Membangun Karakter Bangsa Melalui Shalawat
Kamis malam kemarin saya
meluangkan waktu menghadiri acara UNY bershalawat bersama Habib Syeikh bin
Abdul Qadir Assegaf atau yang masyhur disapa Habib Syekh. Bagi Anda yang belum
tahu, Habib Syeikh adalah salah satu ulama kharismatik di kalangan nahdliyin
(NU) khususnya dan juga umat Islam pada umumnya. Beliau rajin berpindah
dari satu daerah ke daerah lain untuk mengajak kaum muslim bershalawat. Bahkan lintas
negara.
Format dakwah beliau
sedikit mirip dengan Cak Nun. Bila Cak Nun punya Kiyai Kanjeng, Habib Syeikh
pun memiliki tim hadroh yang setia menemani dan mengiringi kemanapun Habib
Syeikh berdakwah. Daya tarik utama Habib Syeikh bagi saya pribadi ialah suara
beliau yang khas dan pemahaman Islam yang moderat. Ketika ada perbedaan
pendapat di kalangan Islam Indonesia beliau lebih memilih concern mengajak
kaum muslimin bershalawat. Beliau tidak memihak ke salah satu pihak yang
bersitegang.
Malam itu motor saya titipkan
di halaman parkir rumah makan yang berada tepat di hadapan kopma UNY. Ribuan motor
menyemut, apa lagi manusia. Kami berbondong-bondong menuju tempat yang sama,
lapangan Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY, medan utama UNY Bershalawat.
Alamak, saya datang
terlambat. Maksud hati ingin dapat barisan depan malah dapat agak belakang. Tapi
itu bukan alasan mengurungkan niat bershalawat pada kanjeng Nabi. Kapan lagi
bisa merasakan atmosfer shalawatan bersama puluhan ribu orang di malam Jum’at
nan berkah seperti sekarang ini?
Oiya, sebelum memasuki
arena saya menyempatkan diri menyambangi lapak-lapak pedagang yang tiba-tiba
saja muncul. Hehe. Setelah menimbang-nimbang akhirnya saya memutuskan membeli
sebuah syal bertuliskan Syeikher Mania. Syeikher Mania ini semacam Aremania-nya
Arema Malang. Atau Sahabat Noah-nya band Noah. Dan barcelonista-nya Barcelona. Saya
pribadi nge-fans dengan keunikan suara beliau. Selembar dua puluh ribu
dan selembar lima ribu saya serahkan kepada si bapak penjual pernak-pernik itu.
Malam itu kami
bershalawat, berdo’a, dan mengungkapkan cinta pada Baginda Nabi.
Shalawat-shalawat yang dilantunkan menyejukkan gendang telinga. Hati seakan
ikut bersenandung. Aliran darah tak sudi kalah. Semua bershalawat dengan penuh
cinta dan ketulusan. “Masih banyak orang yang mencintaimu di tengah makin munafik
nya kehidupan ini” gumam saya. Semoga kita menjadi bagian umat nabi
Muhammad yang setia.
Berikut dokumentasi yang
berhasil saya abadikan melalui kamera Xiaomi Note 3 Pro. Karena di-cekrek malam
hari maka mohon dimaklumi hasilnya ndak terlalu jelas.
Meski bukan orang NU,
saya sangat mengapresiasi langkah dan startegi dakwah yang digunakan Habib
Syeikh. Beliau irit tausyiah. Tak banyak retorika yang disampaikan. Apalagi sampai
memprovokasi ummat. Beliau melengkapi puzzle karakterisitik para ulama
yang beragam di ibu pertiwi tercinta ini.
Saya percaya tidak hanya
saya yang mengagumi Habib Syeikh. Di luar sana, bahkan di luar Indonesia, ada
puluhan juta orang yang mencintai beliau. Yang harus kita wanti-wanti ialah
dampak yang ditimbulkan oleh kecintaan dan kekaguman tersebut. Pasalnya banyak
orang yang salah kaprah dalam mengungkapkan kekaguman mereka pada seorang
tokoh, utamanya tokoh agama. Apabila si fulan mengagumi tokoh A, misalnya, ia
cenderung membenci tokoh B yang kebetulan (bisa dikatakan) merupakan antitesa
dari ulama A. Dalam hal ini contoh yang paling gamblang ya antara ulama radikal
dan moderat. Saya tidak perlu sebut merk, ya, pembaca pasti sudah mafhum siapa
beliau-beliau itu.
