Sikapilah Koh Ahok Dengan Mental ke-Indonesia-an



Tempo hari di perkuliahan percakapan Arab 3 kami disuguhi video khutbah Hajjaj bin Yusuf. Seorang gubernur handal di masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Tujuannya agar kami bisa melihat, mendengar, dan–syukur-syukur–bisa mengikuti bagaimana sih style berbicara bahasa Arab yang keren dan elegan.
Seseorang sah dikatakan mahir berbahasa asing jika ia bermimpi kemudian mengigau dengan bahasa asing tersebut. Nah sebelum sampai ke level tertinggi itu, ada maqam yang harus dilalui yaitu berbicara sesuai logat penutur aslinya. Masyarakat Indonesia tidak jarang berbahasa Inggris menggunakan medok style, Lombok style bukan british atau american style. Demikian pula dengan bahasa Arab. Banyak mahasiswa atau santri berbahasa Arab menggunakan logat daerah mereka masing-masing.
Hal ini yang ingin ditekankan oleh dosen kami, Pak Hamdan. Beliau berharap lisan-lisan kami mampu berbahasa Arab sebagaimana seharusnya, bukan sebagaimana adanya. Ada 2 langkah yang bisa ditempuh untuk mencapai tingkat expert tersebut ; tinggal di negeri yang berbahasa Arab, seperti Mesir, Yaman, atau Maroko. Atau setiap hari melototi video berbahasa Arab. Mendengarkan lagu berbahasa Arab (fusha) selama 4 tahun kuliah. Bayangkan, betapa menjemukannya jadi mahasiswa Sastra Arab yang “lurus-lurus” saja.
Dalam video Hajjaj bin Yusuf tersebut, saya bisa menangkap bahwa logat orang Arab itu ndak mendayu-dayu laiknya logat orang Indonesia. Misalnya saat mengucapkan salam, utamanya kala ber-khitbah, eh khitobah (pidato) ding maksudnya. Mainstreamnya orang Indonesia akan memanjangkan ujung akhir dari pengucapan dan mendayu-dayukannya, kurang lebih begini “Assalaaamu’alaikuuuuuummmmm, warohmatullaaaahhhhhhii, wabarokaaaaatuuhhhhhhh” (Bayangkan saja ustad yang sering di Trans TV itu).
Apakah ada orang Arab yang mengucapkan salam seperti itu? Menurut beliau ndak ada. Orang Arab logatnya simpel, menekan, dan nothing cengkok (kalau membaca al-Qur’an itu beda kasus, memperindah bacaan adalah sebuah keharusan).
Logat adalah bagian dari bahasa dan bahasa adalah produk budaya. Maka, logat suatu kelompok pasti berkaitan dengan budaya yang mereka miliki. Logat orang Arab itu tegas, simpel, dan menekan. Ini sejalan dengan budaya mereka yang tinggal di padang pasir tandus. Watak dan mental mereka tertempa oleh panasnya matahari dan gersangnya pasir yang membakar.
Indonesia dan masyarakatnya beda lagi. Ndak ada padang pasir di sini. “Lah yang di Parangkusumo itu apa, Bang?”. Itu bukan padang pasir, itu gumuk pasir. Pasir-pasir disana kan hasil aktivitas vulkanik Gunung Merapi dan Merbabu yang terbawa oleh arus Kali Opak dan Kali Progo. Tingkat hawa panasnya pun berbeda. Indonesia ini negara kepulauan. Lautnya luas, hutannya rimbun, sungainya banyak, gunungnya besar (termasuk gunung kembar, eh kok?). Ibarat menu di K*C Indonesia ini paket komplit.
Indonesia iklimnya tropis. Kalau musim hujan ya ndak dingin banget, kalau musim panas pun ndak panas-panas amat. Kecuali di puncak Bogor, Kaliurang Sleman(semalam saya balik dari Kaliurang jam 1 dini hari, dinginnya masya Allah, bikin pengen nikah), atau Sembalun di dekat Rinjani sana. Dinginnya... lumayan lah. Kalau yang cenderung panas ya kayak Surabaya, Jogja, tapi panasnya masih standar lah.
Ke-stabilan iklim di Indonesia itu pun berpengaruh terhadap watak manusia Indonesia yang humanis, ramah, dan welkam terhadap orang lain. Sejarah bercerita Portugis pernah datang (sayangnya Christiano Ronaldo belum lahir waktu itu), Belanda pernah bertamu, Inggris juga sowan, dan Jepang sempat mampir. Ini bukti kuat bahwa orang Indonesia itu adalah tuan rumah yang baik.
Kembali ke video Hajjaj bin Yusuf tadi. Saya salah fokus menyaksikan Hajjaj berpidato. Konsentrasi tidak sepenuhnya kepada apa yang ia katakan namun juga bagaimana gaya dan pembawaannya. Dosen saya menuturkan dakwah menggunakan Pedang sudah biasa di Arab sana. Ini terbukti ketika Hajjaj berpidato ia menghunus pedang di hadapan hadirin. Apakah hadirinnya kabur tunggang langgang ? ndak bro, mereka kalem dan terus mendengarkan. Karena ya itu, berdakwah dengan menghunus pedang sudah jadi budaya. Kalau ndak percaya silahkan cari pidato Hajjaj bin Yusuf di yutub.
Nah, Islam masuk ke Indonesia ndak pakai pedang to? Sejarah menceritakan, membuktikan, dan mengabarkan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perniagaan. Bukan ekspansi menggunakan kekuatan militer laiknya di Timur Tengah sana. Mengapa Islam bisa diterima dengan baik di Indonesia? Karena kesesuaian ajarannya dengan watak masyarakat Indonesia yang ramah tamah. Andai saja Islam masuk ke sini menggunakan pedang belum tentu hasilnya seperti hari ini.
Islam di Arab, Indonesia, dan belahan dunia manapun inti ajarannya sama. Allah sebagai Tuhan, Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul, serta al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Yang berbeda adalah dialektika antara ajaran Islam dengan budaya di masing-masing tempat. Islam kita sama tapi budaya tidak. Inilah yang harus dipahami dengan baik.
Maka tatkala saya mendengar suara sumbang seorang ulama mengancam membunuh Ahok yang mereka klaim telah menistakan agama, saya bertanya pada diri sendiri ; kita tengah berada di Indonesia atau Timur Tengah? Lantas, seandainya Ahok benar-benar mereka bunuh apa yang terjadi kemudian? Apakah apa yang mereka lakukan akan dikenang sebagai peristiwa heroik? Atau justru jadi sejarah kelam untuk umat Islam di tanah yang penuh kedamaian ini? Apakah ibu pertiwi akan kondusif? Apakah ada jaminan tidak ada yang melecehkan agama mayoritas itu di kemudian hari ? Ini Indonesia yang humanis bos, bukan Arab yang keras. Seandainya suara itu bergema di Timur Tengah saya ndak bakal heran, wong budayanya memang begitu. Dan yang namanya budaya ndak bisa kita salahkan. Tapi kan budaya Indonesia beda to dengan Timur Tengah?

