Rasanya Puasa di Tanah Rantau Itu...
Ramadhan selalu mempunyai
keunikan dan cerita tersendiri. Ia senantiasa mampu menyusupkan kesan mendalam
pada masing-masing orang. Sulit mengungkapkan dengan kata-kata kesan yang
bertaut keberkahan tersebut, namun kita sepakat bahwa Ramadhan benar-benar bulan
berkah.
Berkah disini bisa
diartikan duniawi bisa juga dikaitkan dengan ukhrawi. Berkah duniawi tak kan
lepas dari finansial dan materi. Meskipun seharian para penjaja makanan secara
kasat mata berkurang drastis pendapatannya tapi menjelang waktu berbuka keuntungan
dan income yang diperoleh malah bisa melebihi hari-hari biasa.
Bahkan banyak orang yang
di hari lain ndak jualan tapi saat Ramadhan datang mendadak jualan. Mulai dari
jualan beraneka es, makanan ringan, gorengan, hingga makanan besar sebagai menu
berbuka di kala azan magrib berkumandang. Jelas-jelas ini adalah berkah duniawi
to ? rezeki makin nambah, pedagang pun sumringah. Alhamdu...??? lillah....
Sedangkan keberkahan
ukhrawi bersifat transenden. Ia tak bisa dilihat mata, hanya mampu dirasa oleh
hati yang benar-benar menghayati keagungan Ramadhan. Rasulullah SAW menjelaskan
bahwa sesungguhnya puasa itu ada tiga tingkatan. Yakni, puasa orang awam, puasa
khawas, dan puasanya khawasul khawas. (Syahrudin, 2014: 48)
Puasa awam adalah puasa
yang hanya menahan lapar dan haus dari terbit fajar hingga terbenamnya
matahari. Sedangkan puasa khawas ialah puasa yang tak hanya menahan
lapar dan haus, namun juga menahan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat. Mulutnya
ikut puasa dengan tidak berkata kotor, matanya ikut berpuasa dengan tidak
menyaksikan maksiat, pokoknya seluruh anggota tubuhnya ikut berpuasa. Sedangkan
puasa khawasul khawas adalah puasa para nabi. Tentu puasa ini sangat
tinggi derajatnya dibanding kita. Paling tidak kita berharap semoga puasa kita termasuk
puasa khawas agar tidak hanya mendapat lapar dan dahaganya saja.
Sebagaimana yang saya
goreskan di awal tulisan ini, Ramadhan datang tak hanya membawa berkah tapi
juga menghadirkan kisah. Kisah demi kisah yang menjuntai indah dalam memori
ingatan. Tak terkecuali bagi para perantau. Sekelompok homosapiens
(baca:manusia) yang meninggalkan kampung halaman dengan berbagai motif,
biasanya belajar, cari kerja, atau cari jodoh.
Dan dalam tulisan kali
ini saya ingin mempersempit pembahasan dan berfokus pada sensasi puasa perantau
di tanah orang. Berhubung saya adalah bagian dari perantau maka mohon dimaklumi
jika tulisan ini nantinya lebih bersifat empirik-subyektif. Dan kebetulan tanah
rantauan saya adalah Jogja, maka ruang lingkup pembahasan kali ini akan saya
fokuskan di Kota Gudeg ini.
“Bang, gimana rasanya
puasa di tanah rantau?”
Nggak tahu ya, dek,
soalnya puasa itu bukan makanan jadi nggak bisa dirasakan.
“Ye, bukan itu maksudku,
Bang. Maksud adek tu sensasinya, gimana ? seru? Sedih? Ngenes? Atau biasa aja?”
Campur aduk, senangnya
ada, sedih pun juga. Tapi semuanya harus tetap disyukuri. Dan yang paling
penting dari puasa di tanah rantau adalah kita jadi tahu perbedaan dan kesamaan
antara puasa di kampung halaman dan tanah rantau. Lalu kemudian kita bisa
melakukan komparasi puasa dimana yang lebih semarak, puasa dimana yang lebih
religius, dan puasa dimana yang lebih menyenangkan.
“Abang dari Lombok kan ? kesamaan
dan perbedaan antara puasa di Lombok dan di Jogja apa aja, Bang?”
Kalau kesamaan alias
kemiripan, sepengelihatan dan berdasarkan penelitian yang abang lakukan,
setelah melakukan riset cukup panjang dan menelan biaya bertriliyun rupiah. Kesamaan
puasa di Jogja dan Lombok adalah sama-sama berbuka waktu azan magrib
berkumandang.
“As.....”
Eits!! Ingat puasa lo !
ndak boleh ngomong jorok.
“Ini adek lagi ngomong
sama Bang Izzu atau Cak Lontong sih?”
Jangan ngomongin lontong,
Dek. Jadi lapar nih.
