Menyelami Makna Spiritual Haji dan Qurban
Solat idul adha beberapa hari lalu saya tunaikan di
laboratorium agama masjid sunan kalijaga Jogjakarta. Meskipun saya mahasiswa
UGM tapi kampus UIN lebih dekat dengan kos. Karena itu saya memutuskan untuk
solat id di masjid kampus UIN saja. Dalam tulisan kali ini saya tidak membahas
tentang perasaan sedih, haru, dan syukur yang bercampur aduk kala berlebaran di
tanah rantau tapi lebih kepada isi khutbah idul adha yang disampaikan oleh
salah seorang guru besar di kampus tersebut.
Yang bertindak sebagai imam kala itu ialah K.H. Robert
Nasrullah al-Hafidz. Masih cukup muda. Dengan suara merdu dan langgam mirip
imam besar masjidil haram, imam Sudais, lantunan ayat suci yang beliau bacakan
mampu menggetarkan titik-titik spiritual dalam kalbu. Saya iri pada orang-orang
yang memiliki suara indah dan merdu. Ingin rasanya mempunyai suara seperti itu.
Tapi apa mau dikata, sebagian besar orang yang pernah saya tanyai tentang suara
saya mengatakan bahwa suara ini di bawah standar. Orang tua lebih ekstrem lagi,
bapak dan mamak pernah mengatakan suara saya fales. Ada juga yang berpendapat
jika suara saya ini biasa-biasa saja. Ya, biasa-biasa saja adalah kalimat
penghasulan yang mengandung makna “ suaramu itu nggak bagus, izzuddin !!
”.
Seusai solat seorang berperawakan tinggi berkulit
putih mengenakan kopiah beludru hitam naik ke atas mimbar khutbah. Beliau adalah
Prof. Dr. Noorhaidi Hasan, M.A, M.Phil, Ph.D. dalam khutbah beliau yang
bertajuk “ menyelami makna spiritual haji dan qurban ” beliau menerangkan
beberapa hal yang sudah saya rangkum dalam uraian di bawah ini.
Setelah mengawali dengan takbir, tahmid, tahlil,
pembukaan, dan salawat pada nabi, khatib menegaskan bahwa pada hari ini kita
semua berkumpul untuk merenungi kembali makna pengorbanan besar yang dilakukan
oleh nabiyullah Ibrahim as yang diperintahkan untuk mengorbankan putra
kesayangannya, Ismail as.
Haji dan qurban merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Qurban adalah bagian dari ritual haji dan haji merupakan bagian
dari pengorbanan besar sebagai wujud komitmen keberimanan dan keberislaman
seseorang. Haji merupakan salah satu rukun islam. Al quran menyebutnya mansik
( ritus ) dan menjelaskan bahwa setiap umat memiliki ritus yang harus
mereka laksanakan. Untuk lebih jelasnya silahkan lihat Q.S Al-Hajj 67-68.
Dalam khazanah pemikiran islam para fuqaha menekankan
bahwa ibadah merupakan kewajiban yang harus ditunaikan dengan berbagai syarat
dan rukunnya. Kita dianjurkan untuk tidak mempertanyakan ataupun mencari
penjelasan apapun terkait ibadah. Ibadah berada di luar jangkauan pemahaman
manusia, dan diketahui hanya melalui wahyu ilahi. Bisa dimengerti jika para
fuqaha lebih memberikan perhatian terhadap syarat rukun dan detail pelaksanaan
ibadah, ketimbang memahami makna sosial dan kegamaan dibaliknya.
Para sufi telah lama mengkritik cara pandang yang
terlampau legalistik terhadap ibadah. Haji mendapat perhatian khusus karena
diyakini memiliki signifikansi spiritual yang lebih daripada ibadah lainnya. Dalam
literatur fiqh, syarat pertama menunaikan haji adalah istita’at (
kemampuan), dalam pengertian calon haji memiliki kemampuan fisik dan finansial
untuk menjalani ibadah haji dengan aman. Ketika jamaah haji tiba di miqat,
mereka harus membersihkan diri dan memakai pakaian ihram, dua potong kain putih
tanpa jahitan untuk membalut badan. Mereka kemudian tiba di Mekkah dan
mendendangkan talbiyah.
Di mekkah jamaah haji melaksanakan tawaf, berkeliling
ka’bah, dan kemudian sa’y, berlari-lari kecil antara Safa dan Marwa.
Pada tanggal 8 Dzulhijjah mereka berangkat ke Mina. Dari Mina perjalanan
dilanjutkan ke Arafat untuk wukuf. Pada malamnya, mereka kembali ke Muzdalifa
dan pagi-pagi esok hari kembali ke Mina untuk melontar jumrah. Masih di Mina
mereka melaksanakan qurban untuk menyempurnakan ibadah haji. Jamaah haji
setelah itu kembali ke Ka’bah untuk melaksanakan thawaf perpisahan.
