Menikmati Atau Memperjuangkan Hidup
Siang ini, selepas latihan debat bersama 5 teman lain, saya
memanfaatkan fasilitas wifi kampus dan berselancar di laman Kompasiana. Sudah
dua minggu lebih saya tak menulis di situ. Selain karena belum dapat “ide” yang
enak ditulis itu apa, kesibukan mempersiapkan lomba debat bahasa Arab di UIN
SUKA dan UI bulan April mendatang telah menyita waktu “selo” yang biasanya saya
gunakan untuk menulis.
Jemari saya gerakkan meng-klik sebuah tulisan yang berada di kolom pilihan,
judulnya “Menangislah Di Usia Muda, Agar Dapat Tertawa Di Kala Menua”. Ditulis
oleh seorang kompasioner dengan nama akun Tjiptadinata Effendi. Akun beliau
terverfikasi. Di bagian bio tertulis bahwa beliau lahir di Padang, 21 Mei 1943.
Dua tahun sebelum Indonesia merdeka. Tentu banyak pahit manis kehidupan yang
pernah beliau rasakan.
Izinkan saya akan mengutip sedikit goresan beliau;
“Sungguh, jauh
lebih baik menangis diusia muda, ketimbang harus menangis dikala usia mulai
menua”
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/tjiptadinataeffendi21may43/menangislah-diusia-muda-agar-dapat-tertawa-dikala-menua_58d5d222707a61c0342d6a60
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/tjiptadinataeffendi21may43/menangislah-diusia-muda-agar-dapat-tertawa-dikala-menua_58d5d222707a61c0342d6a60
Saya percaya beliau menulis dari dalam hati. Di balik kata demi
kata yang beliau goreskan terselip cucuran peluh, sakit, dan penderitaan yang
telah menjelma menjadi sebuah pembelajaran hidup penuh makna. Apa yang beliau
sampaikan bukanlah teori para motivator yang hanya kebanyakan konsep. Yang
beliau utarakan berangkat dari pengalaman panjang hidup penuh warna dan sarat
pesan moral.
Doktrin keliru
Bagi mereka yang berusia muda, ada doktrin keliru yang berkembang
dan cukup populer “mumpung masih muda, nikmatilah hidup!”. Ungkapan ini biasa
digunakan para pemuda yang hobi hura-hura dan bersenang-senang. Kerjaannya
hanya menghabiskan uang yang diberikan orang tua.
Lah, emang nggak boleh, po, menikmati hidup? Ye... siapa bilang nggak boleh? Boleh aja, asal aktifitasmu
menikmati hidup jangan sampai membuatmu terlena bahwa hidup ini bukan
“plesiran” melainkan “perjuangan”.
Tak selamanya raga kita kuat bergerak. Ada saatnya langkah ini
mulai melemah. Otot dan tulang tak sekuat dahulu. Mata memandang tak sejelas
biasanya. Dan ingatan gampang datang gampang hilang. Lantas, ketika semua
kerapuhan raga itu telah menghampiri, masih kah kita bisa bergerak dengan bebas
dan seenaknya?
Karena itu lebih baik menangis di usia muda namun bisa tertawa
ketika telah menua. Meski tak ada yang tahu apakah umur yang telah dijatahkan Tuhan
untuk kita mengizinkan raga dan nafas ini menapaki masa tua atau hanya masa
muda. Tugas kita hanya berusaha dan berproses dengan sebaik mungkin. Urusan Tuhan
ya urusan Tuhan. Ranah ikhtiar kita hanya pada proses, proses, dan proses.
Jangan pahami menangis di sini terlalu leterlek. Karena toh juga
menangis tak selamanya menunjukkan kesedihan. Banyak kok orang yang berderai
air mata lantaran bahagia. Biasanya kebahagiaan yang menguras airmata adalah
kebahagiaan yang penuh kesan dan perjuangan. Lihatlah pemain bola yang berhasil
memenangi partai puncak sebuah kompetisi. Mulai dari pemain, pelatih, penonton,
hingga para official team larut dalam derai air mata. Itulah kebahagiaan
yang penuh perjuangan.
Menangis di sini juga bisa diartikan sebagai representasi
perjuangan yang penuh ujian dan kegagalan. Maka, lebih baik sedih, susah, dan
menangis di usia muda dari pada merasakan itu semua kala usia telah senja.
Sejenak saya teringat kidung Bang Haji Rhoma Irama, berakit-rakit
ke hulu, berenang ke tepian. Sakit-sakit dahulu, susah-susah dahulu, baru
kemudiiaaaaannnn,,, berbahagia.
