Relasi Islam dan Budaya



Oleh : Muhammad Izzuddin
(Mahasiswa S1 Sastra Arab UGM)

Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini saya melaksanakan shalat tarawih di Masjid UIN Sunan Kalijaga. Pemateri ceramah tarawih malam ini membawakan materi tentang Islam dan Budaya. Bagaimana relasi antara Islam dan budaya ketika ia baru lahir hingga pembahasan terkait aktualisasi nilai-nilai Islam sesuai konteks kekinian dan kedisinian.
Jika berbicara tentang Islam dan Budaya, jujur, saya adalah salah satu orang yang paling tertarik. Apalagi background pendidikan saya adalah ilmu budaya. Ilmu yang mempelajari segala apa yang dibuat dan dilakukan serta yang berkaitan dengan manusia. Sebuah ilmu yang begitu luas dan memiliki khazanah pengetahuan tak bertepi. Ndak kalah mengasyikkan dengan mempelajari ilmu-ilmu eksakta.
Islam memang bukan budaya. Pun tak tergolong tradisi. Sebagai agama, ia disakralkan bahkan dikultuskan–oleh sebagian pemeluknya. Akan tetapi biar bagaimanapun, Islam, sejak awal kemunculannya telah bersinggungan dengan dua budaya besar dunia kala itu, Persia dan Romawi. Islam tidak lahir di lingkungan nir-budaya. Justru kedua budaya tersebut memiliki pengaruh besar dan meluas sehingga membuat Islam berdialektika dengan keduanya.
Sungguh tidak terjadi konfrontasi antara Islam dan Budaya. Namun yang terjadi ialah dialektika. Jika konfrontasi lebih sering dilakukan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah, maka dialektika senantiasa diwarnai dialog antara tesis dan sintesis yang kemudian menghasilkan anti tesis. Begitu kurang lebih Mbah Hegel berteori. Nah dialektika antara Islam dan budaya inilah yang menarik untuk dikaji dari sisi kultural-historis.
Pemateri ceramah tarawih malam itu mengatakan ada beberapa bentuk relasi antara Islam dan Budaya, diantaranya :
1.      Akomodatif
Jangan kira semua ajaran Islam hari ini bersumber dari Islam itu sendiri. Tidak semuanya, Sodara-sodara. Ketika Islam lahir masyarakat sudah punya budaya sendiri. Salah satunya budaya menikah. Tahu kah teman-teman bahwa budaya menikah pra Islam dan pasca Islam memiliki kemiripan. Diantaranya adanya akad, mahar, dan lain-lain.
Ketika sebuah budaya atau tradisi tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam maka Islam akan menerima budaya atau tradisi tersebut. Islam kan secara etimologi maknanya selamat. Maka jikalau sebuah budaya dan tradisi tidak mengancam keselamatan dunia dan akhirat, Islam akan wellcome dengan budaya tersebut. Di sini kita bisa menyaksikan dan merenungkan bersama bahwa Islam tidak egois. Andai kata Islam egois, Allah juga egois, pasti semua aspek kehidupan akan diatur begitu rinci. Namun lantaran Allah tahu meski masyarakat Makkah hidup di masa jahiliyyah, masih tersisa satu-dua tradisi yang cocok dengan ajaran Islam.
Hal semacam ini tentu tidak hanya berlaku di Arab. Di Indonesia pun demikian. Hanya saja harus disesuaikan dengan konteks ke-Indonesia-an itu sendiri. Biar bagaimana pun Indonesia dan jazirah Arab memiliki banyak perbedaan. Mulai dari geografis, iklim, hingga watak masyarakatnya. Indonesia dan Arab hanya punya satu kesamaan, yakni sama-sama memiliki budaya. Namun budaya itulah yang berbeda.
Jika Islam mau mengakomodir budaya bangsa Arab yang tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajarannya, kenapa di Indonesia tidak ? iya to ? Indonesia juga punya kok budaya-budaya yang tidak bertentangan dengan Islam bahkan ada juga budaya yang islami meski saat itu Islam belum datang.
Sayang beribu sayang, belakangan ini ada sekelompok ekstrimisme agama yang rajin berkoar “kita harus mentradisikan agama, bukan mengagamakan tradisi”. Sekali lagi saya tegaskan. Agama bukan tradisi, agama bukan budaya. Akan tetapi di dalam tradisi dan budaya itulah agama tumbuh, berkembang, dan berdialektika. Maka, yang harus anda lakukan adalah membaca konteks dengan cermat agar tahu bagaimana teks (dalil-dalil agama) itu diimplementasikan dengan tepat. Karena teks bisa menyesatkan jika konteksnya tidak pas atau samar-samar.
2.      Rekonstruksi
Pola relasi yang kedua ini ditandai dengan modifikasi, perubahan, dan penyesuaian budaya agar sesuai ajaran Islam. Sederhananya ndak 100% budaya itu diakomodir. Bisa jadi 50% yang diterima Islam dan 50% sisanya direkonstruksi.
Sebagai contoh, menara. Menara adalah produk budaya orang Majusi. Bentuknya sama persis dengan menara-menara masjid hari ini. Menara diambil dari kata manaara yang bermakna tempat api. Di manaara inilah orang-orang Majusi melakukan liturgi menyembah api. Saat Islam datang menaranya ndak dihancurkan melainkan ritual menyembah apinya yang dibuang dan menara dialih fungsikan sebagai tempat mengumandangkan azan.
Dulu pun, para muadzin harus naik ke atas menara untuk mengumandangkan azan agar terdengar oleh orang banyak. Sekarang ndak perlu lagi to ? kemajuan peradaban dan budaya telah menghasilkan speaker, muadzin cukup azan di dalam masjid dan suaranya yang naik ke atas menara. Kalau ente mau tetep saklek menyamakan Islam dengan cara dan budaya Islam yang dulu jangan pernah berani bermimpi Islam kembali jaya dengan peradabannya. Islam adalah struktur dan salah satu ciri struktur adalah transformation alias perubahan. Bukan aqidah atau ibadahnya yang berubah, tapi muammalahnya yang harus terus di-upgrade agar sesuai dengan konteks kekinian dan kedisinian.
3.      Eliminasi
Pola relasi ketiga adalah Islam mengeliminir 100% budaya yang tidak sesuai dengan ajarannya. Contoh paling gampang untuk pola ini adalah khamr (minuman keras). Dalam Islam, khamr hukumnya haram. Sedangkan saat Islam lahir, meminum khamr wa akhowatuhu adalah budaya dan tradisi yang mengakar kuat di masyarakat. Meski begitu, Islam tegas melarang dan mengharamkan khamr.
Maka Islam mulai mengubah budaya atau tradisi tersebut perlahan demi perlahan. Step by step. Ndak langsung diubah 100%. Ayat demi ayat turun dalam kurun waktu tertentu. Memberikan pemahaman satu demi satu. Lalu mulai tegas setahap demi setahap. Hingga ujungnya mengharamkan khamr dan masyarakat pun menerima dengan sepenuh hati.