Bagi sufi, urutan-urutan ritual ibadah haji
sebagaimana digambarkan di atas tidak bermakna apa-apa jika kita tidak mampu
menggali dan menghayati makna esoterik dan spiritual yang ada di baliknya. Begitu
juga ketika kita melaksanakan qurban, sering hanya berakhir sebagai penyembelihan
hewan qurban belaka.
Bagi kaum sufi, keberangkatan ke Mekkah bermakna bukan
sekedar pergi dari rumah secara fisik menujut kota suci Mekkah, tetapi pergi
menjauhi perbuatan dosa. Ihram bukan sekedar memakai pakaian putih tanpa
jahitan, tetapi lebih merupakan simblo pelepasan sifat-sifat manusia. Wukuf bukan
sekedar tinggal di Arafat, tetapi lebih merupakan pengalaman batiniah melihat
dan menyaksikan kekuatan dan kekuasaan ilahiyah yang tidak terlihat. Wukuf di
Muzdalifa bukan sekedar berdiam beberapa saat di sana, tetapi bermakna menjauhi
hasrat dan keinginan-keinginan.
Tawaf bukan sekedar berjalan memutari ka’bah, tetapi
lebih merupakan ikhtiar menyaksikan Yang Maha Indah dalam Rumah Rahasia-Nya. Sa’y
bukan sekedar berlari-lari kecil antara Safa dan Marwa, tetapi lebih merupakan pencarian
bentuk kesucian dan kehormatan manusia ( muru’ah). Bermalam di Mina bukan
sekedar menyempatkan diri tinggal di Mina, tetapi lebih bermakna menanggalkan
segala kemewahan-kemewahan dunia. Jumrah bukan sekedar melempar batu, tetapi
bermakna melepaskan pemikiran-pemikiran egoistik dari diri kita.
Begitupun dengan qurban, qurban bukan sekedar
menyembelih hewan tertentu kemudian daginya dibagikan kepada yang berhak
menerima. Qurban yang dimaksudkan adalah melaksanakan pengorbanan hakiki, yang
bermakna menyingkirkan hasrat-hasrat, keinginan-keinginan, nafsu egoistik dan
duniawi demi pengabdian kepada Allah.
Kita tentu memiliki keterikatan terhadap dunia dan
segala kemewahan di dalamnya. Dunia adalah tempat kita hidup. Dunia merupakan
tempat kita mengaktualisasikan diri dan berinteraksi dengan orang lain. Tidak ada
yang salah dengan semua ini. namun banyak orang kemudian terseret dengan dunia,
sekana-kana tidak ada lagi kehidupan abadi dan kekal sesudah kita menghembuskan
nafas terakhir. Orang yang terseret dengan kehidupan dunia akan dikuasai oleh
hawa nafsu dan hasrat duniawiyah yang tiada habisnya. Ketika punya rumah 1
ingin 2. Ketika punya uang 1 milyar ingin 2 milyar. Ketika punya jabatan level
menengah, ingin memiliki jabatan level yang lebih tinggi, begitu seterusnya.
Ibadah qurban memiliki tujuan hakiki untuk memutus
nafsu egoistik dan duniawiyah yang tiada batas dan akhir semacam itu. Ibadah qurban
mendorong agar seorang muslim memiliki sifat qana’ah, mencukupkan dan
mensyukuri apa yang ada, sehingga ia tidak diombang-ambingkan oleh hawa nafsu. Disamping
itu qurban juga mengandung pesan kepada kita agar memiliki jiwa sosial dan
kepekaan terhadap penderitaan sesama. Melaui qurban, kita berupaya
menyingkirkan sifat-sifat egoistik yang membuat kita mau menang sendiri, tidak
ingin berbagi dengan orang lain, apalagi ikut menanggung penderitaan yang
dialami mereka yang kurang beruntung.
Kurang lebih begitulah rangkuman isi khutbah idul adha
yang bisa saya dapatkan dan ingat. Mudah-mudahan makna spiritual qurban
dan haji mampu merasuk dalam jiwa kita, menyentuh dengan lembut titik-titik
kepekaan sosial dalam diri, sehingga peradaban yang lebih baik dan harmoni
mampu terwujud. Selamat idul adha 1436 H. TaqobbalaAllahu minna wa minkum
Terima kasih sudah membaca.
Yogyakarta, 26-09-2015
11:29 WIB
{ M I }
Komentar
Posting Komentar