Tulisan dari Bapak Tjiptadinata memantik ingatan saya pada banyak
nasihat-nasihat lama. Antara lain; masa depan dimulai dari hari ini. Jika baik
yang kau lakukan hari ini baik pula masa depanmu. Jika buruk dan sia-sia yang
kau kerjakan hari ini, hal serupa pun yang akan menyambutmu di masa depan.
Kembali ke pembahasan, jadi sebenarnya yang tepat mana nih,
menikmati hidup atau memperjuangkan hidup? Dua-duanya benar. Masing-masing
punya alasan yang kuat. Akan tetapi kenapa kita tidak coba sintesis-kan kedua
aktifitas di atas? Jadinya gimana, dong? Ya, memperjuangkan hidup baru kemudian
menikmati hidup.
Percayalah, hura-hura, senang-senang, dan istirahat yang paling
baik adalah istirhat ketika lelah. Jika kita berisitrahat sebelum lelah, maka
istirahat tersebut akan menjadi istirahat yang melelahkan.
Jika kalian merasa masih menjadi golongan yang hanya “menikmati”
kehidupan dan belum terlalu memperjuangkan hidup, tak ada salahnya memperbaiki
diri. Terlepas kita berhasil atau tidak, itu urusan belakang. Bahkan kita bisa
mengubah mindset dengan mengatakan bahwa memperjuangkan hidup adalah
sebuah proses yang bisa kita nikmati. Niscaya, perjuangan kita akan terasa
lebih ikhlas, ringan, dan bermakna.
Selamat berjuang!! Selamat menikmati perjuangan!!
Jogja, 25 Maret 2017
12:11 WIB
Bang Izzu
NB : tulisan ini juga saya post di kompasiana, bisa dilihat di sini kalau mau. kalau nggak ya nggak apa-apa, nggak ada bedanya juga sih.. hehe.
Siang ini, selepas
latihan debat bersama lima teman lain, saya memanfaatkan fasilitas wifi
kampus dan berselancar di laman Kompasiana. Sudah dua minggu lebih saya
tak menulis di situ. Selain karena belum dapat “ide” yang enak ditulis
itu apa, kesibukan mempersiapkan lomba debat bahasa Arab di UIN SUKA dan
UI bulan April mendatang telah menyita waktu “selo” yang biasanya saya
gunakan untuk menulis.
Jemari saya gerakkan mengeklik sebuah tulisan yang berada di kolom
Pilihan, judulnya “Menangislah Di Usia Muda, Agar Dapat Tertawa Di Kala
Menua”. Ditulis oleh seorang kompasianer dengan nama akun Tjiptadinata
Effendi. Akun beliau terverfikasi. Di bagian bio tertulis bahwa beliau
lahir di Padang, 21 Mei 1943. Dua tahun sebelum Indonesia merdeka. Tentu
banyak pahit-manis kehidupan yang pernah beliau rasakan.
Izinkan saya akan mengutip sedikit goresan beliau; “Sungguh, jauh lebih
baik menangis di usia muda, ketimbang harus menangis di kala usia mulai
menua.”
Saya percaya beliau menulis dari dalam hati. Di balik kata demi kata
yang beliau goreskan terselip cucuran peluh, sakit, dan penderitaan yang
telah menjelma menjadi sebuah pembelajaran hidup penuh makna. Apa yang
beliau sampaikan bukanlah teori para motivator yang hanya kebanyakan
konsep. Yang beliau utarakan berangkat dari pengalaman panjang hidup
penuh warna dan sarat pesan moral.
Doktrin Keliru
Bagi mereka yang berusia muda, ada doktrin keliru yang berkembang dan
cukup populer “mumpung masih muda, nikmatilah hidup!”. Ungkapan ini
biasa digunakan para pemuda yang hobi hura-hura dan bersenang-senang.
Kerjaannya hanya menghabiskan uang yang diberikan orang tua.
Lah, emang nggak boleh, po, menikmati hidup? Ye... siapa bilang nggak
boleh? Boleh aja, asal aktivitasmu menikmati hidup jangan sampai
membuatmu terlena bahwa hidup ini bukan “pelesiran” melainkan
“perjuangan”.
Tak selamanya raga kita kuat bergerak. Ada saatnya langkah ini mulai
melemah. Otot dan tulang tak sekuat dahulu. Mata memandang tak sejelas
biasanya. Dan ingatan gampang datang gampang hilang. Lantas, ketika
semua kerapuhan raga itu telah menghampiri, masihkah kita bisa bergerak
dengan bebas dan seenaknya?
