Cerpen; Rasa Yang Tak Sampai
“Abah, sebelumnya saya mohon maaf jika dianggap lancang. Saya
menghadap kepada Abah bermaksud mengkhitbah dek Rima, putri Abah. Insya Allah
saya siap lahir bathin menjadi imam dek Rima, jika dia berkenan dan Abah mengizinkan”
ucap Zakaria mantap......di hadapan cermin. Ya. Di hadapan cermin, bukan Kiyai
Rasyid, ayah dari Rima, wanita yang selama ini ia sukai diam-diam.
Seusai menyelesaikan studi strata satunya, Zakaria diminta untuk
mengajar di pesantren yang menjadi almamaternya. Kiyai Rasyid sendiri yang
meminta sehingga ia tak kuasa menolak. Kini ia punya sebutan baru, “ustadz”,
dan menjadi salah satu ustadz yang paling merakyat di mata santri-santrinya.
Ketika hari libur ia sering berbaur bersama santri-santrinya untuk
bermain bola. Usia yang relatif masih muda dan tidak terlampau jauh dengan
santri-santrinya membuat Zakaria mudah beradaptasi dan masuk dalam lingkungan
mereka. Sedangkan di komplek putri, Zakaria pun jadi ustadz yang sering bikin
baper santri-santri putri di situ. Maklum, tampangnya lumayan cute dan suamiable
di mata para santri putri.
Selain mengajar, Zakaria juga aktif menulis. Dalam sebulan beberapa
artikelnya sering di muat di harian-harian lokal bahkan nasional. Ia juga gemar
menulis fiksi dan puisi. Tak kurang dari 5 bukunya telah diterbitkan. Di
pesantren ia pun didapuk sebagai pembina ekskul menulis bagi para santri, baik
putra maupun putri. Hasilnya cukup membanggakan, pesantren tersebut sudah punya
majalah bulanan yang selalu dinantikan hari terbitnya oleh seantero pesantren.
***
Sudah lama Zakaria menyukai Rima diam-diam. Setiap kali bertemu dan
bersitatap dengan Rima jantungnya berdetak lebih kencang. Nafasnya memburu
seakan ada yang mencekik. Ya, tercekik perasaan yang tak pernah berani ia
ungkapkan. Ia menolak menganggap diri pengecut. Ia hanya belum siap untuk
mengungkapkan sebuah rasa. Baginya, ketika kata cinta sudah terucap, ia harus
siap lahir dan bathin menerima segala konsekuensi. Baik mental maupun materi.
Maka ia pun memutuskan akan mengungkapkan rasa cinta itu ketika sudah siap
menikahi Rima. Jadi nggak perlu pacaran, tinggal ta’aruf beberapa bulan, lantas
ketika sama-sama cocok, ya udah, langsung nikah. Insya Allah berkah.
Hingga tibalah ia pada satu kemantapan hati. Setelah meminta doa restu
kepada ayah dan ibunya, ia bertekad akan memberitahu Rima isi hatinya selama
ini. Namun bukan sekedar bilang cinta, lebih dari itu, ngajakin ta’aruf dan
melangkah ke jenjang yang lebih serius. Meski ia tahu belum tentu Rima mau
menerimanya. Atau jangan-jangan Rima sudah punya calon? Ah, rasanya tidak. Ia
cukup dekat dengan keluarga Kiyai Rasyid. Ia sering dipanggil Pak Kiyai untuk
menemaninya ngobrol ngalor-ngidul sembari menyeruput kopi di Gazebo belakang
rumah beliau. Ketika Pak Toha, supir pribadi beliau, berhalangan, Zakaria
dengan senang hati menjadi badal (pengganti)
untuk menyupiri Kiyai Rasyid. Dan sepengetahuannya, Rima masih menyendiri,
tidak sedang dekat dengan lelaki mana pun.
Namun tiba-tiba Zakaria berubah pikiran. Rasanya akan lebih afdol
jika ia berbicara pada Kiyai Rasyid, ayah Rima, terlebih dahulu baru berbicara
dengan Rima. Tujuannya satu; agar langkah mulia ini semakin berkah. Ia percaya
ridho Allah ada pada ridho orang tua. Ridho dari orang tuanya telah ia
kantongi, kini tinggal ridho dari orang tua Rima. Setelah resmi mendapat izin
dari Kiyai Rasyid, baru lah ia akan berbicara langsung dengan Rima. Berbicara
dengan wanita yang ia cintai sejak lama dengan posisi mengantongi keridhoan
dari kedua orang tua mereka. Terlepas bagaimana pun hasilnya, Zakaria percaya,
selama proses yang ia jalani baik, Allah pasti akan menunjukkan ke-Maha Adilan-Nya.
