5 Momen Paling Dirindukan Saat Nyantri
Bismillahirrahmanirrahim...
Setiap orang pasti punya
momen terbaik dalam hidup mereka. Bertemu tokoh idola, mengunjungi tempat
terkenal, mendapatkan sesuatu yang didamba, hingga cintanya diterima oleh si
dia. Tentu itu semua merupakan kebahagiaan tersendiri bagi masing-masing orang.
Kebahagiaan masa lalu yang hari ini hanya bisa diingat melalui nostalgia penuh
kesyukuran.
Dan saya percaya bahwa
menjadi santri, belajar di pondok pesantren, tidur di asrama, dihukum ustad,
menghafal ma(n)tan itu ma(n)tan ini adalah momen terbaik bagi sebagian besar
orang yang pernah menjalaninya. Tak terkecuali saya. Maka kali ini izinkan saya
merangkum beberapa kegiatan yang pasti akan dirindukan oleh mereka yang pernah
nyantri.
Kuy dimulai!!!
Orientasi Pengenalan Santri Baru
Biasanya masing-masing
pesantren memiliki istilah tersendiri untuk kegiatan ini. Di pesantren saya,
misalnya, disebut dengan istilah ospop, kependekan dari orientasi pengenalan
pondok pesantren. Ini adalah hari di mana untuk pertama kalinya santri baru
berpisah dengan orang tua dan keluarga mereka. Maka jangan heran, di hari-hari
seperti ini akan banyak derai air mata di pipi mereka, bahkan di pipi orang
tua, saudara, hingga nenek-nenek mereka.
Di pesantren saya, ospop
merupakan salah satu hari teramai. Bagaimana tidak, satu santri baru biasanya
diantar oleh satu bus manusia. Mulai dari orang tua, paman, bibi, kakek nenek
hingga barisan para tetangga. Jalan umum di depan pesantren mendadak macet,
halaman masjid di sebelah barat gedung utama pun disulap jadi kantong parkir
roda 4. Puluhan lemari diturunkan dari mobil-mobil yang mengantar si calon
santri. Saat itulah para santri senior mendadak jadi kuli gratisan.
sepotong momen saat menjadi panitia ospop (sumber:dok.pribadi) |
Saya memperhatikan, dari
tahun ke tahun ada satu tradisi yang ndak hilang-hilang saat momen ini
berlangsung. Pasca acara penerimaan santri baru secara simbolis oleh pimpinan
pondok (Tuan Guru), beberapa orang tua murid akan ngantri membawa sebotol air
mineral untuk dibacakan do’a oleh bapak Tuan Guru. Biasanya ini bertujuan agar
si santri baru betah dan kerasan tinggal di asrama.
“Loh itu nggak bid’ah,
Bang?”
“Bid’ah gimana?”
“Itu! Ngebaca do’a di
depan air terus airnya diminum, Rasul nggak pernah kayak gitu bang”
“Kan di zaman Rasul belum
ada pesantren, bro”
“Tapi...”
“Alah, wes, bid’ah bid’ah
mulu yang dibahas, nggak ada kerjaan
lain po?”
Jum’at hari paling nikmat
Kok gitu? Soalnya di hari
inilah santri/wati diliburkan. Ndak ada hafalan yang harus disetor, ndak ada
kegiatan yang harus diikuti, dan tentunya ndak ada kelas yang harus dimasuki.
Santri biasanya akan menghabiskan hari jum’at dengan nonton TV. Fyi, selama 6
hari yang lain menonton TV adalah perkara haram bagi mereka. Maka bisa
dibayangkan betapa bahagia dan bersyukur hati mereka bersua dengan TV meski
hanya sekali seminggu.
Selain nonton TV beberapa
santri juga menghabiskan waktu dengan bermain bola, baik di lapangan umum dekat
pesantren maupun di halaman pesantren yang bersemen itu. Oiya, di pesantren
saya haram menggunakan celana pendek waktu main bola. Maka, jangan heran kalau Njenengan berkunjung setiap jum’at akan
disuguhi aksi sekelompok santri yang main bola dengan jersey random. Ada yang benar-benar memakai
jersey bola, kaos biasa, hingga baju koko lengkap dengan pecinya. Kalau bawahan
Cuma ada dua pilihan, celana panjang atau sarung.
Eh satu lagi ding, kalau
pemain bola profesional pakai sepatu mahal, kami, para santri ndak butuh yang
kayak begitu. Kami telanjang kaki, sandal alias alas kaki pun dijadikan penanda
gawang dadakan. Tentu mengukur lebar gawang pakai langkah kaki selalu jadi
ritual yang tak pernah ditinggalkan sebelum memulai pertandingan. Ini bukti
kesederhanaan serta pengaplikasian sifat adil dalam kehidupan santri (Halah
alibi wkwk). Tak jarang, selepas bermain ada saja santri yang keliling
lapangan, kebingungan, lupa tadi naruh sandalnya dimana. Hingga akhirnya ia nyeker tertatih-tatih menuju asrama
dengan hati masygul.