Sodara-sodara yang dimuliakan Allah. Sebagai muslim, Islam lah pegangan hidup dan pedoman hidup kita. Akan tetapi sebagai manusia kita tak kan bisa lepas dari budaya. Ia adalah fitrah semua insan. Dan yang harus kita pahami, dari sudut pandang antropologis ndak ada budaya yang ndak baik. Antropologi memandang budaya dengan netral dan obyektif. Artinya, kita harus menghargai perbedaan budaya antara satu komunitas dengan komunitas lain demi terciptanya masyakrat madani (civil society).
Islam bukanlah budaya. Ia tak bisa kita samakan atau sejajarkan dengan tradisi. Mereka adalah dua hal yang berbeda namun telah difitrahkan berdialektika. Islam di-launching untuk manusia, dan manusia adalah makhluk berbudaya. Maka relasi Islam dan budaya menjadi sebuah konsekuensi yang tak bisa dihindari. Kita harus pahami ini dengan baik.
Sebagai agama paripurna, Islam telah berhasil berdialektika dengan budaya. Islam tidak egois dan ambisius merekonstruksi seluruh budaya yang sudah ada. Islam benar-benar menunjukkan bahwa ia rahmatan lil ‘alamin sejati. Rahmat untuk alam semesta. Islam tak pernah mengajarkan kita egois mendiskreditkan budaya. Bahkan di dalam al-Qur’an dengan sangat gamblang dijelaskan bahwa Allah menciptakan kita bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Allah menciptakan kita dengan beragam budaya agar kita saling mengenal dan memahami budaya masing-masing. Bukan untuk saling menjatuhkan dan menyalahkan.
Tidak ada konfrontasi antara Islam dan Budaya. Yang ada ialah relasi. Relasi yang membentuk beragam pola yang harus dipahami dengan baik, utamanya oleh mereka, kaum yang menganggap diri paling alim. Kaum yang egoisme agamanya masih tinggi, kaum yang suka mem-bid’ah-kan itu ini hanya karena termakan omongan ustad mereka yang konon berkiyai langsung pada nabi Muhammad. Maaf kalau sedikit sarkas dan prontal. Hehe... Selamat berpuasa wahai makhluk berbudaya.

Jogjakarta, 14 Juni 2016
9 Ramadhan 1437 H
08:02 WIB

Muhammad Izzuddin

Komentar

Postingan Populer