Resensi ; Api Tauhid
Judul : Api Tauhid
Pengarang : Habiburrahman el Shirazy
Penerbit : Republika
Cetakan : cet-1 November 2014, cet-7 April 2015
Halaman : xxxv + 587 hlm
Seperti novel-novel
sebelumnya, karya Kang Abik yang satu ini masih kental dan nuansa islami. Hanya
saja yang sedikit membedakan adalah teknik pengemasan cerita yang cukup
sederhana tanpa mengurangi estetika alurnya. Novel ini 75 % bercerita tentang
perjalanan hidup Badiuzzaman Said Nursi. Seorang ulama, intelektual, dan
mujahid kharismatik dari daerah Nurs, Turki.
Adapun tokoh utama dalam
novel ini bernama Fahmi. Ia diceritakan sebagai seorang santri yang pernah
mondok di Krapyak, Yogyakarta dan terlahir dari keluarga yang tak bisa dibilang
kaya. Namun, kedua orang tuanya taat beribadah dan berpegang teguh pada prinsip
agama. tak ayal, Fahmi pun tumbuh menjadi pemuda islami yang sarat prestasi. Di
kelas 2 aliyah ia telah mengkhatamkan al-Qur’an. Di tingkat tsanawiyah alfiyah
ibnu Malik pun ia babat habis. Atas prestasinya itu ia berkesempatan kuliah
di Universitas Islam Madinah dengan full beasiswa.
Sudah jadi ciri khas Kang
Abik dalam menulis novel selalu menyelipkan kisah cinta yang bernafaskan islam.
Fahmi, sebagai pemuda muslim yang hafal qur’an dan cerdas menjadi menantu
idaman banyak orang. Mulai dari pak lurah hingga pimpinan pesantren paling
terkenal di Lumajang, daerah asal Fahmi. Setelah berdiskusi dan meminta
pendapat keluarga besar Fahmi pun memutuskan bersedia menikah dengan putri
Kiyai Arselan, pimpinan ponpes Manahilul Hidayat. Hanya saja pernikahan itu
dilakukan secara siri, berhubung Nuzula, putri sang kiyai, masih kuliah di UIN
Jakarta dan baru semester 4. Demi kemaslahatan bersama Fahmi pun bersedia.
Jadilah mereka melangsungkan akad namun tidak bercampur layaknya suami-istri
terlebih dahulu. Sebelum Fahmi kembali ke Madinah menyelesaikan masternya ia
sempat mencium bibir Nuzula.
Setelah menikah Fahmi
merasa tambah bahagia. Kebahagiaannya itu mengalir ke seluruh urat saraf yang
mengakibatkan semangatnya meluap-luap. Ciuman dengan istrinya tak bisa ia
lupakan begitu saja. Setiap hari ia selalu menyapa sang istri meski hanya
melalui ponsel. Hingga tiba-tiba kebahagiaan itu sirna tak bersisa. Nuzula
meminta Fahmi berhenti menghubunginya. Dilanjutkan Kiyai Arselan yang meminta
Fahmi menceraikan Nuzula. Hancur hati Fahmi, kuliahnya terbengkalai, ia larut
dalam sedih yang mendalam. Ia menikah untuk ibadah, bukan berpisah. Dan alasan
yang diminta ayah mertuanya pun sangat tak bisa diterima. Bagaimana mungkin
seorang kiyai yang tahu buruknya perceraian malah memintanya bercerai. Lagian
dalam keluarganya belum pernah ada kata perceraian. Fahmi terpuruk seolah
kehilangan semangat hidup. hingga akhirnya ia memutuskan ikut dengan Hamza ke
Turki. Ia hendak berlibur dan menenangkan diri di sana sekaligus mentadabburi sirah
dzatiyah Badiuzzaman Said Nursi.
Nah selama di Turki
itulah, Kang Abik mengemas cerita perjalanan hidup Said Nursi dengan begitu
apik. Dialog antar satu tokoh dengan tokoh lain, juga latar tempat yang
digunakan sangat mendukung penyampaian sejarah hidup Badiuzzaman Said Nursi.
Tidak hanya itu, dalam novel ini juga dikisahkan bagaimana kondisi
sosial-politik yang sarat politik dan campur tangan barat di bumi Turki yang
berujung pada runtuhnya khilafah untuk selama-lamanya, Turki Utsmani (Ottoman).
Badiuzzaman Said Nursi
lahir pada 1977 di Desa Nurs, Provinsi Bitlis, Anatolia Timur dan meninggal
pada 20 Maret 1960 di Sanliurfa. Pada masa awal-awal Said Nursi muda sudah
memperlihatkan kehebatannya dengan menguasai berbagai ilmu. Bahkan pada umurnya
yang baru menginjak 15 tahun ia sudah hafal puluhan kitab refrensi penting dan
banyak mengalahkan ilmu yang dimiliki ulama-ulama yang lebih senior. Disini ada
satu ibrah penting yang saya pribadi dapati, yakni Said Nursi–yang
hafalannya begitu kuat–selalu mempelajari dan menghafalkan satu kitab kemudian
berpindah ke kitab lain. Tak heran beliau tidak hanya mampu mengingat, namun
juga bisa menalar apa yang beliau hafal. Sebuah karunia luar biasa yang
dianugerahkan Allah untuk beliau.
