saya, berikut beberapa lomba yang tak bisa saya lupakan.
Tahun 2011, tepatnya saat masih kelas 3 MTs, saya dan Nuriadi, seorang kakak kelas yang soleh luar biasa tapi kini kesolehannya sudah hilang, diantar oleh Ustad Alimudin ke kantor kementerian agama kabupaten Lombok Barat. Kami akan mengikuti seleksi untuk acara MKQ alias Musabaqah Qiroatul Kutub. Ini adalah ajang yang sangat bergengsi dimata ustad-ustad kami termasuk bapak saya. dengan niat ingin memberikan kebahagian dan kebanggan untuk pondok pesantren terutama orang tua saya pun menyanggupi dan berangkat.
Sesampai disana kami laksana rakyat jelata di tengah orang-orang bergelimang harta. Bayangkan ! peserta lain diantar menggunakan mobil, semuanya, kecuali kami, kami datang menaiki sepeda motor kirana milik ustad Alim. Saat itu hanya kami berdua yang menggunakan sandal jepit, saya ingat sekali sandal yang saya kenakan kala itu sky way, ukurannya saya lupa. Saya berbicara dengan Nuri dibelakang ustad Alim, betapa sederhananya kita dibanding mereka. Tapi tak mengapa, itu tidak menjadi penyurut semangat kami untuk bertanding. Kami yang diantar menggunakan motor versus mereka yang pakai mobil, mereka yang pakai sepatu versus kami pengguna dan pencita sandal jepit.
Seleksi pun dimulai. Kami dipanggil satu persatu sesuai kitab yang akan kami baca. Kala itu Nuri dengan kitab ‘imritynya, salah satu kitab dasar ilmu nahwu, dan saya dengan kitab fathul qorib, sebuah kitab fiqih tingkat menengah. Untuk tingkat dasar biasanya menggunakan safinatunnajah dan sejenisnya. Seleksi berlangsung sekitar dua jam dan hasilnya akan diumumkan keesokan harinya melalui telepon.
Hasilnya ? alhamdulillah bagi saya dan mohon maaf anda belum beruntung untuk Nuri. Saya pun terpilih setelah berhasil menyingkirkan beberapa peserta dari pesantren lain. Uniknya, pasca saya terpilih mewakili kabupaten, dua orang senior saya, Rozaq dan Nizom juga dipilih tanpa seleksi. Konon kala itu ada beberapa cabang kitab yang belum terisi kuotanya, karena kedekatan kakan ( kepala kantor ) kemenag Lobar dengan pimpinan pondok saya akhirnya kuota itu diberikan kepada pondok kami. Kini Rozaq menemupuh S1 di IAIH NW Pancor dan Nizom di Poltekes Kemenkes Mataram.
Pada hari H, kami diantar oleh Ustad Husnan, pembina umum, dengan mobil toyota avanzanya. Setelah mengikuti acara pelepasan kami pun berangkat menggunakan bus pemda lobar bersama peserta lain. Sesampai di asrama haji provinsi, kami bertiga dan seluruh kontingan kabupaten lombok barat beristrihat sejenak, beberapa jam lagi acara pembukaan akan segera dimulai.
Tiba-tiba ustad Husnan datang lagi dengan membawa empat orang santri wati lain. Saya masih sangat ingat orang-orangnya, Siti Rosyidah, Sana’ Sihabuddin, Umul Mu’minin, dan Cipta Ningsih, semuanya senior saya. Mereka tingkat aliyah hanya saya seorang yang paling ingusan. Dalam hati saya berujar, betapa beruntungnya mereka bisa ikut lomba tingkat provinsi tanpa seleksi di kabupaten seperti yang saya alami.
Kala itu saya sangat bersyukur mendapat dukungan dari keluarga dan juga pihak pondok. Ustad Husnan dan beberapa ustad yang lain termasuk bapak saya sangat intens memberikan semangat kepada kami, termasuk juga kala itu paman saya, paman firdaus. Dan kalau boleh jujur, ketika itu ada ekspektasi lebih yang diberikan kepada saya, mengingat di tingkat kabupaten saya berhasil menyingkirkan santri/wati dari pesantren lain. Ada harapan terpikul di pundak ini.
