Tidak Beribadah Karena Takut Sombong
Suatu ketika seorang anak
dibelikan pulpen baru oleh sang ayah. Kebetulan mereka keluarga berada. Jangankan
pulpen, mobil saja pun sanggup sang ayah berikan. Tapi pulpen itu bukan pulpen
sembarangan. Pulpen itu ajaib. Tinta yang keluar dari dalam pulpen beraneka
warna sesuai dengan tulisan apa yang digoreskan di atas kertas. Kala menulis
surat cinta tinta yang keluar berwarna pink. Saat surat untuk sahabat yang
digores tinta warna biru yang keluar.
Uniknya sang anak tidak
menyombongkan diri lantaran punya pulpen anti mainstream tersebut. Suatu
ketika sang ayah berkata “Aku bangga padamu nak, aku membelikanmu pulpen itu
dari uang yang sudah ku tabung bertahun-tahun. Aku Cuma punya satu tujuan
membelikannya untukmu. Melatihmu agar tidak menjadi sombong dengan apa yang
kamu miliki”
Sayang bulan madu rasa
bangga dari sang ayah ke sang anak tak bertahan lama. Pasca kejadian itu sang
ayah dibuat sering marah lantaran si anak enggan ke rumah ibadah. Kalau sekali
dua kali sang ayah masih bisa mengelus dada. Namun tidak jika sudah 17 kali
lebih.
“Maumu apa?” tanya sang
ayah suatu ketika
“Maaf ayah, aku belum
bisa mengikutimu ke rumah ibadah karena ragu akan satu hal”
“Ragu apa? Kamu ragu pada
kebenaran agama kita?”
“Untuk pulpen aku bisa
ayah”
“Bisa apa?”
“Mengatasi rasa sombong.
Tapi aku belum yakin apakah setelah pergi ke rumah ibadah aku bisa menguasai
rasa sombong atau tidak.”
“Hah? Sombong apa?”
“Sombong karena aku
merasa lebih baik dari mereka yang tak beribadah”
Petikan kisah ini saya
baca dalam buku berjudul “Tuhan Maha Asyik”. Ditulis oleh Sujiwo Tejo dan Dr.
MN. Kamba. Saya tidak akan menjabarkan makna atau intisari dari kisah di atas. Semuanya
ada di dalam buku beliau (silahkan dibaca sendiri). Inti besarnya kesombongan sangat
tak pantas untuk dipelihara. Apalagi kesombongan dalam beragama.
Di sini saya tidak akan
mengkritisi pendapat Sujiwo Tejo ataupun ceritanya. Karena cerita hanya
ilustrasi belaka. Sebagai pengantar menuju poin utama dan garis besar. Tapi saya
mewanti-wanti jika ilustrasi dalam cerita di atas terjadi dalam kehidupan
nyata; seseorang enggan beribadah karena nggak mau sombong. Apakah hal tersebut
adalah pilihan yang tepat? Mari kita diskusikan!
Sombong merupakan
penyakit hati yang teramat berbahaya. Jika diungkapkan melalui kata-kata sangat
berpotensi melukai mereka yang mendengarkan. Allah sangat membenci sifat ini. Maka
sudah sangat jelas kita patut dan pantas menghindari perilaku-perilaku dan
pemikiran-pemikiran yang menyombongkan diri atau orang lain.
Dalam konteks beragama
pun demikian. Perlu di garis bawahi agama dan beragama itu berbeda. Agama ya
agama itu sendiri dengan seluruh ajaran, aturan, dan karakteristiknya. Sedangkan
beragama adalah cara seseorang atau sekelompok orang dalam memahami aturan dan
ajaran agamanya termasuk mengimplementasikannya.
Sujiwo Tejo melalui
ilustrasi di atas menyiratkan bahwa kesombongan karena beragama adalah fatal. Orang
yang rajin sholat tak pantas sombong atas mereka yang tidak pernah sholat. Mereka
yang berpuasa ramadhan tidak boleh sombong atas mereka yang tidak berpuasa. Karena
kesombongan selalu mengindikasikan pelakunya memiliki rasa “lebih baik” dari
yang lain.
