Apakah Musik Itu Haram? Sebuah Pledoi Personil Tumband
Beberapa minggu terakhir,
setiap hari Sabtu sore, kadang-kadang malam, saya dan beberapa gelintir teman
punya rutinitas baru; bermain musik di salah satu studio yang terletak di
belakang Mirota Kampus (Salah satu supermarket paling nge-hits se-Jogja). Studionya
cukup bagus. Dilengkapi AC, ruangan yang nyaman, parkir yang aman, dan alat
musik yang lengkap. Tarifnya 25 ribu perjam. Kami biasa datang berlima dan
bermain selama 2 jam. Kalau iuran ya sama-sama 10 ribu.
Berhubung sekarang
teknologi kian canggih, latihan kami di studio pun bisa dinikmati oleh orang
lain. Cukup follow IG kami dan pastikan anda memiliki kuota. Instagram kini
memiliki fitur siaran langsung. Fitur itu yang kemarin saya manfaatkan untuk
bertukar kabar kepada khalayak Instagram. Alhamdulillah beberapa orang sempat
mampir untuk menyaksikannya. Baik yang saya kenal maupun tidak. intinya saya
haturkan miliaran terima kasih untuk seluruh homo sapiens yang sempat singgah
namun tak memberi upah. Ah, Kalian luar biasa.
Diantara kawan-kawan yang
sempat mampir itu antara lain ; Dek Ewiq di Surabaya. Anaknya cantik, manis,
dan insya Allah baik. Sayang saya belum sempat berjumpa dengannya semenjak kami
resmi kenalan. Haha. Loh, kok bisa gitu, Bang? Kan sekarang zamannya
dunia maya. FB, WA, Line, dan line-line.*eh, dan lain-lain. Sebenarnya kami
sempat hampir bertemu di Bukit Merese, Lombok Tengah. Sayang ketika saya datang
dia baru beranjak pulang. Ah, dek, mungkin kita akan berjumpa di tempat yang
lebih romantis dari Bukit Merese. Bukit Uhud di Arab sana misalnya, hehe.
Sengaja saya sebut Dek
Ewiq sebagai oknum pertama karena dia lah yang paling lama nonton siaran
langsung saya. Entah karena dia benar-benar menikmati permainan musik kami,
atau Dek Ewiq lagi gabut aja di kamar kos. Ah, pokoknya terima kasih untuk
kuotamu, dek. Semoga murah jodoh :).
Oknum selanjutnya yang
menyaksikan siaran langsung saya adalah none Makiyah. Ah, nama lu kepanjangan,
gua singkat Kiyah aje, yak? Oke sebut saja Mawar Kiyah. Kiyah dan Dek
Ewiq ini sama-sama dari Lombok Tengah. Bedanya Kiyah dari Pancor Dao dan Dek
Ewiq dari Praya. Bedanya lag,i Dek Ewiq merantau ke Surabaya, nah si Kiyah ini
merantau ke Jakarta. Bahasa sasaknya pun sudah terkontaminasi dengan bahasa
“ibu kote”. Entah di tengah kesibukan atau kegabutannya, ia juga menyempatkan
menonton siaran langsung kami meski tak lama. Thank you so much yak...
Cukup dua orang ini yang
saya sebut. Yang lain lebih baik nggak usah, intinya mereka adalah temen-temen
kuliah di Jogja. Tiap hari ketemu. Masak di kampus ketemu di blog pun saya
tulis lagi. Mager cuy. Hehe.
Eh tidak disangka-sangka,
diantara segelintir pengguna IG yang menonton siaran langsung kami itu, ada
satu orang ukhti yang tak perlu saya sebutkan nama ataupun inisialnya.
Intinya beliau memberi wejangan kepada saya bahwa MUSIK ITU HARAM. Saya
tersenyum membacanya. Lalu membalas “Terima kasih, ukhty” plus emotikon senyum
lalu saya kirim ke beliau.
Apakah benar musik itu
haram? Mari kita diskusikan sembari minum kopi!