Karena itu lebih baik menangis di usia muda namun bisa tertawa ketika
telah menua. Meski tak ada yang tahu apakah umur yang telah dijatahkan
Tuhan untuk kita mengizinkan raga dan napas ini menapaki masa tua atau
hanya masa muda. Tugas kita hanya berusaha dan berproses dengan sebaik
mungkin. Urusan Tuhan ya urusan Tuhan. Ranah ikhtiar kita hanya pada
proses, proses, dan proses.
Jangan pahami menangis di sini terlalu leterlek. Karena toh juga
menangis tak selamanya menunjukkan kesedihan. Banyak kok orang yang
berderai air mata lantaran bahagia. Biasanya kebahagiaan yang menguras
air mata adalah kebahagiaan yang penuh kesan dan perjuangan. Lihatlah
pemain bola yang berhasil memenangi partai puncak sebuah kompetisi,
mulai dari pemain, pelatih, penonton, hingga para official team larut
dalam derai air mata. Itulah kebahagiaan yang penuh perjuangan.
Menangis di sini juga bisa diartikan sebagai representasi perjuangan
yang penuh ujian dan kegagalan. Maka, lebih baik sedih, susah, dan
menangis di usia muda daripada merasakan itu semua kala usia telah
senja.
Sejenak saya teringat kidung Bang Haji Rhoma Irama, berakit-rakit ke
hulu, berenang ke tepian. Sakit-sakit dahulu, susah-susah dahulu, baru
kemudiiaaaaannnn, berbahagia.
Tulisan dari Bapak Tjiptadinata memantik ingatan saya pada banyak
nasihat-nasihat lama. Antara lain; masa depan dimulai dari hari ini.
Jika baik yang kau lakukan hari ini baik pula masa depanmu. Jika buruk
dan sia-sia yang kau kerjakan hari ini, hal serupa pun yang akan
menyambutmu di masa depan.
Menikmati atau Memperjuangkan?
Kembali ke pembahasan, jadi sebenarnya yang tepat mana nih, menikmati
hidup atau memperjuangkan hidup? Dua-duanya benar. Masing-masing punya
alasan yang kuat. Akan tetapi kenapa kita tidak coba sintesiskan kedua
aktivitas di atas? Jadinya gimana, dong? Ya, memperjuangkan hidup baru
kemudian menikmati hidup.
Percayalah, hura-hura, senang-senang, dan istirahat yang paling baik
adalah istirahat ketika lelah. Jika kita berisitrahat sebelum lelah,
maka istirahat tersebut akan menjadi istirahat yang melelahkan.
Jika kalian merasa masih menjadi golongan yang hanya “menikmati”
kehidupan dan belum terlalu memperjuangkan hidup, tak ada salahnya
memperbaiki diri. Terlepas kita berhasil atau tidak, itu urusan
belakang. Bahkan kita bisa mengubah mindset dengan mengatakan bahwa
memperjuangkan hidup adalah sebuah proses yang bisa kita nikmati.
Niscaya, perjuangan kita akan terasa lebih ikhlas, ringan, dan bermakna.
Selamat berjuang! Selamat menikmati perjuangan!
Jogja, 25 Maret 2017
12:11 WIB
Bang Izzu
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/king_izzu/menikmati-atau-memperjuangkan-hidup_58d60ed9789373c613b09c99
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/king_izzu/menikmati-atau-memperjuangkan-hidup_58d60ed9789373c613b09c99
Siang ini, selepas
latihan debat bersama lima teman lain, saya memanfaatkan fasilitas wifi
kampus dan berselancar di laman Kompasiana. Sudah dua minggu lebih saya
tak menulis di situ. Selain karena belum dapat “ide” yang enak ditulis
itu apa, kesibukan mempersiapkan lomba debat bahasa Arab di UIN SUKA dan
UI bulan April mendatang telah menyita waktu “selo” yang biasanya saya
gunakan untuk menulis.
Jemari saya gerakkan mengeklik sebuah tulisan yang berada di kolom
Pilihan, judulnya “Menangislah Di Usia Muda, Agar Dapat Tertawa Di Kala
Menua”. Ditulis oleh seorang kompasianer dengan nama akun Tjiptadinata
Effendi. Akun beliau terverfikasi. Di bagian bio tertulis bahwa beliau
lahir di Padang, 21 Mei 1943. Dua tahun sebelum Indonesia merdeka. Tentu
banyak pahit-manis kehidupan yang pernah beliau rasakan.
Izinkan saya akan mengutip sedikit goresan beliau; “Sungguh, jauh lebih
baik menangis di usia muda, ketimbang harus menangis di kala usia mulai
menua.”
Saya percaya beliau menulis dari dalam hati. Di balik kata demi kata
yang beliau goreskan terselip cucuran peluh, sakit, dan penderitaan yang
telah menjelma menjadi sebuah pembelajaran hidup penuh makna. Apa yang
beliau sampaikan bukanlah teori para motivator yang hanya kebanyakan
konsep. Yang beliau utarakan berangkat dari pengalaman panjang hidup
penuh warna dan sarat pesan moral.