Pada hari yang telah Zakaria tentukan, ia datang bertamu ke rumah
Kiyai Rasyid. Saat itu pak kiyai dan istrinya sedang berada di luar. Hanya ada Bik
Minah, asisten rumah tangga keluarga kiyai Rasyid dan Rima di rumah. Zakaria disambut
oleh Rima. Gadis itu mengenakan gamis panjang dan jilbab pink. Alamak, makin
cantik saja dia setiap hari.
“Abah lagi keluar sama ummi, palingan bentar lagi juga pulang, Kak
Zaky mau nunggu atau gimana?”
“Iya, Saya nunggu saja di sini. Boleh kan?” tanya Zakaria berbasa-basi
seraya menunjuk kursi di teras rumah.
“Iya boleh lah, kak. Kakak nih kayak orang lain aja. Ayo silahkan
duduk”
Rima tersenyum. Zakaria juga. Ingin ia nikmati lama-lama senyum itu
tapi ia tak ingin dianggap lancang. Nanti saja kalau sudah menikah aku pelototoin
tiap hari wajah manis itu, gumam Zakaria dalam hati.
Rima pamit hendak membuatkan minum untuk Zakaria. Lelaki itu
menunggu sembari membayangkan betapa indahnya jika Rima menjadi istrinya kelak.
Setiap pagi akan mereka lewati dengan ritual ngopi bersama sembari menikmati suasana
pagi yang romantis. Lima menit kemudian secangkir kopi dan dua piring kudapan
telah tersuguhkan di hadapan Zakaria. Membuyarkan lamunan pejuang cinta itu.
“Silahkan diminum, kak” Rima duduk di kursi yang terletak di
samping kursi Zakaria. Lelaki itu menyeruput kopi bikinan Rima.
“Mantap! Kopinya nikmat, calon istri idaman ini, mah”
“Haha, yang bikin bik Minah lo, bukan Rima, berarti calon istri
idaman Kak Zaky itu bik Minah ya?”
Air muka Zakaria langsung berubah. Rima semakin tak bisa menahan
tawa melihat Zakaria berhasil ia kelabui.
“Benar, kah? Tadi katanya Rima yang mau bikin?” Zakaria sedikit
protes.
“Haha, iya, iya. Becanda, kok. Yang bikin Rima, bukan bik Minah”
“Alhamdulillah”
“Alhamdulillah kenapa?”
“Eh, nggak. Maksudnya, alhamdulillah yang bikin masih jomblo, bukan
istri orang. Saya nggak tega jadi perusak rumah tangga Bik Minah dan Pak Toha”
Rima kembali tertawa.
“Kayak kak Zaky nggak jomblo aja. Makanya cari calon istri dong,
kak” goda Rima.
Entah kenapa Zakaria hanya menanggapi guyonan Rima dengan
menyembunyikan senyum dan menganggukkan kepala. Kan kamu calon istriku, Dek.
Lirih Zakaria dalam hati. Sayang, Rima tak bisa mendengar suara hati lelaki
di sampingnya itu.
***
“Kebetulan sekali kamu datang, Zak!” Kyai Rasyid memulai
pembicaraan.
Pasca kedatangan Kyai Rasyid dan istrinya, Rima masuk ke dalam
rumah. Kini kursi yang tadi diduduki Rima telah dikuasai Kyai Rasyid.
“Ada yang bisa saya bantu, Bah?”
“Diantara seluruh asatidz
(ustadz) di sini, kamu yang paling kreatif dan inovatif. Nggak sia-sia kamu
kuliah ke Jawa”
Zakaria terus mendengarkan.
“Nah, rencananya, 2 bulan lagi pondok kita akan mengadakan acara
yang cukup besar. Saya berharap kamu berkenan jadi ketua panitia
penyelenggaranya”
“Mohon ma’af, acara apa ya, Bah? Kok saya belum dapat informasi
apa-apa”
Kyai Rasyid terkekeh.
“Memang tidak banyak yang tahu, tapi sebentar lagi semua orang
pasti tahu. ini acara keluarga saya.... acara akad nikah dan walimatul ‘ursy
Rima. Dua bulan lagi dia akan menikah”
Rima menikah???