Lantas, kembali kepada
kekhawatiran awal saya, seandainya ilustrasi tersebut menjadi true story, apakah
kita bisa membenarkan tindakan orang tersebut? Bismillah, begini ilustrasi yang
akan saya berikan. Simak baik-baik meme di bawah ini.
![]() |
sumber : Instagram |
Saya sependapat sekali
dengan meme di atas. Contohnya sewaktu kita memutuskan untuk mulai–rajin–membaca
buku. Di awal-awal kita akan rajin membaca beragam buku. Dari setiap buku kita
mendapat informasi yang tidak diketahui oleh mereka yang tidak membaca buku. Nah,
dari sini benih kesombongan itu mulai tumbuh. Merasa lebih tahu banyak
ketimbang orang yang tidak membaca. Bahkan merasa lebih baik dari mereka yang
enggan masuk ke perpustakaan. Ini baru tahap awal.
Tahap selanjutnya,
kira-kira berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pasca membiasakan diri membaca, kesombongan
itu mulai menipis. Pelan namun pasti kita tersadar bahwa sombong tak ada gunanya.
Malah merugikan diri sendiri. Semakin intens membaca semakin berkurang kadar
kesombongan itu.
Lantas tahap terakhir
adalah ia merasa tidak ada apa-apanya. Ia merasa kecil di dalam pengetahuan
yang begitu luas. Ternyata masih banyak yang belum diketahui dan dipahami. Kalau
sudah begini apalagi yang hendak disombongkan?
Membaca sama artinya
mencari ilmu. Maka saya rasa meme dan ilustrasi yang saya berikan cukup
nyambung,kok. Meme tersebut konon terinspirasi dari amirul mukminin,
Umar bin Khattab. Dalam sumber yang lain saya pun pernah membaca kisah tentang
Buya Hamka yang semasa muda pernah mengatakan maulid itu bid’ah namun ketika
sudah berusia senja beliau malah menghadiri undangan maulid. Ketika ditanya terkait
hal tersebut beliau menjawab dengan bijaknya
“Dahulu saya belum banyak
membaca, tapi sekarang saya sudah membacanya. Mereka yang tidak melakukan
maulid sudah saya baca alasannya, dan Kalian yang melakukan prosesi maulid pun
sudah saya baca alasannya”. Semakin banyak ilmu yang kita dapatkan, biiznillah,
semakin tawaddu’ hati kita, insya Allah.
Begitu juga dalam ibadah.
Bisa jadi ketika kita rajin ke masjid benih kesombongan itu muncul dengan
begitu halus. Kita merasa kasihan dalam hati kepada mereka yang masih asyik nongkrong
saat azan berkumandang. Merasa lebih baik dari mereka. Bahkan bisa jadi
mendoakan mereka agar bisa serajin kita dalam beribadah.
Tapi lambat laun jika
ibadah itu konsisten dilakukan bukan tidak mungkin ia akan merasa kurang. Tak cukup
rasanya hanya dengan beribadah di masjid. Ia merasa kecil di tengah luas dan
tak terbatasnya karunia Sang Pencipta. Tidak ada yang pantas disombongkan. Tidak
ada yang patut dibanggakan.
Maka saya menyarankan
teruslah beribadah, perbaiki kuantitasnya dulu, perbanyak frekuensinya. Baru kemudian
tingkatkan kualitas dan jika Allah meridhoi kita akan sampai pada derajat
kulminasi ibadah yakni keikhlasan, ketulusan, dan ketidak-pamrihan. Semuanya butuh
proses panjang yang tidak mudah. Dinamika pasti akan selalu ada. Semakin tinggi
derajat kita semakin ciamik pula dinamika yang menerpa. Yang terpenting jangan
berhenti beribadah utamanya ibadah fardhu (wajib).
Hey, kekhawatiran menjadi
sombong bisa jadi adalah kesombongan itu sendiri. Tidak mau dikatakan sombong
karena rajin ke masjid justru adalah kesombongan yang lebih merugikan. Wallahu a’lam.
Jogjakarta,
08 Februari 2017
10:40 WIB
Bang Izzu
Komentar
Posting Komentar