Sepotong Asa Yang Mengetuk Hati


yang di foto : penulis sendiri, lokasi : kota Malang


Sore ini ku selami kembali–seperti biasanya–keramaian kota Gudeg. Memacu si merah menerobos hiruk pikuk kendaraan yang menyemut. Di banding Jakarta kemacetan di Jogja memang belum seberapa. Kota ini tetap menyenangkan. Aku masih merasa nyaman meskipun banyak orang mengatakan Jogja sudah tak seperti dulu lagi. Kan aku juga nggak tahu Jogja “tempoe doloe” itu seperti apa, jadi, untuk membandingkan Jogja hari ini dan Jogja kemarin rasanya bukanlah otoritasku.
Meski kuliah di UGM kos ku malah lebih dekat dengan kampus orang lain, UIN SUKA. Di saat kebanyakan kawan-kawanku menyewa kamar kos di sekitaran kampus seperti Deresan, Pogung, Blimbingsari, Karang Malang, hingga yang paling dekat dengan FIB, Kuningan, aku malah lebih memilih Gowok yang terletak tak jauh dari UIN SUKA. Bukan bermaksud mencari calon istri di UIN, aku tak se-ngebet itu untuk menikah. Melainkan harga sewa yang amat sangat terjangkau (untuk ukuran Jogja) menjadi alasan utama mengapa aku memilih kos di sini dan bertahan sampai detik ini.
Kamis sore ini aku pulang lebih cepat dari biasa. Jadwal mengajar hari ini dibatalkan lantaran mahasiswa yang hendak aku bimbing belajar berhalangan hadir karena harus menyelesaikan bab 1 skripsinya. Ah, semoga skripsi beliau dilancarkan dan lekas lulus dari kampus–yang katanya kampus–kerakyatan itu.
Sesampai di kos sebuah honda mobilio putih terparkir di depan gerbang. Hari ini hari kamis. Bapak-bapak yang menyewa kamar persis di sebelah ku rutin datang setiap hari kamis dan pulang setiap hari Minggu. Ah, aku sampai hapal pola beliau. Bahkan, aku juga tahu siklus mobil yang ia kendarai. Kalau tidak Toyota Innova hitam ya Honda Jazz metalik, kalau nggak dua-duanya ya Honda mobilio putih yang sore ini menyambutku di depan gerbang kos.
Bapak tersebut tengah menempuh studi pascasarjana di UNY. Di kos ku ada 3 orang yang tengah bergelut menyelesaikan pendidikan pascasarjana mereka. Bapak tersebut, mas-mas yang baru beberapa bulan lalu resmi menjadi bapak, dan pamanku. Sebenarnya kos ini adalah warisan pamanku. Ia lebih dulu kuliah S3 di Jogja. Dan ketika kewajibannya menghadiri mata kuliah di kelas telah habis, kebetulan sekali aku baru diterima jadi maba di UGM. Dari pada repot cari kosan lebih baik menempati yang sudah ada. Sesimpel itu aku berfikir.
Aku menaiki tangga menuju lantai 2. Kamarku memang terletak di sana. Ku rogoh saku mencari kunci lalu membuka pintu kamar yang hampir 24 jam aku tinggalkan. Semalam aku nginap di kos teman dan berangkat kuliah dari sana juga. Ada rasa kangen pada kamar pengap yang kadang rapi kadang berantakan ini. Setelah pintu terbuka ku lepas sepatu dan ku letakkan ransel di samping kasur. Mengganti baju lalu merebahkan tubuh yang letih di kasur. Dua hari ini terasa sangat melelahkan. Tapi tak apa. Lebih baik berlelah-lelah hari ini dari pada berlelah-lelah dan menderita di masa depan. Masa depanku dimulai hari ini. Jika kebaikan yang aku lakukan hari ini masa depanku pasti baik. Pun juga sebaliknya.
Pesawat udara melintas di atas kosku. Aku yakin itu pasti pesawat jenis ATR. Suaranya tak terlalu bising seperti Boeing atau Airbus. Nah, ini juga alasan mengapa aku betah tinggal di kos ini. Jika kalian hendak ke Bandara Adi Sucipto dari kosku, kalian hanya membutuhkan waktu 5 menit. Dekat sekali bukan? Dan Kalian harus tahu, setiap kali aku memikirkan rumah, merindukan rumah, dan ingin makan makanan rumah, aku selalu berkata pada diri sendiri : “Tenang, Zu. Pulang mah gampang. Berangkat ke bandara 5 menit. Naik pesawat. Nyampe deh! Yang sulit itu sukses! Berhasil! Bikin semua orang bangga! Lombok mah deket, kamu bisa pulang kapan aja”. Percaya atau tidak, monolog seperti ini berhasil meredam kerinduanku yang kian hari kian mekar. Rindu pada keluarganya tentunya, bukan pada mantan. Hoho. Mantan kok dirindukan? Mari mengheningkan cipta untuk para mantan yang telah memutuskan kita secara sepihak. Wkwkwk.