Lomba pun dimulai. Betapa kagetnya saya, dewan hakim ( juri ) untuk mata lomba fiqih marhalah wustha ( tingkat menengah ) adalah tiga orang Tuan Guru terkenal di Lombok, salah satunya adalah TGH. Yusuf Ma’mun. Amid MDQH NW Pancor. Saya sedikit nervous, apa lagi setelah mencabut undian saya mendapat undian nomor urut kedua paling akhir.
Sembari menanti giliran saya pun mengenakan jas hitam bertuliskan ikatan santri pondok pesantren hikmatusysyarief, almamater kebanggan. Saya cium logo pondok dengan penuh khidmat, ta’zhim, dan harap-harap cemas. Ini pertama kalinya saya ikut lomba sampai sejauh ini, tingkat provinsi. Saya tahu sekali bapak pasti akan sangat bangga jika saya berhasil meraih prestasi di lomba ini, saya pun demikian. Bismillah, saya pasti bisa, hanya itu keyakinan saya kala itu.
Tak terasa tibalah saatnya giliran saya. dalam hati sawalat tak henti terlafazkan sampai saya duduk di depan ketiga Tuan Guru hebat di Lombok itu. Saya dipersilahkan mengambil maqro’ ( tempat membaca ) oleh salah seorang dewan hakim. Tatapan TGH Yusuf Makmun begitu tajam pada saya. sangat berbeda kala peserta lain yang punya giliran. Perlahan namun pasti saya buka maqro’ yang saya pilih, masha Allah, maqro’ ini belum sama sekali saya coba baca.
Dengan penuh kepasrahan saya pun membaca apa adanya. 5 menit membaca dan 10 menit untuk tanya jawab. Saya yakin ada beberapa bacaan yang keliru, entah dari sisi nahwu ataupun shorof. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan pun hanya sebagian yang bisa saya jawab. Saya hanya pasrah, saya juga tahu diri, saingan saya semuanya tingkat aliyah, hanya saya seorang yang masih duduk di bangku MTs. Sebelum saya kembali ke tempat duduk, TGH Yusuf Makmun berkata “ terus berlatih ! ”. saya terdiam dan mengangguk lalu kembali.
Kala itu bapak saya ikut mendampingi, mungkin beliau khawatir akan mental saya, maklum ini lomba bergengsi pertama yang saya ikuti. Saya tak tahu beliau kecewa atau tidak, namun beliau tetap mampu memberikan saya senyuman dan semangat. Kala itu hati saya hancur, semangat saya pupus, namun masih tersisa secuil harapan akan keajaiban. Jika saya lolos ke babak final saya berjanji akan berlatih dengan lebih giat lagi.
Kami pun berkumpul dan bercerita tentang pengalaman lomba babak penyisihan, ada yang mengatakan pasrah saja, tidak berharap banyak, dan semoga bisa lolos. Saya tidak banyak bicara, hanya hati yang bicara, memaki diri sendiri, memaki keadaan, maklum kala itu masih labil.
Pengumuman akan ditempel pukul 21:00 WITA malam ini. dengan penuh harap saya dan kawan-kawan melihat pengumuman. Luar biasa, seluruh teman-teman saya lolos ke babak final. Sedangkan saya ? ya, hanya nama saya yang tidak tercantum disana. Hati saya remuk, hanya saya yang lolos mengikuti lomba melalui seleksi ketat malah saya yang tidak masuk final. Jiwa labil pun kambuh, mata saya memerah. Airmata sebentar lagi akan tumpah, tapi saya sempatkan menghampiri bapak terlebih dahulu. Saya raih tangan beliau, menyalami dan mencium tangan beliau seraya berkata “ maaf pak, maaf ”. beliau tersenyum dan berkata tidak apa-apa, namanya juga lomba.
Saya pun ke kamar duluan meninggalkan kawan-kawan yang larut dalam euforia keberhasilan melaju ke final. Tubuh saya rebahkan diranjang dan disitulah saya menumpahkan kesedihan melalui deraian airmata. Saya menangis sejadi-jadinya. Menyesali semua yang terjadi, menangisi kegagalan, menangisi keadaan, meratapi kecewa yang dirasakan pihak pondok dan juga orang tua saya. banyak orang yang sudah saya kecewakan. Serasa saya hanya menghabis-habiskan uang dari pondok ataupun dari orang tua.