Di Indonesia ada beberapa
kelompok yang “kurang suka” dengan shalawatan seperti yang dilakukan oleh Habib
Syeikh. Shalawatan pakai musik atau menggerak-gerakkan tubuh yang konon
disebabkan oleh saking nikmatnya bershalawat. Mereka nggak suka yang kayak
gitu. Bid’ah dolalah. Hehe. Jelas mereka yang berfikiran seperti ini
tidak hadir malam itu. Dan (izinkan saya sedikit suuzon, hehe) bukan tidak
mungkin mereka mencela habis-habisan acara ini.
Bagaimana sikap saya
dalam memandang ini semua? Saya mah manut sama ulama. Untuk fenomena ini
saya akan mengutip apa yang disampaikan Habib Syeikh malam itu. Perbedaan itu
indah. Manusia diciptakan dengan perbedaan. Bayangkan kalau semua laki-laki
wajahnya sama, kasihan istrinya, nanti nggak bisa bedain mana suaminya mana
suami tetangga. Kalau ketukar kan buahaya. Begitu pun sebaliknya. Maka sungguh
benar perbedaan itu adalah rahmat. Perbedaan harus disyukuri, bukan dijadikan
alasan berpecah belah apalagi sebagai batu loncatan untuk memperebutkan
eksistensi golongan dan kepentingan.
Malam itu hadir juga
motivator dan pakar ESQ, Bapak Ari Ginanjar Agustian. Beliau didapuk memberi
tausyiah singkat. saya mencatat kurang lebih 3 poin penting yang beliau
sampaikan.
1. Memiliki tujuan
sama
Beliau datang dari
Jakarta, sedangkan jama’ah yang hadir datang dari berbagai daerah. Intinya kami
datang dari arah yang berbeda namun punya tujuan sama, yaitu; bershalawat. Shalawat
sendiri adalah salah satu manifestasi kecintaan kepada Rasulullah. So, yang
hadir malam itu adalah orang-orang yang mencintai Rasulullah.
Kelak di hari
perhitungan, menurut keyakinan Islam, kita akan dibangkitkan bersama orang yang
kita cintai. Maka pastikanlah cinta itu kita curahkan pada Rasulullah SAW. Beliau
menukil sebuah hadist yang menceritakan dialog antara Rasulullah SAW dan
khalifah Umar bin Khattab. Intisari dari hadist tersebut ialah; cinta yang
pertama dan kedua adalah cinta pada Allah dan Rasulullah SAW, selanjutnya baru
cinta pada orang tua dan yang lainnya.
2. Ciri-ciri
orang mencintai Rasulullah
Ada lima ciri yang
disampaikan oleh Ari Ginanjar, yakni :
a. Hati terasa
rindu ingin bertemu dengan Rasulullah
b. Menta’ati
Rasulullah
c. Mengikuti akhlak
Nabi Muhammad SAW
d. Mencintai siapa
yang dicintainya
e. Senantiasa
bershalawat
Lima hal di atas adalah
manifestasi kecintaan kita kepada Rasulullah SAW. Dalam surat Ali ‘Imran ayat
31 Allah SWT berfirman
Katakanlah (Muhammad). “Jika kamu
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni
dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang
3. Apresiasi untuk
Habib Syeikh
Ari Ginanjar mengatakan
bahwa yang dilakukan oleh Habib Syeikh adalah ikhtiar mulia, yakni membangun
karakter bangsa melalui shalawat. Kalimat terakhir inilah yang terus terngiang
dalam kepala saya. Banyak teori bertebaran terkait mekanisme membangun civil
society atau masyakarat madani. Teori demi teori itu terus berkembang,
mencapai titik kulminasi, berguguran, tergantikan, dan terus berubah tanpa
henti. Karena, sebagaimana quote dari Agus Magelangan; Tidak ada yang
tidak berubah, perubahan itulah yang abadi. Eh, itu quote dari
dia apa orang lain, ya? Ah, lupa abang.
Shalawat adalah mencintai
nabi. Mengingat nabi dan menjadikan Beliau sebagai role model manusia
paripurna. Jika ingin jadi suami yang baik, contohilah nabi. Ingin menjadi
pemimpin yang ideal, lihatlah nabi. Ingin jadi manusia yang baik, semuanya ada
pada nabi. Andai semua orang memiliki keinginan dan berkiblat kepada kanjeng Nabi
dalam membentuk karakter masing-masing saya percaya Indonesia ini akan makmur. Tapi
saya sadar ini hanyalah impian utopis belaka. Hehe
Yah, paling tidak jika banyak
orang ndak sanggup mencontohi nabi, melihat dan berusaha menirunya. Pastikanlah
kita selalu berusaha menjadikan beliau sebagai role model pembentukan
karakter. Itu juga salah satu langkah dan bukti cinta pada Nabi.
Wallahu a’lam.
Jogja, 12
Februari 2017
13:23
Bang Izzu
Komentar
Posting Komentar