Rindu Ini Belum Tuntas




Tak terasa waktu zuhur telah tiba. Sebagai santri yang baik kami segera mencari langgar, masjid, ataupun mushola. Tak jauh dari Bukit Merese ada sebuah masjid kecil berdiri kokoh. Banyak wisatawan menunaikan sholat zuhur di sana. Belasan motor dan beberapa mobil berjejer di pinggir jalan.
Sayang masjid tersebut belum lengkap fasilitasnya seperti kamar mandi dan tempat berwudu’. Hanya ada masing-masing satu buah kamar mandi dan tempat wudu’. Tak ayal wisatawan harus antri untuk mendapat giliran buang hajat maupun berwudu’.
Kami membagi diri. Ada yang tetap menunaikan sholat di masjid ini dan ada yang menunaikannya di masjid lain, tentunya masih dalam kawasan Mandalika Resort. Saya memilih tetap di masjid ini. Kepalang tanggung sudah antri terlalu lama masa iya saya tinggalkan begitu saja.
Seusai solat zuhur kami istirahat sejenak di halaman masjid yang satunya. Beberapa kawan nampak mengaktifkan bluetooth di HP mereka. Buat apa lagi kalau bukan ritual kirim foto? Di Bukit Merese teman-teman yang kualitas kamera Hpnya bagus pun jadi korban. Rony dengan Samsung S4nya, Rafi dengan Iphone nya, dan tak lupa pula Habib (yang nggak jomblo) dengan xiaominya. Hampir semua wajah kami singgah di memory HP mereka.
Setelah merasa cukup lama berisitrahat kami pun mulai berfikir mau dibawa kemana kebersamaan ini pasca dari Bukit Merese? Beragam usulan membahana. Entah kenapa Ojan sangat antusias ingin ke rumah Erna. Di dekat rumah Erna memang ada air terjun yang lumayan bagus. Benang Stokel & Benang Kelambu. Tapi karena keseringan ke sana ya rasanya kami kurang bergairah. Sepertinya Ojan punya maksud lain, apalagi kalau bukan berkunjung ke orang tua Erna. Cieeeee.
Usul yang paling absurd adalah Aik Nyet. Ya kali kami sudah sampai Lombok Tengah eh balik lagi ke Lombok Barat. Sebagian besar menginginkan destinasi yang tidak terlalu jauh dari Merese ini.
Karena kelamaan berdebat akhirnya kami semua pun naik motor. Kesepakatan saat itu adalah “naik motor dulu ntar mikir destinasinya dimana”. Tarik booossss.....!!!!
Gerombolan klub motor GENKSI 14 pun melaju penuh bahagia. Diantara banyak momen yang kami lalui, konvoi dengan sepeda motor ini adalah salah satu yang sangat saya senangi. Masih terngiang jelas beberapa tahun lalu kami pernah konvoi dari Pancor menuju Pantai Pink. Hanya saja saat itu pesertanya ndak sebanyak kali ini. Makin banyak kawan ya makin seru.  


