Bacalah (Tulisan) Tere Liye Tapi Baca Juga Yang Lain
Nama Tere Liye tentu
sudah tak asing lagi bagi para pencinta buku. Termasuk mereka yang baru mulai menyatakan
ingin bersahabat dengan buku. Ia adalah penulis produktif. Malah over produktif.
Nama aslinya selalu jadi misteri. Tere Liye. Hm, tentu itu bukan nama asli,
bukan? Kita semua tahu itu bahasa India. Bukan Indonesia. Apalagi Arab.
Gramedia Pustaka Utama dan Republika menjadi penerbit yang setia menerbitkan
karya-karyanya.
Kali ini saya ingin
memberi pandangan terhadap sosok Tere Liye. Mungkin pandangan ini sedikit
berubah dibanding pandangan yang pernah saya tulis bertahun-tahun lalu atau
berbulan-bulan lalu. Tulisan itu masih di blog ini, kok. Hanya saya kurang
ingat apa judulnya. Saking banyaknya tulisan yang pernah saya tulis di sini. Ciee
sombong. Haha.
Jika menilik pada komunikasi
antar sastrawan Indonesia, Anda akan sangat tercengang ketika mendapati bahwa
Tere Liye tidak masuk hitungan sebagai sastrawan besar Indonesia.
Loh, kok gitu? Bukunya
Tere Liye banyak lo. Setahun dia bisa nerbitin 3 sampai 4 judul. Pantas banget
dia dikatakan sebagai sastrawan! Anda jangan main-main, Anda tidak tahu saya
anak siapa, ku tandai kau ya!! *Eh, ini udah 2017. Masih aja pake guyonan 2016. Move on
dong. Hehe.
Sayangnya begini, Sodara.
Apakah pantas seseorang dilabeli “sastrawan” berdasarkan kuantitas penjualan
bukunya? Hey, tak semua novel yang best seller dipengaruhi oleh kualitas
tulisannya. Banyak faktor ikut nimbrung dalam fluktuasi penjualan sebuah buku. Endorse
yang intens, propaganda media, promosi yang jor-joran, wa ma asybaha
dzalik. Maka, mohon bersabar dan tarik nafas sejenak. Jangan buru-buru
protes kalau saya katakan Tere Liye bukan sastrawan besar. Toh juga saya hanya
menyampaikan fenomena yang saya temukan di kalangan sastrawan Indonesia. Saya ini
anak sastra lo. Hoho. Ujub lagi. ujub lagi. maafkan wkwk
Cerita yang Tere Liye
tuliskan memang menarik. Dia multi talent. Bisa menulis berbagai genre
novel. Hanya saja jika Anda membandingkan tulisan Tere Liye dengan tulisan lain
niscaya Anda akan merasakan perbedaannya. Tulisan Tere Liye itu tak mutlak
sempurna. Ada celah yang patut dikritisi. Tentunya dari perspektif sastra. Nah
kalau Tere Liye marah-marah jika tulisannya di-nyinyiri maka itu
tandanya Tere Liye anti kritik.
Ibaratnya begini. Jika
Anda suka makan bakso di warung makan A, pastinya Anda akan meyakini bahwa
bakso di warung A tersebut adalah yang paling lezat se-dunia akhirat. Tapi cobalah
bandingkan bakso di warung A dengan bakso di warung B, C, D, bahkan di warung
bakso klenger. Apakah Anda akan keukeuh mengatakan bahwa bakso di warung
A itu paling enak? Tidak ada yang bisa memastikan, bahkan Anda sendiri pun
tidak. Kurang lebih begitu pula dengan aktifitas membaca. Jika Anda fanatik
sama satu penulis cobalah instropeksi diri, siapa tahu bacaan Anda kurang
banyak.
Tak sulit membuktikan
Tere Liye bukan sastrawan hebat. Pernahkah ia mendapat penghargaan sastra?
Tidak pernah. Penghargaan best seller (penjualan terlaris) baru pernah. Bandingkan
dengan Eka Kurniawan. Bukunya memang tak selaris Tere Liye tapi mendapat
apresiasi luas hingga luar negeri. Bahkan Benedict Anderson pernah mengatakan Pramoedya
Ananta Toer has a found a successor. Tentu ungkapan ini merujuk pada Eka
Kurniawan. Ia dijuluki sebagai suksesor sastrawan fenomenal tanah air,
Pramoedya Ananta Toer.
Lantas, apa maksud
Bang Izzu nulis kayak begini? Untungnya apa? Mau ngeboikot novelnya Tere Liye
kah?
Hey, Sodaraku. Kalau aku
memboikotnya, apa untungnya buatku? Udahlah! Jangan fanatik gitu. Saya hanya
tidak ingin kita menjadi katak dalam tempurung. Saya tidak ingin kita hanya
baca satu buku saja. Atau membaca buku karya penulis yang itu-itu saja. Bacalah
buku-buku yang lain. Niscaya Engkau akan semakin bijak dalam menilai dan
memposisikan diri dalam berdialog dengan buku tersebut.
Jika Kau cermati tak ada satu
kalimat pun dalam goresanku ini yang menyerang Tere Liye. Karena bukan dia mukhatab
yang kutuju. Tapi Kamu! Iya, Kamu! Yang lagi baca goresan ini. Aku tak
melarangmu membaca Tere Liye. Baca saja sesukamu, tapi jangan baca itu saja. Sisihkan
uangmu untuk membeli karya penulis lain, niscaya Kau akan menemukan kebenaran
goresanku ini secara langsung.
Kita boleh mengapresiasi
Tere Liye. Tapi kenapa tak kau apresiasi penulis yang lain juga? Yang seyogyanya,
dari perspektif sastra, lebih pantas untuk diapresiasi. Ada Habiburrahman el
Shirazy, Eka Kurniawan, Pidi Baiq, Asma Nadia, dan lain-lain.
Ku akui bacaanku masih
kurang, tapi Alhamdulillah, ada sedikit peningkatan. Paling nggak aku mulai
nyaman dengan goresan penulis lain. Beberapa hari ini misalnya, tulisan Pidi
Baiq telah berhasil membuat diri ini baper. Novel Dilan dan Dilan#2 dikasih
minjem sama adik tingkat, Fafa. Bahasanya sederhana. Malah kalah indah
dibanding bahasa-bahasanya Tere Liye. Tapi pesannya ngena banget. Jleb
dan mantab jiwa lah pokoknya.
Maka, jangan Cuma baca
huruf! Bacalah makna yang tersurat dan tersirat di dalamnya. Niscaya kan Kau
rasakan sensasi dan keseruannya. Maka nikmat membaca mana lagi yang hendak Kau
dustakan?
Jogja, 20
Februari 2017
19:52
Bang Izzud
Komentar
Posting Komentar