Omnivora ; Manusia

Selamat malam sabtu dari Jogja !
Menurut saya salah satu faktor Jogja dijuluki daerah istimewa adalah kulinernya yang beraneka ragam. Mulai dari makanan sederhana sampai makanan yang mewah untuk orang-orang berduit tebal. Selama sebulan lebih beberapa hari di Jogja saya sudah mencicipi beberapa kuliner tersebut, tentunya yang terjangkau oleh kantong anak rantau.
Periode awal di Jogja saya lebih banyak makan di angkringan. Ini adalah sebutan untuk tempat makan sederhana dengan menu utama nasi kucing. Saya begitu penasaran dengan kuliner yang satu ini, jauh sebelum menginjakkan kaki di sini saya selalu bertanya-tanya seperti apa bentuk dan rasa nasi kucing yang fenomenal ini. Konon terkenal murah dan menjadi menu wajib anak kos. Tatkala saya mengatakan keinginan kepada paman untuk menyicipi nasi kucing, pamanpun tersenyum lalu berkata “ nasi kucing itu nanti sajalah izz, kalau lagi akhir bulan ”.
Nasi kucing biasanya dibungkus dengan kertas nasi dilapisi koran bekas terkadang pula menggunakan daun pisang. Isinya adalah nasi yang tidak terlalu banyak ( baca: sedikit ) dengan pilihan lauk sambal teri atau oseng tempe. Dibandrol dengan harga Rp.1.500 per bungkus. Saya pribadi perlu menghabiskan 2-3 bungkus nasi kucing untuk bisa menghilangkan lapar.
nasi kucing tampak luar

nasi kucing tampak dalam

Tidak sulit untuk mencari penjual nasi kucing atau angkringan, biasanya mereka akan mulai bergentayangan dari sore sampai malam. Tidak hanya nasi kucing yang disediakan, akan tetapi gorengan, berbagai macam lauk dan minuman juga menjadi pilihan alternatif para omnivora ( baca : manusia). Menurut pengalaman saya, paling enak makan nasi kucing di pinggir rel kereta api sembari menikmati segelas teh hangat. Sederhana tapi sensasinya itu lo yang tidak bisa didapatkan di daerah lain. Suara deru kereta api menjadi melody lembut mengisi setiap ruang pendengaran.
Tempat makan yang tak kalah terkenal selain angkringan dan akrab dengan kantong anak kos adalah burjo. Ini juga adalah tempat makan namun sedikit lebih mewah dari angkringan. Biasanya di setiap burjo selalu ada TV bagi para konsumen yang menyantap makanan. Menu di burjo sendiri ada berbagai macam, diantaranya nasi telur, nasi orak arik, magelangan, nasi goreng, mie dok-dok, indomie goreng telur, indomie rebus, indomie rebus tante, dan lain-lain. Harganya pun berkisar Rp.6.000 – Rp 9.000.
Magelangan adalah menu yang paling mendapat tempat di lidah saya. makanan ini dibuat dengan cara digoreng. Indomie Goreng, Nasi, dan sayur-sayuran digoreng dalam satu wadah lalu diberikan krupuk biar kriuk-kiruk. Sungguh saya langsung jatuh hati pada makanan yang satu ini. adapaun nama “ magelangan ” sendiri, saya belum melakukan penelitian mengapa dinamakan demikian, mungkin karena makanan ini berasal dari daerah magelang. Tapi ini hanya hipotesa saya belaka, belum bisa dibuktikan secara ilmiah.


Walaupun magelangan menjadi pemenang di lidah ini tapi nasi telurlah yang menjadi menu akrab bagi perut. ini disebabkan magelangan dibandrol dengan harga berkisar Rp. 8.000, sedangkan nasi telur Rp 6.000 – Rp. 6.500. jika dibenak anda terbersit pikiran “ kok perekengan ( perhitungan : bahasa sasak ) sekali duit Cuma dua ribu perak”. Izinkan saya menjawab dengan penuh keikhlasan. Bagi kami anak rantau dan anak kosan, perbedaan harga seribu atau dua ribu itu sangatlah menjadi perhatian. Salah satu keuntungan yang kami dapatkan adalah kemampuan me-manage keuangan alias tidak boros. Mungkin ini akan sulit dimiliki oleh para mahasiswa yang tidak menjadi anak kos atau anak rantauan.
Di Jogja saya juga mengenal sebuah jajanan yang disebut tahu bakso. Bakso dimasukkan ke dalam tahu kemudian di goreng. Harganya berkisar Rp.1.500 – Rp 2.000. lumayan enak. Di Lombok belum ada jajanan seperti ini, tidak menutup kemungkinan saya akan mengusulkan perusahaan keluarga melebarkan sayap menggarap peluang di sektor jajanan ini. hehehe.
Ini baru sebagian kecil kuliner yang ada di Jogja. Masih lebih banyak yang belum saya jelaskan sekaligus belum saya cicipi. Akan tetapi, jujur saja, makanan Lombok tidak bisa tergantikan. Di Jogja nggak ada satupun makanan yang pedas. Paling tidak sampai saat ini lidah saya belum pernah kepedasan. Kalaupun ada level pedasnya masih dibawah standar. Berbeda sekali dengan kuliner Lombok. Pun juga kalau di Lombok saya makan dengan yang itu-itu saja tidak akan membuat lidah ini bosan, berbeda dengan disini. Karena itulah saya melakukan variasi makanan agar tidak bosan. Biar bagaimanapun makanan adalah kebutuhan pokok, sumber energi, dan energi sangat urgen dalam proses pembelajaran.
Oiya, saya juga jarang makan mie instan di sini, beda sekali dengan di Lombok. Meskipun begitu, tubuh ini masih saja kurus. Yups, kurus karena menuntut ilmu insyaAllah akan mendatangkan keberkahan. Aammiinn. Saya teringat salah satu pesan dalam kitab ta’limul muta’allim. Berpayah-payah dan sederhanalah dalam menuntut ilmu. Banyak bukti yang telah bicara, orang sukses adalah yang semasa kuliahnya tidak berlebih-lebihan. Jokowi, Anis Baswedan, Tuan Guru Bajang, Fahri Hamzah, dll tidak pernah kuliah dengan mobil. Ini menjadi suntikan semangat bagi kami untuk tidak berlebih-lebihan ketika dalam masa menuntut ilmu.
Kita boleh kaya tapi hidup usahakanlah sederhana, dalam artian tidak berlebih-lebihan. Oke guys. Semoga rizki kita lancar terus, ammiinn ya robbal alamin.

Yogyakarta, 18-09-2015
20:55 WIB


{ MI }

Komentar

Postingan Populer