Saya tak pernah menyaksikan sinetron Anak Jalanan RCTI. Tapi saya percaya kegantengan kami ndak kalah sama si Boy. Kecantikan teman-teman pun ndak jauh beda dengan Natasha Wilona. Ah, siapa nama peran si cantik Natasha Wilona itu? Saya lupa. Reva, Rina, apa Siti ya? Ah sudahlah, yang penting maksudnya ya Natasha Wilona itu.
Kami bergantian saling mendahului hingga akhirnya kami sepakat menuju Pantai Selong Belanak. Namun entah bagaimana ceritanya kok kami malah mendarat di Pantai Mawun. Eh, tapi tunggu dulu. Pantai ini bukannya pernah dipakai mandi oleh si darah suci itu ya? Namanya saya lupa. Pokoknya cakep. Main di GGS. Sinetron yang kini reinkarnasi lagi setiap sore menjelang magrib. Pantai ini pernah diliput My Trip My Adventure dan Selebriti on Vacation yang sama-sama nongol di Trans TV. Kadang saya merasa galau. Kok orang luar yang lebih tahu keindahan daerah sendiri dari pada saya yang notabene Terune asli Lombok.
Karcisnya nggak mahal kok, Cuma Rp. 5.000,- per motor. Parkirnya pun gratis. Ternyata Pantai Mawun nggak kalah ramai dengan Bukit Merese. Dan yang pasti, ndak kalah indah juga. Pantai ini cenderung beda dengan pantai-pantai lain di Lombok. Melihat pantai ini saya teringat pantai yang tersebar di Gunung Kidul. Airnya tenang lantaran deburan ombak telah terurai di depan sana oleh batu Karang yang menjulang tinggi.
Air pantainya biru sebiru langit. Ah ingin rasanya segera bercebur tapi ada satu hal yang ingin saya lakukan sebelum menceburkan badan. Saya mengajak teman-teman melingkar terlebih dahulu lalu duduk di tengah-tengah mereka. Tak lupa saya izin ke Bapak Ketua Panitia, Sodara Habib (yang jomblo), untuk berbicara. Alhamdulillah beliau mengizinkan.
Suasana pantai yang tenang, indah, nan romantis menjadi saksi pertemuan kembali kami setelah hampir 3 tahun tamat dari Pesantren. Usia 3 tahun tentu masih terbilang belia. Namun kebeliaan tersebut sangat tak pantas dijadikan alasan bertindak apatis pada pondok apalagi malas berkontribusi. Maka melalui momen itu saya menghimbau kepada teman-teman untuk menguatkan kembali semangat angkatan ke-19. Mengingatkan kembali bahwa kami adalah Generasi Emas yang tengah berproses. Saya menantang teman-teman untuk membuat sebuah acara paling tidak 6 bulan lagi yang kita pusatkan di pondok. Kita kembali ke pondok, berbagi cerita, ilmu, dan pengalaman serta motivasi agar adik-adik di pesantren bisa lebih baik dari kita.
Lalu puncaknya adalah kita liburan lagi. berhubung kali ini pantai sudah disambangi maka saya mewacanakan agar kita nge-gunung libur lebaran nanti. Tak disangka usul yang terakhir ini yang paling diterima. Haha.
Oiya, di sela-sela apa yang saya bicarakan tak lupa saya mintakan do’a untuk dua kawan kami yang sebentar lagi akan berangkat meninggalkan Indonesia. Mereka terpilih di Universitas al-Ahgaf Yaman untuk melanjutkan studi. Pahrul Hadi menyampaikan permohonan do’a dan permintaan maaf jika selama ini banyak salah pada kami. Sahabat kami yang paling mempesona janggutnya itu pun berharap akan banyak sahabat GENKSI 14 yang akan menyusul mereka ke luar negeri.
Tanpa memperpanjang kalam saya pun menutup acara ngobrol-ngorbol santai itu. Selanjutnya acara bebas.
HP pun mulai dikeluarkan. Tongsis dihunus. Senyum mulai direkah. Lalu cekrek. Mereka berselfie ria tiada henti. Kalau saya mah lebih memilih mandi. Saya, Pahrul Hadi, dan Musa. Hanya kami bertiga yang memutuskan mandi. Yang lain sekedar jalan-jalan. Selfie dan ada pula yang nyari-nyari cewek yang bisa dijadikan gebetan. Ah mereka memang tak pernah berubah dari dulu.
Lombok, betapa aku bersyukur lahir di tanah berkahmu. Keindahanmu kerap luput untuk kami syukuri. Mungkin kini kau bahagia mulai dikenal banyak orang. Tapi di waktu yang sama kau menjerit. Menjerit lantaran takut keperawananmu dirusak kaum kapitalis-matrealis. Namun sebagai terune-dedare yang baik, kami siap menjaga, melestarikan, dan mensyukuri semua keindahan yang telah Tuhan titipkan di Bumi Seribu Masjid ini. Insya Allah.

Jogjakarta, 30 Januari 2017
17:36 WIB

Muhammad Izzuddin

Komentar

Postingan Populer