“Seriusan dikit kek, Bang”
Iya, iya! Maaf, abang
hanya menguji kesabaranmu, dek. Cinta aja perlu diuji apalagi kesabaran. Wes,
lanjut ya. Kali ini serius. Kalau persamaan sih kayak yang biasa aja,
ngabuburitnya ramai, petasan sesekali memekakkan telinga, setiap masjid membahana
oleh tadarus berjama’ah. Intinya, meskipun kota tapi suasana Ramadhan tetap
terasa. Alhamdulillah ya.
Terus, kalau ngomongin
perbedaan memang ada beberapa sih, tapi sekali lagi saya tegaskan goresan ini
bersifat empirik-subyektif. Sesuai dengan pengalaman saya. Maklum di Lombok pun
abang jarang main, jadi ndak tahu banyak hal dan sangat kurang pengalaman
terkait budaya-budaya dan ciri khas Ramadhan di berbagai daerah di Lombok.
Kalau di Lombok setahu
abang, ceramah di bulan Ramadhan biasanya sehabis subuh. Di beberapa tempat
juga diselenggarakan menjelang magrib. Adapun ceramah tarawih sepertinya ndak
intens. Artinya kadang-kadang aja. Beda sama Jogja. Setiap masjid di kota
pelajar ini menyelenggarakan tausyiah 3 kali sehari. Bakda subuh, menjelang
magrib, dan sebelum sholat tarawih.
“Hah? Sebelum sholat
tarawih?”
Ho oh, Dek. Jadi kita
sholat isya’ berjama’ah dulu, terus mendengarkan ceramah, baru deh sholat
tarawihnya. Kalau di Lombok kan beda. Misalnya ada pengajian atau tausyiah
pasti kita sholat tarawih dulu kan baru mendengarkan tausyiahnya? Dan inilah
yang membuat Ramadhan terasa semarak meskipun di tengah kota. Kita tinggal
milih aja hari ini mau mendengarkan ceramah di mana. Bisa berpindah dari satu
masjid ke masjid lain. Varokah banget kan, ngabuburit dengan nambah ilmu?
“Hm, terus apa lagi bang?”
Nah ini yang paling
penting diantara yang terpenting. Takjil gratis. Rata-rata semua masjid
menyediakan takjil (makanan buka puasa) untuk para jama’ah. Tentu takjil ini
terbatas kuotanya. Namun jangan khawatir, di Jogja ada 8 masjid yang sedari
dulu terkenal dengan takjil porsi besarnya, diantara masjid Kauman, masjid
kampus UGM, dan lain-lain. Karena di masjid ini takjil yang disediakan lebih
1000 porsi setiap hari.
Alhamdulillah abang sudah
dua kali berburu takjil. Saat pertama kali berburu takjil abang kaget bukan
kepalang, Dek. Itu orang yang ngantri rame banget. Kayak orang ngantri beli
tiket pertandingan antara Manchester United vs PS TNI. Tapi Alhamdulillah
antriannya ndak anarkis. Ya kali anarkis gara-gara nasi satu bungkus dan
segelas teh hangat. Kami kan orang-orang yang sabar.
![]() | |
ini potret keramaian antrian mendapatkan takjil di masjid kampus UGM |
Sejauh ini abang baru
berburu takjil di masjid kampus. Belum sempat ke masjid lain. Tapi kalau boleh
jujur abang kepengen berburu takjil di Masjid Kauman. Masjid ini terletak tak
jauh dari Kraton Yogyakarta. Konon porsi disana lebih besar dan lauknya rek,
wenak-wenak kata orang-orang. Diantaranya gulai kambing. Masya Allah, kalau
boleh flashback sejak merantau abang belum pernah makan gulai kambing. Wkwkwk.
Tapi berhubung belum ada temen yang mau diajakin ke sana akhirnya planing itu
masih bersifat wacana saja. Nanti kalau abang jadi berbuka disana, tenang saja,
pengalaman abang akan abang share di blog ini dan yang pasti foto
makanananya juga dong. Hehe.
“Tapi apa abang ndak
kepengen puasa di Lombok?”
Kalau Aan Mansyur ber-qola
dalam puisinya “Bahasa ibu adalah kamar tidurku”, Abang pun dengan setulus
hati mengatakan “Masakan ibu adalah dapurku”. Ndak ada yang bisa mengalahkan
masakan ibu. Karena ibu memasak tak hanya menggunakan resep dan bumbu dapur. Tapi
ada cinta di setiap ulekan sambalnya. Ada ketulusan di setiap gorengan
tempenya. Dan ada pengabdian ikhlas tak bertepi di setiap nasi yang dimasaknya.
Meskipun kadang-kadang gosong ataupun kebanyakan air.
Selamat berpuasa! Semoga berkah
melimpah!
‘IsyKarima !!! Hiduplah
dengan mulia!!!
Jogjakarta,
11 Juni 2016
06 Ramadhan
1437 H
Bang Izzu
Komentar
Posting Komentar