Antara Mamah Muda (Mahmud) Kota dan Desa
Tadi malam saya
berkesempatan melakukan komunikasi dengan sahabat lama, seorang calon bidan
yang sebentar lagi akan menyelesaikan studinya. Sebut saja Mawar
Makiyah. Kebetulan esoknya saya libur kuliah dan tidak kemana-mana malam itu.
Setelah berbasa-basi menanyakan kabar, kami mulai bertukar cerita. Saya sendiri
tidak bercerita banyak, tak ada hal spesial yang menarik untuk diceritakan.
Membahas mantan pun saya enggan. Kayak nggak ada pembahasan yang lebih
penting aja, iya kan?
![]() |
sumber : Instagram |
Menariknya malam itu saya
memintanya untuk menceritakan pengalamannya selama berdinas. Oh iya, mahasiswa
ilmu kesehatan memang lebih banyak praktik dari pada belajar teori di kelas. Mereka
disiapkan untuk menjadi tenaga-tenaga medis mumpuni nan profesional bagi
masyarakat. Termasuk si Makiyah ini. Segala jenis ruangan telah ia cicipi,
mulai dari ruang operasi, UGD, hingga ruang ibu dan anak. Tentu ada banyak
cerita yang bisa ia sampaikan, apalagi dari perspektif seorang perawat. Ah,
andai dia suka nulis pasti banyak bahan yang bisa dia goreskan. Sayang dia
lebih suka nyanyi dari pada nulis. Kalau pun nulis ya palingan nulis KTI (Karya
Tulis Ilmiah), itu pun karena ditugasi dosen. Hehe.
Dari cerita yang ia
sampaikan saya bisa menyimpulkan bahwa ada perbedaan sikap antara ibu-ibu
mamah-mamah muda di kota dan di desa. Ia juga setuju dengan klaim saya.
Meskipun ceritanya lebih banyak mengeluh tapi saya bisa memaklumi. Tenaga medis
itu kerjaannya banyak. Maka, wajar jika capek, bosen, penat, dan nggak betah
sering menggoda komitmen. Tapi biar bagaimanapun mereka harus profesional.
Nyawa dan kesehatan pasien ada di tangan Tuhan, melalui perantara tangan mereka.
Berbagai jenis ibu-ibu
mamah-mamah telah ia hadapi dan yang paling mainstream ya mamah-mamah yang
manja. Begitu ia memberikan istilah. Lah kok bisa dibilang manja? Banyak
diantara mamah muda itu yang mager mandiin bayinya, mengganti popok, hingga
mengganti pakaian si bayi. Tak ayal si suster lah yang harus mengambil alih pekerjaan
tersebut.
“Sus, tolong gantiin
popok anak saya dong!”
“Sus, mandiin anak saya,
ya!”
“Suster, anak saya pipis,
tolong bersihin ya!”
“Suster, mau anak saya
nggak? Dua juta aja deh, bisa nego kok!”
Untuk ilustrasi terakhir,
percayalah, itu hanya imajinasi liar saya.
Sekilas kita akan
berfikir, lah itu emang tugasnya suster, kan? Membantu pasiennya. Benar,
saudaraku, maha benar kamu dengan segala statment mu. Tapi, tenyata eh
ternyata, dalam standar pelayanan kesehatan, utamanya untuk ibu yang baru
melahirkan, bukan hanya service yang harus diberikan, tapi juga education.
Suster sebisa mungkin mengajari si ibu bagaimana cara memandikan bayi yang
baik dan bersih, mengganti popok dengan elegan, dan membersihkan badan si bayi
kalau ia pipis atau pup. Nah kalau selama di Rumah Sakit si mamah mager, kapan
dong belajarnya? Maybe untuk kasus yang melahirkan anak kedua atau
ketiga ya ndak apa-apalah nggak diajari, toh juga mereka sudah punya pengalaman.
Tapi menurut saya, memang, bagi mamah-mamah yang baru melahirkan anak pertama
hal ini teramat penting, guna kelancaran ikhtiar mereka berproses menjadi mamah
terbaik bagi anak-anak.
Menurut Makiyah, ia kerap
menjelaskan dengan sabar kepada pasiennya bahwa yang bersangkutan harus belajar
melakukan “pekerjaan-pekerjaan” tersebut. Apa yang didapatkannya, sodara-sodara?
Si ibu akan kembali ngeyel dan melas-melas minta tolong pada si suster. Bahkan
ada yang ngeles tapi kebangetan banget, “Yah, sus. Kalau anak pertama mah ntar
yang mandiin ama gantiin popok kan ada neneknya”. Buset, itu nenek atau baby
siter?
Kalau membandingkan
dengan kondisi sosial dan psikologis ibu-ibu di desa maka akan kita temukan
perbedaan yang cukup mencolok. Namun tentu ndak semua mamah-mamah muda (mahmud)
di kota itu manja dan tidak semua ibu-ibu di desa itu mandiri. Likulli
say’in ististna’. Selalu ada pengecualian dalam segala hal.
Ibu-ibu di desa justru teramat antusias merawat bayinya sejak si bayi
nongol. Nggak ada kata mager mandiin bayi, usapin minyak telon, bersihin pipis
dan pup nya, dan juga menggendongnya. Peduli amat dengan perubahan tubuh pasca
melahirkan, yang terpenting adalah memberi perawatan terbaik pada si bayi.
Di kota kan beda. Barisan mamah-mamah muda, biasanya, akan fokus aerobik,
jogging, dan nge-gym demi mengembalikan bentuk tubuh seperti sebelum
hamil. Alhasil? Anaknya pun diititipi pada sang nenek ataupun baby sister. Ya,
keduanya sama-sama punya aspek positif dan negatif, tapi saya nggak mau men-judge.
Takut subyektif, apalagi saya dari desa, nanti malah cenderung pro ke
ibu-ibu yang tangguh dan mandiri dari desa pinggir kota. Cukuplah saya utarakan
perbedaan kecil ini dengan berusaha seobyektif mungkin.
Itu baru pengalaman yang
menyebalkan. Beberapa kali si Makiyah harus menyaksikan dengan mata kepalanya
sendiri adegan yang mengharu biru. Si calon mama yang harus meregang nyawa
melahirkan buah hati, tangis suami yang ditinggal oleh si istri, hingga si
calon bayi yang sudah tak bernyawa sejak di dalam perut.
Ada pula kisah-kisah
bahagia yang tak jarang menguras air mata. Tapi sebagai tenaga medis yang
profesional mereka dilatih untuk netral. Kalau pasien bahagia ya nggak usah
ikut terlalu bahagia, kalau pasien sedih ya jangan ikut mengeluarkan air mata.
Ah, andai dia suka nulis kan menarik tuh bikin catatan harian dari perspektif
suster. Biar banyak orang tahu ribetnya, repotnya, dan suka dukanya jadi kuli
kesehatan itu apa. Biar orang-orang tahu perasaan suster itu kek mane.
Tapi dia selalu bilang
“boro-boro waktu buat nulis, waktu buat pulang ke Lombok sehari aja nggak ada”.
Jogja, 04
Maret 2017
06:54 WIB
Bang Izzu
Komentar
Posting Komentar