Setelah Mamiq Hasanain Mulai Pemanasan
Beberapa waktu lalu saya
membaca berita di sebuah portal lokal terkait keinginan dari Sekjen PBNW kubu
Pancor, TGH. Hasanain Juwaini untuk maju dalam kontestasi pilgub NTB 2018. Saya
percaya bahwa, mainstreamnya, tuan guru atau kiyai adalah sosok yang paham
nilai-nilai agama. Dan agama tidak melarang pemeluknya berpolitik. Nabi saja
selain berdakwah dalam waktu yang bersamaan pun menjadi pemimpin. Mungkin ini
hal yang hendak ditiru oleh Mamiq Hasanain.
Di saat orang-orang asyik
mencurahkan perhatian ke ibu kota sana, saya kok tertarik untuk melihat
dinamika politik daerah sendiri. Sudah jadi rahasia umum kursi NTB 1 mulai
dilirik banyak tokoh. Tahun 2013 lalu mereka mungkin berpikir realistis saja,
TGB (Tuan Guru Bajang) sulit dikalahkan. Melawan TGB menuju NTB 1 hanya akan
menghabis-habiskan duit saja. Kecuali jika pilgub dijadikan sekedar ajang
“nampang” nama.
Sebut saja paslon yang
diusung oleh salah satu partai Islam. Mereka memang gagal dalam pilgub namun
berhasil menduduki kursi DPRD Provinsi setahun berikutnya. Saya mendengar
banyak suara sumbang bahwa pilgub hanya dijadikan panggung promosi oleh mereka.
Tujuan akhirnya ya pileg setahun kemudian. Benar atau tidak hanya Allah dan
mereka yang tahu.
Mamiq Hasanain adalah
seorang tuan guru (kiyai), pimpinan pesantren, mantan ketua KPU Lombok Barat,
dan jabatan terbaru yang beliau emban ialah Sekjen PBNW kubu Pancor. Saya
percaya bahwa tidak ada satu tuan guru pun yang popularitasnya di NTB melampaui
TGB, jangankan melampaui, menyamai saja pun rasanya belum ada. Termasuk TGH.
Hasanain. Di kalangan nahdliyin (orang-orang NW) pun demikian. TGH. Yusuf
Makmun bisa jadi jauh lebih populer ketimbang mamiq Hasanain.
Maka tatkala beliau
(mamiq Hasanain) terpilih sebagai sekjen PBNW bukan tidak mungkin disamping
beliau memang memiliki kapasitas dan kapabilitas mengemban jabatan tersebut,
itu juga bisa jadi merupakan ajang promosi tidak langsung. Jama’ah nahdliyin
pun mulai mengenal dan tahu seperti apa sih wajah mamiq Hasanain. Apalagi dalam
momentum Hultah NWDI ke-81 kemarin TGB sempat memperkenalkan mamiq Hasanain
sebagai tuan guru yang sederhana namun sarat prestasi.
Saya pernah beberapa kali
berjumpa dengan beliau. Tidak pernah berbicara, hanya sekedar salaman, ah tapi
beliau pasti tidak ingat. Aku mah apah atuh, hehe. Apalagi jika solat Jum’at di
masjid besar Narmada. Pernah pula saya mendengarkan ceramah beliau di Ponpes
yang beliau pimpin. Kesan saya ; beliau memang cerdas. Mamiq Hasanain bukanlah
tuan guru yang baca kitab Islam melulu, tapi juga buku-buku ilmiah lainnya.
Beliau ndak hanya menguasai kaidah Ushul Fiqh, namun juga paham teori-teori
ilmu sosial-humaniora.
Keesokan harinya, di
portal harian lombokpost.net saya membaca headline
yang kurang lebih bunyinya begini “TGB Santai Tanggapi Keinginan Hasanain”. Ya,
iyalah, wong masih dua tahun lagi. Tidak mungkin TGB dari sekarang sudah
menyatakan hendak mendukung siapa. 8 tahun berpolitik, plus 4 tahunan menjadi
anggota DPR RI (2004-2008) saya percaya TGB sudah banyak belajar tentang
politik. Beliau tahu kapan harus diam, kapan harus komentar, dan kapan harus
mengeluarkan kartu as. Ini lah bagian menarik dan bikin penasarannya, kemanakah
dukungan TGB akan berlabuh? hanya waktu yang mampu menjawab.