Aku lanjutin ya???
Saat tengah asyik merebahkan tubuh sembari memainkan game score hero di smartphone, bapak di samping kamarku mengetuk pintu. Aku beranjak menghampiri.
“Saya mau pamit, mas, alhamdulillah urusan di kampus sudah selesai” ada senyum kebahagiaan terpancar dari wajahnya.
“Alhamdulillah, saya turut senang, pak. Selamat, nggih
“Terima kasih, mas. Saya juga mohon maaf kalau selama ini banyak kesalahan”
“Saya juga, pak, kalau selama ini ada banyak kesalahan, mohon kiranya dimaafkan”
Nggih, mas. Semoga teman-teman di kos ini sukses semua dan dimudahkan urusan studinya”
“Aamiinn Ya Rabbal Alamin”
Sore itu, si bapak berpamitan kepada para penghuni kos. Ia membawa kabar baik. Ia telah berhasil menyelesaikan studi pascasarjananya. Ia keluar hanya membawa satu buah ransel. Mungkin barang-barangnya yang lain sudah dimasukkan ke dalam mobil lebih dahulu. Tadinya aku berniat hendak membantu membawakan barang-barang beliau.
Di senja yang mendung ini satu orang penghuni kos pengap ini telah keluar lantaran tugasnya sudah paripurna. Mas-mas yang baru beberapa bulan lalu resmi jadi bapak itu pun juga akan menuntaskan pascasarjananya semester ini. Tempo hari sewaktu hendak meminjam ember saya, mas itu berkata bahwa semester ini adalah semester terakhirnya. Jika tidak bisa wisuda dia akan kena DO. Tapi saya percaya beliau pasti bisa menyelesaikan studinya secepat mungkin.
Pamanku apa kabar? Aku kurang tahu pasti berapa semester lagi beliau diberi kesempatan oleh kampusnya untuk menyelesaikan doktoralnya. Memang beberapa tahun terakhir beliau disibukkan mengelola penerbitan dan percetakan yang menjadi salah satu unit usaha perusahaan keluarga kami. Tahadduts binni’mah perkembangannya cukup progresif sehingga mau tidak mau beliau harus meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk terus membangun atmosfer profesionalitas dalam perusahaan. Tapi aku tetap berharap beliau segera punya waktu menggarap desertasi dan menyelesaikan gelar doktor nya. Karena tahun depan beliau harus kembali mengajar ke kampus nya, UIN Mataram. Atau mungkin, paman dan aku akan wisuda di waktu yang bersamaan? Hehe.
Bagiku, kuliah cepat atau lambat bukanlah indikator keberhasilan atau kegagalan. Setiap orang punya momen-nya masing-masing. Punya passion dan pilihan hidup yang tak bisa diintervensi orang lain. Dan aku lebih memilih dan berharap bisa menyelesaikan perkuliahan secepat mungkin agar segera bisa fokus melakukan hal-hal lain yang lebih besar, bermanfaat, dan membanggakan serta membahagiakan keluarga.
Aku ingin S2 di luar negeri, Malaysia atau Inggris nggak apa-apa. Aku ingin segera memiliki karya tulis (bukan skripsi aja ya) yang dapat menghibur dan memberi manfaat untuk Indonesia, aku ingin membantu orang tua dalam mendistribusikan olahan makanan ringan “milenium” yang kini, tahadduts binni’mah, telah menyebar seantero Lombok di berbagai toko dan supermarket. Ingin rasanya aku melihat produk kami tembus hotel-hotel terkenal di Lombok. Insya Allah pasti bisa. Aku juga ingin belajar dunia penerbitan pada paman. Bahkan bila perlu aku jadi salah satu penulis andalan di penerbitan beliau, hehe.
Aku juga ingin menikah. Haha. Tapi nggak usah bahas ini sekarang lah. Perjalanan masih panjang. Life must go on. Aku harus terus berproses tanpa kenal lelah. Istirahat boleh, namun putus asa? Jangan!!!
Sore ini, keberhasilan bapak tetangga kosku dalam menyelesaikan studi pascasarjananya menginspirasiku untuk lebih serius kuliah dan bisa lulus dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Hehe. Amiin ya rabbal ‘alamin. Isykarima!! Hiduplah dengan mulia!!

Jogja, 23 Maret 2017
17:22 WIB

Bang Izzu

Komentar

Postingan Populer