sumber : Instagram resmi Nahdlatul Ulama

Saya paham benar sebagian umat Islam tersinggung dan kebakaran jenggot dengan ucapan Ahok. Tapi mari kita tanggapi dengan lebih berbudaya, ndak usah pakai emosi. Ahok saja menyampaikan itu ndak emosian kok. Kan Islam agama cinta damai. Indonesia pun menjungjung tinggi budaya perdamaian. Lah ini udah cocok banget, udah klop lah pokoknya.
Saya bukanlah pendukung Ahok, wong KTP saya Lombok kok. Bukan juga bagian dari mereka yang kontra Ahok. Saya Cuma penonton yang mulai resah dengan tanggapan sebagian umat Islam yang terkesan emosian (Sampai-sampai menyuarakan hendak membunuh Ahok).
Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga kata Nusron Wahid, coba saja MUI memanggil Ahok dulu, ajak lah beliau dialog, tanyakan maksudnya gimana, baru kemudian mengeluarkan fatwa, ini kok fatwanya keluar tanpa ada pemanggilan yang bersangkutan. Andai saja itu yang dilakukan saya yakin ndak bakalan “sepanas” ini jadinya.
Saya cinta Islam yang damai, bukan Islam yang emosional.
“Enak aja, kita ndak boleh diam disaat agama kita dilecehkan!”
Iya, saya setuju, Cuma kan klaim Ahok melecehkan agama itu adalah konsensus sebagian umat Islam. Ndak semuanya. Dan lagian koh Ahok sudah minta maaf dan menyatakan tidak bermaksud menistakan Islam. Hati kecil saya pun berkata bahwa koh Ahok ini ndak melecehkan Islam kok. Kenapa? Nantilah di artikel selanjutanya insya Allah akan saya ulas. Semoga Allah mengizinkan.
‘IsyKarima!!! Hiduplah dengan mulia!!
Jogjakarta, 16 Oktober 2016
11:15 WIB

Muhammad Izzuddin

Komentar

Postingan Populer