Jauh sebelum mamiq
Hasanain menyatakan sikap beragam spekulasi telah berkembang. Mulai dari Ali BD
yang siap hijrah dari Selong ke Mataram, Suhaili FT dan “datu” Mentaram, Ahyar
Abduh, yang sama-sama berharap suara DPP Golkar untuk jadi cagub, hingga TGB
yang dikabarkan mendorong Dr. Zul (kader PKS yang pernah nyagub di Banten
beberapa tahun lalu) maju dalam pilgub 2 tahun mendatang. Saya menganggap semua
spekulasi tersebut sebagai warming up, sekedar
pemanasan. Apalagi politik adalah komoditas yang begitu absurd. Dinamikanya
ndak bisa ditebak. Dan disitulah asyiknya.
Mamiq Hasanain sendiri
menyatakan akan maju melalui jalur independen tapi tidak menutup kemungkinan
beliau akan meniru Ahok, dari mewacanakan jalur independen tapi ujung-ujungnya
pakai partai politik. Semua itu kembali ke dinamika politik yang tak bisa
ditebak dan sarat akan kejutan.
Akan tetapi, sejauh ini,
sebagai warga NTB yang sudah punya hak suara saya juga boleh to berspekulasi ?
termasuk berspekulasi hendak memilih siapa. Seandainya nama-nama yang muncul
adalah TGH. Hasanain, Dr. Zulkifliemansyah, Ali BD, Ahyar Abduh, Suhaili FT,
dan nama terakhir kita misalkan saja Fahri Hamzah, saya akan memilih nama
pertama. Ya, mamiq Hasanain. Lho, kenapa beliau?
Sosok Cerdas
Tidak hanya cerdas dalam
aspek kognitif, tapi insya Allah beliau juga memiliki kecerdasan rekognitif. Prestasi
dan penghargaan yang beliau dapatkan bisa jadi indikator kuat. Beliau juga
kerap diliput TV karena dedikasi terhadap lingkungan. Inilah sedikit kemiripan
antara TGB dengan mamiq Hasanain, sama-sama berprestasi. Baik di tingkat
nasional maupun internasional. Tentu ada kepuasan psikologis dalam masyarakat
tatkala memiliki pemimpin berprestasi.
Prestasi jika dipandang
pragmatis mungkin dianggap sekedar simbolisasi saja. Tapi seyogyanya prestasi
adalah tanda seseorang telah bekerja keras. Sama saja seperti mahasiswa, ada
dogma yang cukup menggelitik di kalangan mahasiswa, belajar itu buat
mendapatkan ilmu bukan nilai! Tapi nilai adalah tanda bahwa dirimu belajar.
Logikanya kan sangat tidak mungkin mendapat nilai baik tapi tidak pernah
belajar. Prestasi pun demikian. Mamiq Hasanain tidak mungkin mendapat prestasi
dengan hanya berteori baik lisan maupun tulisan. TGB pun demikian. Ada kerja
keras yang dilakukan, ada kesulitan yang ditaklukan, ada resiko yang harus
dibayar.
Lagi pula, memiliki
pemimpin berprestasi tentu akan berdampak baik bagi generasi muda. Sosok Ridwan
Kamil di Bandung, Azwar Anas di Banyuwangi, hingga Risma di Surabaya adalah
sederet pemimpin daerah berprestasi sekaligus menginspirasi generasi muda di
daerahnya. NTB yang tengah berikhtiar meningkatkan daya saing perlu pemimpin
seperti mereka. Dan TGB telah berhasil menginspirasi banyak anak muda NTB
dengan sederet prestasi dan kinerjanya. Maka penerus TGB di kursi NTB 1 harus
mampu–paling tidak–menyamai beliau.