Bukan main terkejutnya Zakaria. Apa ia tak salah dengar? Atau pak
kiyai sedang bercanda? Tidak! kalau bercanda gestur Kiyai Rasyid tak pernah
seperti itu. Ia kenal dekat dengan Kyai Rasyid. Dan kali ini, ia yakin benar,
guru besarnya itu tengah berbicara serius.
“Menikah? Dek Rima akan menikah dengan siapa, Bah?” Zakaria
berusaha mengatur perasaannya senormal mungkin. Tak mungkin ia terlihat rapuh
di hadapan Kyai Rasyid meski hatinya telah hancur berkeping-keping. Harapannya
telah runtuh bahkan sebelum mulai dibangun.
“Dengan putranya Kyai Fuad, pimpinan pesantren Riyadussalihin” kata
Kyai Rasyid sembari menyeruput kopi yang tadi dibuatkan oleh Rima sejenak
setelah ia sampai di rumah.
Zakaria termangu mendengar penjelasan Kyai Rasyid. Ia tak bisa
berbuat apa-apa lagi. Ia sudah kalah. Kalah dengan keadaan. Kalah sebelum
bertanding.
“Semoga semuanya lancar, Bah. Saya yakin Dek Rima bisa jadi istri
yang baik untuk suaminya nanti”
Zakaria mulai membangun pertahanan hati. Kyai Rasyid tersenyum
mendengar ucapan ustadz muda di sampingnya itu. Ia menepuk bahu Zakaria. Lelaki
itu menoleh pada wajah teduh Kyai Rasyid.
“Kamu juga! Semoga dimudahkan jodoh, segeralah menikah, biar
santri-santri putri tak lagi bebas menggodai kamu” kata Kyai Rasyid terkekeh.
Zakaria sebisa mungkin menghadirkan senyum di wajahnya meski kondisi hatinya
begitu paradoks.
“Eh, iya. Kamu ke sini ada perlu apa, Zak?” tanya Kyai Rasyid
seperti teringat sesuatu.
Zakaria tercekat. Tak mungkin ia sampaikan maksud hati ingin
meminta izin mengajak Rima ta’aruf. Sedangkan baru saja Kyai Rasyid mengatakan
bahwa Rima sudah punya calon suami.
“Saya, cuma mau minta pendapat abah, saya ingin melanjutkan S2.
Kebetulan ada peluang beasiswa, tapi ke Eropa bukan ke timur tengah” Zakaria
mencari alasan yang paling logis untuk menutupi luka dalam hatinya yang kini
makin menganga.
Kyai Rasyid menganggukkan kepala. Sejurus kemudian memperi pendapat
panjang lebar. Zakaria mendengarkan dengan baik. Lebih tepatnya pura-pura
mendengarkan. Tak satu pun nasihat itu bisa ia tangkap. Pikirannya berkecamuk. Hatinya
telah patah. Ia kalah dan tak mungkin melanjutkan semuanya.
***
2 bulan berlalu. Pesantren pimpinan Kyai Rasyid hari itu berbeda
dari biasanya. Semua santrinya tumpah ruah dalam suka cita mengiringi
kebahagiaan yang tengah meliputi keluarga kyai mereka. Rima nampak ayu di
pelaminan. Di sampingnya duduk mempelai pria yang tak kalah menawan. Pasangan
yang ideal. Sama-sama keturunan ulama.
Akad nikah telah dilangsungkan. Rima sudah resmi menjadi istri
seorang lelaki. Dan lelaki itu bukan Zakaria. Lelaki yang patah hati itu
melaksanakan tugasnya meng-handle dan mengonsep prosesi akad nikah
hingga walimatul ‘ursy. Pestanya meriah meski tak juga mewah. Semua santri
dilibatkan sehingga terasa sekali bahwa gawe itu bukan hanya milik Kyai Rasyid,
tapi juga santri-santrinya.
Zakaria duduk tepekur di salah satu kursi di taman pesantren.
Matanya menerawang ke depan. Memandang kuncup-kuncup bunga mawar yang sebentar
lagi mekar. Alunan musik membahana dari halaman depan yang telah ia sulap
menjadi arena utama walimatul ‘ursy. Tak pernah ia bayangkan akan menjadi
seorang pengonsep resepsi pernikahan wanita yang ia cintai. Kenyataan memang
tak selalu sesuai dengan harapan. Dan itu yang kini tengah Zakaria rasakan.