Ro’an
Sejujurnya saya baru
mengenal istilah ini setelah menginjakkan kaki di tanah Jawa. Yups, pesantren
di Jawa dan Lombok memang memiliki beberapa perbedaan, salah satunya penggunaan
istilah. Meski ro’an secara teoritis baru saya ketahui setelah tidak nyantren
lagi, namun ternyata aktifitas tersebut sudah sering kami lakukan. Jadi ro’an
adalah aktifitas gotong royong di kalangan pesantren untuk membersihkan seluruh
sudut-sudut pondok dengan pembagian tugas yang telah ditentukan. Aktifitas ini
mainstreamnya berlangsung hari Jum’at, namun dalam keadaan luar biasa (misalnya
ada acara besar di pondok) ro’an pun bisa dilakukan di luar hari Jum’at.
Ro’an dilakukan pagi
hari. Saat matahari di ufuk timur mulai meninggi disitulah para santri mulai
memegang sapu, memungut sampah, membersihkan kamar mandi, hingga mengepel apa
yang perlu di-pel. Biasanya pembagian tugas diklasifikasi menjadi 3 tempat;
bagian dalam asrama/pondok, halaman asrama/pondok, dan kamar mandi
asrama/pondok. Pembagiannya pun dilakukan secara bergilir oleh sang Ketua
Asrama. Bisa dipastikan membersihkan kamar mandi adalah perkara paling ingin
dihindari. Tapi, itu semuanya hanya sampai pada taraf “ingin”. Hehe.
Undangan Perbaikan Gizi
Undangan zikir,
menghadiri pengajian, atau untuk mempermudah pemahaman kita istilahkan saja
dengan “undangan makan gratis” adalah berkah tersendiri bagi para santri. Saat
ustad mengabari malam ini kami diundang zikir di tempat A, misalnya, sungguh
itu adalah kabar bahagia bagi kami. Maka nikmat nyantri manakah yang hendak kau
dustakan?
Biasanya yang memberikan
undangan adalah masyarakat di sekitar pesantren. Tapi tak jarang undangan
datang berkilo-kilo meter dari pesantren kami. Tak ayal kami butuh jemputan
untuk menghadiri undangan tersebut. Mobil pick up jadi kendaraan paling mainstream
untuk mengangkut para santri ke tempat undangan. Jika dijemput pake carry
(salah satu jenis angkutan umum di Lombok) tak jarang kami berebut tempat di
atas kapnya. Membohongi sang supir kalau di dalam sudah penuh padahal masih
banyak space yang kosong. Ya, santri
juga terkadang nakal, nakalnya ya kayak begitu. Hehe.
Ya hukuman, ya keberkahan
Pondok pesantren adalah
lembaga pendidikan berbasis agama yang menerapkan disiplin tingkat tinggi. Ada
konsekuensi hukuman untuk setiap tindakan indisipliner. Mulai dari hukuman
ringan, sedang, hingga berat. Sepertinya tidak ada santri yang tidak pernah
dihukum. Sesoleh apapun santri itu, sebaik apapun namanya pasti pernah kok
merasakan rotan atau hukuman lain dari sang ustad. Percaya sama saya.
Ada banyak penyebab seorang
santri dihukum. Misalnya tidak solat jama’ah, tidak ikut kegiatan, ndak hafal
matan yang harus dihafalkan, terlambat ke madrasah, tidur sebelum jam 10 malam.
Adapun yang hukumannya lumayan antara lain merokok, membolos, hingga berkelahi.
Uniknya dan syukurnya, di
kalangan pesantren ada dogma yang menyatakan bahwa hukuman adalah salah satu
media masuknya keberkahan dalam diri seorang santri. Persetan orang bilang ini
nggak logis, nggak rasional, tapi fakta empirik mengatakan demikian. Meskipun
“keberkahan” itu sendiri abstrak wujudnya, tapi bisa dirasakan kok oleh yang
bersangkutan pun oleh orang-orang di sekitarnya.
Kalau saya sih memandang
lahirnya dogma seperti itu bertujuan agar tak ada dendam yang muncul pasca penghukuman.
Ini akan melahirkan sikap ikhlas dan qana’ah di kalangan santri. Adapun di elit
ustad, menghukum merupakan salah satu wujud kecintaan seorang murabbi kepada anak-anak didikannya.
Mereka ingin melihat murid-murid mereka jadi orang yang baik, dan terkadang,
menjadikan orang baik membutuhkan perlakuan yang kelihatannya kurang baik tapi
seyogyanya baik.
Ketika Anda disuntik
dokter, sakit ndak ? atau kala dokter memberi Anda obat, pahit ndak? Sakit to ?
pahit to ? tujuannya apa? Biar Anda sembuh. Pun Ustad pun demikian. Dogma semacam
itu menjadi ciri khas sekaligus keunggulan pesantren dalam mencetak output yang
beradab. Semoga ke depannya pesantren semakin memberi kontribusi untuk bangsa,
agama, dan negara tanpa kehilangan marwahnya di tengah modernisasi yang tak
terbendung ini.
IsyKarima!!! Hiduplah
dengan mulia!!
Jogjakarta,
11 Oktober 2016
14:56 WIB
Muhammad
Izzuddin
Komentar
Posting Komentar