Ada kegelisahan dalam diri
Badiuzzaman Said Nursi terkait pendidikan saat itu yang kurang tepat karena
lebih mengandalkan ilmu-ilmu umum yang sekuler lantaran mengadopsi penuh budaya
Eropa. Bahkan, dalam novel ini diceritakan betapa sekulernya Turki ketika itu,
azan menggunakan bahasa arab dilarang, pakaian islam dilarang, bahkan
mempelajari al-Qur’an pun dilarang. Di tengah kelaliman Mustafa Kemal–pimpinan
Turki saat itu–itulah Said Nursi tampil sebagai pembela dan pejuang syariat.
Pada tahun 1910-an,
Badiuzzaman Said Nursi mengusulkan sistem pendidikan yang tidak hanya
mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum secara dikotomis, tetapi
seharusnya ilmu agama diajarkan di sekolah-sekolah umum, demikian pula
sebaliknya. Dan juga pendidikan harus menyentuh penyucian jiwa dan kehalusan
budi (sufisme). Nah ketiga unsur inilah yang ingin disatukan oleh Said Nursi.
Namun lantaran ide yang beliau usung dianggap membahayakan dan menghalangi
kepentingan penguasa kala itu jadilah Said Nursi dikucilkan dan dipenjarakan
dari satu tempat ke tempat lain, bahkan hingga diasingkan ke daerah Bursa.
Tak kurang dari 25 tahun
lamanya Said Nursi pindah dari satu penjara ke penjara lain. Di masa itulah
beliau merampungkan tulisan yang akan dikenang abadi sepanjang peradaban umat
Islam, Risalah an-Nur. Dan tentunya Kang Abik tak lupa mengurai beberapa
petikan Risalah an-Nur dalam novel ini. Ada satu petuah Badiuzzaman Said
Nursi yang begitu menggugah hati, “yang paling layak dicintai adalah cinta itu
sendiri, dan yang paling layak dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri”.
Kitab Risalah an-Nur yang
berjilid-jilid itu barangkali umpama kitab Ihya Ulumiddin-nya Imam Al
Ghazali yang berikhtiar menghidupkan agama. Terbukti, pengaruh risalah
an-Nur mampu menyulut semangat jihad dan paham keagamaan di tengah-tengah
hegemoni budaya barat yang mengungkung Turki.
Adapun wafatnya
Badiuzzaman Said Nursi tidak diceritakan disini. Dan memang, oleh pemerintah
yang berkuasa kala itu, kuburan Said Nursi sempat dibongkar dan dipindahkan ke
tempat yang tidak ada orang yang mengetahuinya sampai saat ini. itu dilakukan
pemerintah guna menghindari menggeliatnya kembali pengaruh Said Nursi di hati
orang-orang Turki.
Sungguh luar biasa bukan
pengaruh Badiuzzaman Said Nursi ? bahkan kala raga beliau sudah di dalam tanah
pun masih membuat penguasa yang lalim ketakutan.
Seusai membaca novel ini
saya memiliki dua semangat baru sekaligus keinginan baru ; pertama, mengunjungi
Turki. Selama ini saya ndak pernah ngebet ke Turki lantaran saya
berfikir Turki bukan lah negara yang bisa menginspirasi, apalagi budaya mereka
sudah sangat terkontaminasi oleh Eropa. Lihat saja representasinya di film
Elif. Akan tetapi setelah mengkhatamkan novel ini, saya percaya Turki adalah
tanah berkah. Di sana lah Nabi Ayub meninggal, disitulah Nabi Ibrahim dibakar.
Dan disanalah, tepatnya Istanbul, hadist nabi terbukti, tentara Islam berhasil
menaklukan imperium terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia, Romawi Timur.
Muhammad al-Fatih, pemuda yang baru berusia 21 tahun berhasil menaklukan
Konstantinopel–Istanbul sekarang.
Dan keinginan dan
semangat kedua adalah ; saya ingin lebih mencintai ilmu layaknya Badiuzzaman
Said Nursi. Saya ndak mau mempelajari banyak hal sekaligus dalam waktu
bersamaan. Tabarukan pada beliau, lebih baik mempelajari satu hal saja dulu,
satu kitab saja dipelajari sampai benar-benar hafal. Setelah itu baru beranjak
ke kitab yang lain.
Novel ini diakhir dengan
kisah yang begitu romantis dan dramatis. Fahmi akhirnya bersatu dengan Nuzula.
Kenapa mereka bisa bersatu ? baca sendiri kalau penasaran. Hehehe.... di sini
sudah zuhur. Dan saya mau sholat dulu.
Jogjakarta,
30 Mei 2016
11:40 WIB
Muhammad
Izzuddin
Komentar
Posting Komentar