Tapi siapa yang mau disalahkan? Kyai Rasyid? Tidak! beliau tidak
tahu apa-apa. Rima? Apalagi gadis cantik itu. Sampai detik ini pun Rima tak
tahu kalau Zakaria mencintainya. Lelaki yang kini jadi suami Rima? Oh Tuhan,
Kau akan marah pada lelaki yang berhasil membahagiakan Rima? Membuat Rima
merasa jadi wanita yang seutuhnya, Zak? Sedangkan dirimu hanya bisa memendam
dan memendam hingga akhirnya kau sadar bahwa kau sudah..... TERLAMBAT. Mungkin
kau tidak terlambat mencintai, tapi kau terlambat mengungkapkan. Dan atas
keterlambatan itu kini kau merasakan sendiri hukuman yang mendera bathinmu.
Zakaria masih tepekur dengan tatapan kosong. Tak ada yang pantas
disalahkan. Tidak juga dirinya sendiri. Bukankah ia sudah tahu bahwa cinta
selalu memiliki muatan kekecewaan? Inilah ujian untuk Zakaria apakah cinta
berhasil membuatnya terjungkal dan jadi pecundang. Atau menjadi seorang yang
tabah dan bangkit dari keterpurukan?
Hidup tak akan berhenti sampai di sini. Life must go on. Selama
dua bulan ini Zakaria belum jua berhasil menghilangkan perasaannya pada Rima.
Namun mulai hari ini, ia harus berhenti mencintai Rima. Ia akan merasa sangat berdosa
dan hina jika mencintai istri orang. Rima tak perlu tahu isi hatinya. Juga
Kiyai Rasyid. Ia tak ingin merusak kebahagiaan orang lain. biarlah sakit hati
ini ia kulum seorang sendiri. Tak boleh ada orang lain yang dirugikan karena kekecewaan
ini.
Smartphone di sakunya
bergetar. Ia melihat ada notifikasi email yang masuk. Ia membuka slide dan
menyentuh ikon gmail. Ia sentuh perlahan email yang baru saja masuk dan
membuyarkan kontemplasinya itu.
Email dari Traveloka. Berisi tiket penerbangan LOP-CGK, Lombok –
Cengkareng. Ia tak bermaksud lari dari kenyataan, hanya saja ia butuh kesibukan
dan pengalih perhatian untuk membunuh segala rasa yang masih tersisa untuk
Rima. Jika terus berada di lingungan pesantren, proses move on nya pasti
lama. Karena Rima dan suaminya telah memutuskan tinggal di lingkungan
pesantren. Zakaria akan mengurus berkas-berkas beasiswa S2 nya di Jakarta. Ia
percaya, Allah pasti punya tujuan baik di balik ujian bathin yang kini ia
rasakan.
“Dek Rima, selamat menempuh hidup baru, semoga menjadi keluarga
sakinah, mawaddah, warahmah” Zakaria mengetik pesan singkat di smartphone nya
lalu mengirim nya.
Ia bangkit. Mengulas senyum penuh arti. Menghirup nafas teratur
lalu menghembuskannya dengan lembut. Senyumnya makin melebar, ada raut optimis
dan semangat baru terpancar; “Semua ini belum berakhir” lirih Zakaria.
Jogja, 26 Maret 2017
13:15 WIB
Bang Izzu
ceritanya menarik skali kak, itu kisah nyata apa hanya sbuah karangan sja?
BalasHapusimajinasi dek, tapi sebagian inspirasinya dari dunia nyata juga... hehe
BalasHapuswahh... ternyata pandai sekali kakak dlm berkhayal hehe...
Hapustpi bgus loh kak menarik sekali ceritannya.
kayaknya udah siap nih jadi penulis yg handal.
doakan saja dek... lagi berproses. eh kamu punya blog gk? klw punya biar abang kunjungi jga, silaturahim antat blog hehe
Hapusya semoga sja, sgala impian kak zudin bisa terwujud.
BalasHapusjujur saya senang sekali dpt membaca dan bisa sdikit berkomentar melalui blok kakak.
ya walaupun hanya sekedar ala basa basi, tpi itu menyenangkan bagi saya, suatu hal yg membanggakan bisa berdialeg dg orang seperti kakak yg insyaAllah akan mjd calon org hebat .. aminnn......walaupun itu jga hanya melalui dumay.
Dan suatu kebahagiaan jg bagi saya, kakak berkenan ingin mengunjungi blok saya(sedikit berharap dpt memilikinya)
nmun sangat disayangkan saya tidak memiliki akun blogger.
hehe...
Bapeeerrr������
BalasHapusUntung itu bukan type saya.
Bapeeerrr������
BalasHapusUntung itu bukan type saya.