Mungkin di antara
teman-teman ada yang bertanya, “apa dalilnya?” sebelum mengarah ke situ saya
ingin sampaikan dua hal; pertama, dalam permasalahan ini ulama berbeda
pendapat. Ada yang menyatakan haram dan ada yang mengatakan halal. Keduanya
memiliki dalil-dalil tersendiri. Kedua, semua perbedaan pendapat itu
bersifat subjektif. Lah kok bisa, Bang? Karena yang berbeda itu
penafsirannya, Dek. Buktinya ndak ada satupun dalil yang terang-terangan
menyebut musik itu haram. Mencuatnya fatwa musik haram bersumber dari tafsir
demi tafsir.
Yang namanya tafsir ndak
mungkin lepas dari kepentingan dan kondisi sosial-geografis si penafsir dan
lingkungan tempat ia hidup. Kayak kasus Al-Maidah : 51 lah kira-kira. Jadi,
yang berbeda itu penafsirannya, bukan teks atau dalilnya. Oke? Kita bisa
lanjut? Sek to! ngopi dulu!
Saya berikan satu contoh
dalil yang kemudian dijadikan hujjah (alasan) mengharamkan atau
menghalalkan musik.
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ
الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً
أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan di
antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan
jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
(QS. Luqman : 6)1
Frase lahwal hadits dalam
ayat tersebut ditafsirkan sebagai musik atau lagu oleh Mujahid, Ikrimah,
termasuk Hasan al-Bashri. Akan tetapi Adh-Dahak menafsirkan frase lahwal
hadits tersebut dengan sikap syirik, bukan nyanyian atau musik. Sedangkan
Al-Hasan menafsirkannya sebagai syirik dan kufur.
Sudah kelihatan to
perbedaan pendapat ini? Atau masih mumet? Kuy lah kita simak ilustrasi berikut.
Saya terinspirasi dari Cak Nun.
Anda tahu “nasi”? oke.
Apakah Anda pernah makan nasi? Sama kalau begitu. Nah, pertanyaan saya apakah
nasi itu halal? Tunggu dulu! Tunggu!! Jangan tergesa ngejawabnya! Kalau Anda
jawab halal ya alhamdulillah. Insya Allah nasi itu didapat dengan cara yang
baik. Tapi kalau nasi itu adalah nasi curian bagaimana? Apakah nasi itu halal?
Segala sesuatu memiliki
kondisi, posisi, konteks ruang dan waktu, serta esensi. Sebuah pisau tidak bisa
kita katakan haram meski pun digunakan untuk (naudzubillahi min dzalik)
membunuh orang lain, misalnya. Kenapa? Karena pisau itu Cuma alat. Yang haram
itu ya pembunuhannya, yang dosa itu ya yang membunuh. Bukan pisau yang haram.
Tidak juga pisau yang berdosa. Karena pisau hanyalah alat. Jadi bermanfaat atau
berbahaya sebuah alat tergantung siapa yang memegangnya.
Musik pun begitu! Ia
hanya alat. Benda mati. Nggak punya dosa apalagi pahala. Lah, apakah musik
kemudian jadi bermanfaat atau membawa mudharat kan tergantung siapa yang
memainkannya. Jangan salahkan musiknya! Salahkan orangnya! Mbok ya jangan
terlalu serius lah. Wong Tuhan saja menciptakan orang Madura ketika sedang
tertawa kok. Sungguh saya ndak bisa bayangkan roma tanpa irama. *eh,
dunia tanpa irama. Nggak ada nada, nggak ada kidung, nggak ada syair-syair
romantis. Ndak ada musik regae, dangdut, nggak ada irama qasidah, shalawatan,
dan lain-lain. Ah, betapa subjektifnya diri ini. Hehe maaf-maaf. Abaikan bagian
yang ini.
Intinya, bagimu
keyakinanmu, bagi kami keyakinan kami. Kami ndak akan menggunjing kalau tidak
digunjing. Tak ada kebenaran mutlak, apalagi yang berangkat dari subjektifitas
tafsir. Perbedaan yang ada harusnya menjadikanmu paham kenapa kami menghalalkan
musik. Sebagaimana saya yang menghormati seorang kawan yang sangat bertalenta
memainkan gitar, namun kini telah mengharamkan musik.
Jangan lupa ngopi!
IsyKarima!!! Hiduplah
Dengan Mulia!!!
Jogja, 28
Februari 2017
20:18
Bang Izzu
Oiya, yang mau lihat cuplikan latihan kami di studio silahkan klik link di bawah ini :
Refrensi :
Komentar
Posting Komentar