Merantau ; Pergi Untuk Kembali
Hari ini saya kembali ke Jogja. Kota yang sudah dua tahun terakhir menjadi rumah kedua bagi saya. Sewaktu menulis goresan ini saya baru saja menghabiskan satu porsi nasi rawon dan segelas ice coffee di LA Cafe, persis di sebelah domestic arrival terminal 1B Bandara Djuanda Surabaya. Selain lapar saya juga merasa sedikit "jetlag". Tumben-tumbenan ngerasa kayak begini padahal flight Lombok - Surabaya hanya memakan waktu 55 menit saja. Oiya, berhubung saya malas direct flight Lombok - Jogja yang berangkatnya teramat pagi, saya memutuskan mengambil penerbangan transit via Surabaya. Dan uniknya harga tiket pesawat yang transit lebih murah dari pada penerbangan langsung.
Meninggalkan kampung halaman untuk kembali ke tanah rantauan itu rasanya nano-nano. Kalau berbicara tentang kenyamanan, kampung halaman jelas tiada bandingnya. Makan tinggal makan, tidur tinggal tidur, mau ngapa-ngapain pun gampang. Dekat dengan keluarga, sahabat, dan juga tempat-tempat yang sedari kita "brojol" ke dunia sudah memberikan kenyamanan tersendiri. Beda banget dengan situasi dan kondisi di tanah rantau yang "memaksa" kita untuk lebih mandiri dan pandai mengatur diri.
Akan tetapi, di sudut yang lain dalam kesadaran internal diri ini saya mengakui dengan setulus-tulusnya bahwa kesuksesan itu sulit lahir dari zona nyaman. Kita tidak bisa hanya duduk santai sambil nonton tv lantas "simsalabim" langsung sukses. Ada usaha yang harus dilakukan, ada pengorbanan yang mesti diikhlaskan, dan ada tindakan-tindakan tepat dan akurat yang harus dikonsistenkan. Dan merantau adalah salah satu puzzle kesuksesan yang harus dilalui bagi sebagian orang.
Kesadaran inilah yang membuat saya terus berusaha untuk menjaga semangat dan mood agar tidak terlalu sedih meninggalkan kampung halaman. Saya yakin, keluarga yang kita tinggalkan di kampung halaman pasti merasakan sedih juga akan tetapi semangat dan harapan mereka melihat kesuksesan kita di kemudian hari jauh lebih besar dan mereka prioritaskan dari pada ego untuk terus bersama anak-anaknya.
Karena itulah, saya pribadi selalu berbisik pada bathin yang kadang labil ini, setiap kali kembali ke tanah rantau, bahwa saya "pergi untuk kembali". Saat ini saya memang harus keluar mencari ilmu sebanyak-banyaknya, mengumpulkan pengalaman, dan juga melatih diri untuk terus berimprovisasi di dunia yang keras ini dalam koridor-koridor kebaikan. Untuk kemudian pada saatnya nanti kembali ke tanah kelahiran, kepada keluarga, kepada lingkungan yang telah membesarkan saya dengan membawa cahaya-cahaya kebaikan yang insya Allah bisa menyinari diri saya dan juga orang-orang yang saya cintai.
Kembali ke tanah rantau pada hakikatnya adalah momentum untuk memperbaharui semangat dan etos perjuangan. Setelah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan istirahat di tengah kehangatan keluarga, di dalam zona nyaman, kini saatnya kembali berproses. Kembali berjuang. Kembali mengembangkan diri.
Pribadi yang hari ini sama dengan hari kemarin adalah pribadi yang rugi. Tentu kita tidak mau menjadi pribadi yang demikian. Pribadi yang beruntung adalah pribadi yang hari ini lebih baik dari kemarin. Hari esok lebih baik dari hari ini. Dan esok lusanya lebih baik dari esok harinya. Dan seterusnya, dan seterusnya. Ajaran agama ini seyogyanya merupakan ajakan untuk terus berproses. Berusaha tak sekedar usaha, belajar tak hanya belajar, tapi berusaha hingga sukses, belajar sampai bisa!
Ya udah, segini dulu yang saya bisa tulis. Waktu menunjukkan pukul setengah dua siang lebih. Artinya saya masih harus menunggu sekitar 2 jam lagi untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Jogja.
Sampai ketemu di goresan dan cerita saya selanjutnya.
"Hidup adalah belajar"
Surabaya, 17 Juli 2017
13:26 WIB
Izzuddin
Yosh!
BalasHapusUch... Makasih udah mampir kakak ganteng 😍😍😍
Hapus