Kawan saya satu kamar, Nizom dan Rozaq berusaha menghibur. Nizom berhasil membuat saya merasa nyaman untuk berbagi cerita dengannya. Dari dia juga saya tahu bahwa salah seorang ustad kami menceritakan kegagalan saya dan membanggakan keberhasilan anaknya. Saya yang sudah mulai melupakan kesedihan justru lebih larut lagi dalam kesedihan.
Momen yang tak pernah saya lupakan kala itu ialah saat bapak memutuskan untuk menginap di asrama haji mendampingi kawan-kawan yang lolos ke final. Namun saya yakin, motivasi terbesar beliau kala itu adalah menemani saya yang masih larut dalam kesedihan. Sebelumnya mamak melalui via telpon telah menyemangati dan menghibur saya. sungguh saya mersakan patah hati yang mendalam bukan karena cinta tapi karena lomba.
Malam itu saya masih menangis, sampai jam 3 pagi saya belum bisa tidur. Tiba-tiba ada tangan yang menggerakkan kaki saya, ternyata itu tangan bapak, beliau mengajak saya untuk nonton bola, kala itu memang ada pertandingan bola, saya lupa antara apa melawan apa, kalau tidak salah Barcelona. Saya menolak dengan menggelengkan kepala. Bapak tetap saja memaksa. Tiba-tiba bapak berkata dengan lirih, seperti menahan tangis dan airmata “ kalau kamu sedih, saya juga sedih ”. sontak saya langsung bangkit dan mengiyakan ajakan bapak untuk nonton bola. Mungkin saat itu bapak sudah kehabisan cara untuk menghibur anak laki-laki paling gedenya ini.
Alhamdulillah, dari situ saya mulai bisa menerima kekalahan, memahami keadaan, dan tidak lagi menyalahkan diri. Saya tidak ingin membuat orang tua ikut sedih dengan kesedihan yang saya rasakan. Sungguh saat itu saya merasakan kasih sayang orang tua yang begitu mendalam. Suatu saat saya akan balas kekalahan di asrama haji ini. di dinding asrama haji saya menulis “ saya, muhammad izzuddin, datang, bertanding, lalu kalah, namun, suatu hari nanti, saya pasti kembali kesini dan membayar kekecewaan dengan kemenangan ”. entahlah coretan itu kini masih ada atau tidak.
Ketika penutupan acara, luar biasa, seluruh teman-teman saya mendapat juara, ada yang juara 2,3, dan 1, Nizom berhasil mendapat juara 1 cabang Tafsir Jalalain. Ada juga yang mendapat juara 2 dari 2 peserta, sungguh saya serius, karena cabang mata lomba tersebut hanya diikuti dua peserta, salah satunya ya dari pondok saya. namanya tidak perlu saya sebutkan. Kami pun kembali ke pondok, saya menolak kembali dengan mobil avanzanya Ustad Husnan. Saya lebih memilih menggunakan sepeda motor bersama bapak. Betapa terharunya saya, di tengah perjalan bapak justru membelikan saya HP. HP China bermerk HT Mobile, ya, kala itu HP China memang lagi booming.
Sampai di rumah saya langsung mencari mamak, menyalami dan mencium tangan beliau seraya berkata “ maaf mak, saya kalah ”. senada dengan bapak, mamak tidak mempermasalahkannya. Mamak menyemangati dan tidak bersedih sama sekali. Saya bersyukur memiliki keluarga yang mendukung dengan penuh kebajikan dan sikap bijak. Saya sama sekali tak menyangka, disaat saya kalah justru orang tua membelikan HP, memang sejak beberapa bulan terakhir saya ingin sekali memiliki HP pribadi. Ini hikmah sampingan saya kalah, yaitu punya HP, mungkin kalau saya menang nggak bakalan  dibelikan HP kala itu. Saya kalah, tapi justru dapat hadiah. Hehe.
Ini kisah yang pertama, panjang juga ya ternyata, berhubung di Jogja sekarang sudah magrib ya udah cerita selanjutnya akan saya tulis di lain kesempatan. insyaAllah dalam waktu dekat. Terima kasih. Salam ta’zhim


Bersambung...

Komentar

Postingan Populer