Doktrin Keliru
Bagi mereka yang berusia muda, ada doktrin keliru yang berkembang dan
cukup populer “mumpung masih muda, nikmatilah hidup!”. Ungkapan ini
biasa digunakan para pemuda yang hobi hura-hura dan bersenang-senang.
Kerjaannya hanya menghabiskan uang yang diberikan orang tua.
Lah, emang nggak boleh, po, menikmati hidup? Ye... siapa bilang nggak
boleh? Boleh aja, asal aktivitasmu menikmati hidup jangan sampai
membuatmu terlena bahwa hidup ini bukan “pelesiran” melainkan
“perjuangan”.
Tak selamanya raga kita kuat bergerak. Ada saatnya langkah ini mulai
melemah. Otot dan tulang tak sekuat dahulu. Mata memandang tak sejelas
biasanya. Dan ingatan gampang datang gampang hilang. Lantas, ketika
semua kerapuhan raga itu telah menghampiri, masihkah kita bisa bergerak
dengan bebas dan seenaknya?
Karena itu lebih baik menangis di usia muda namun bisa tertawa ketika
telah menua. Meski tak ada yang tahu apakah umur yang telah dijatahkan
Tuhan untuk kita mengizinkan raga dan napas ini menapaki masa tua atau
hanya masa muda. Tugas kita hanya berusaha dan berproses dengan sebaik
mungkin. Urusan Tuhan ya urusan Tuhan. Ranah ikhtiar kita hanya pada
proses, proses, dan proses.
Jangan pahami menangis di sini terlalu leterlek. Karena toh juga
menangis tak selamanya menunjukkan kesedihan. Banyak kok orang yang
berderai air mata lantaran bahagia. Biasanya kebahagiaan yang menguras
air mata adalah kebahagiaan yang penuh kesan dan perjuangan. Lihatlah
pemain bola yang berhasil memenangi partai puncak sebuah kompetisi,
mulai dari pemain, pelatih, penonton, hingga para official team larut
dalam derai air mata. Itulah kebahagiaan yang penuh perjuangan.
Menangis di sini juga bisa diartikan sebagai representasi perjuangan
yang penuh ujian dan kegagalan. Maka, lebih baik sedih, susah, dan
menangis di usia muda daripada merasakan itu semua kala usia telah
senja.
Sejenak saya teringat kidung Bang Haji Rhoma Irama, berakit-rakit ke
hulu, berenang ke tepian. Sakit-sakit dahulu, susah-susah dahulu, baru
kemudiiaaaaannnn, berbahagia.
Tulisan dari Bapak Tjiptadinata memantik ingatan saya pada banyak
nasihat-nasihat lama. Antara lain; masa depan dimulai dari hari ini.
Jika baik yang kau lakukan hari ini baik pula masa depanmu. Jika buruk
dan sia-sia yang kau kerjakan hari ini, hal serupa pun yang akan
menyambutmu di masa depan.
Menikmati atau Memperjuangkan?
Kembali ke pembahasan, jadi sebenarnya yang tepat mana nih, menikmati
hidup atau memperjuangkan hidup? Dua-duanya benar. Masing-masing punya
alasan yang kuat. Akan tetapi kenapa kita tidak coba sintesiskan kedua
aktivitas di atas? Jadinya gimana, dong? Ya, memperjuangkan hidup baru
kemudian menikmati hidup.
Percayalah, hura-hura, senang-senang, dan istirahat yang paling baik
adalah istirahat ketika lelah. Jika kita berisitrahat sebelum lelah,
maka istirahat tersebut akan menjadi istirahat yang melelahkan.
Jika kalian merasa masih menjadi golongan yang hanya “menikmati”
kehidupan dan belum terlalu memperjuangkan hidup, tak ada salahnya
memperbaiki diri. Terlepas kita berhasil atau tidak, itu urusan
belakang. Bahkan kita bisa mengubah mindset dengan mengatakan bahwa
memperjuangkan hidup adalah sebuah proses yang bisa kita nikmati.
Niscaya, perjuangan kita akan terasa lebih ikhlas, ringan, dan bermakna.
Selamat berjuang! Selamat menikmati perjuangan!
Jogja, 25 Maret 2017
12:11 WIB
Bang Izzu
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/king_izzu/menikmati-atau-memperjuangkan-hidup_58d60ed9789373c613b09c99
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/king_izzu/menikmati-atau-memperjuangkan-hidup_58d60ed9789373c613b09c99
Komentar
Posting Komentar