Sosok Sederhana
Jika Anda bertemu dengan
mamiq Hasanain mungkin Anda tidak akan menyangka beliau adalah seorang tuan
guru. Ya, penampilannya memang sangat bersahaja. Beliau adalah tuan guru yang tidak
canggung nyangkul di kebun, beliau pun paling senang memungut sampah yang
berserakan. Beberapa waktu lalu beliau menginisiasi gerakan santri
bersih-bersih pantai. Hasilnya ? dalam sekejap pantai-pantai jadi bersih,
kinclong, dan sedap dipandang.
Bersih-bersih adalah hal
sederhana. Dan dari kesederhanaan lah hal-hal besar dan strategis mulai
dibangun. Tengoklah Risma, beliau walikota yang ndak segan turun ke got,
menyingsingkan lengan baju lalu ikut mengatur taman. Meskipun sederhana tapi berdampak
luas bagi masyarakat yang dipimpinnya. Kalau saya boleh berpendapat, inilah
revolusi mental yang sesungguhnya. Mental membuang sampah sembarangan
direvolusi menjadi mental membuang sampah pada tempatnya. Nah perlahan baru
kita melangkah ke persoalan yang skalanya lebih besar. Pokoknya perubahan itu
dimulai dari hal yang sederhana, dan mamiq Hasanain menyadari sekaligus
mengamalkan hal tersebut.
Patut diberi
kesempatan
Mungkin akan ada pihak
yang menyepelekan kemampuan mamiq Hasanain dalam memimpin. Apalagi beliau ndak
punya pengalaman membawahi banyak orang. Pimpinan pesantren? ah ustadnya paling
ratusan dan santrinya ribuan. Ketua KPU? Halah anggotanya Cuma berapa gelintir
sih? Sedangkan NTB ini ada 4 juta lebih manusia. Itupun data diambil tahun
2010. Sekarang? Ya pasti nambah lah. Apa mampu mamiq Hasanain memimpin kepala
sebanyak itu?
Saya teringat statement
cagub DKI, Agus Harimurti Yudhoyono dalam acara Mata Najwa beberapa waktu lalu.
Semua orang punya titik nol. Hatta pemimpin yang dianggap berhasil bin
sukses pun pasti punya titik awal ia mulai meniti jejak. Mari Flashback
sejenak! 2008 lalu! Saat sosok TGB, ulama ahli tafsir, terpilih sebagai
Gubernur banyak sekali suara sumbang nan meragukan kemampuan beliau. Itulah
titik nol TGB, titik start beliau mulai memimpin. Dan bagaimana hasilnya
sekarang? Jika ini ditanyakan ke orang NTB saya yakin 80% masyarakat mengaku
puas dengan kinerja beliau. Bahkan rival politik beliau dulu kini berlomba
mendekati dan mendukung beliau.
Lantas jika TGB dahulu
diberi kesempatan untuk memimpin kenapa mamiq Hasanain tidak? Berangkat dari
fakta historis ini kita harus bersikap adil, siapapun dia, tidak hanya mamiq
Hasanain, berhak diberi kesempatan untuk berkhidmat kepada ummat.
Nama-nama yang lain
bukannya tidak baik. Mereka berpengalaman dan tentunya punya i’tikad baik
memajukan NTB. Hanya saja masing-masing orang berhak menentukan pilihannya
siapa. Termasuk saya. Dan saat ini nama mamiq Hasanain berada di urutan
terdepan bacagub yang hendak saya pilih.
Menarik kita simak dan
nantikan dinamika politik di NTB ini. Saya percaya masyarakat NTB adalah pemilih
cerdas, kritis, dan bijak. Ini tantangan yang harus dijawab dan disikapi oleh
mereka yang ingin menduduki kursi NTB 1. Kita berharap semoga atmosfer politik
di NTB selalu terbalut dalam bingkai kedamaian, kebersamaan, dan tentunya
kejujuran. Ammiinn.
Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar