REUNI 212 : SEBUAH AKSI UNJUK KEKUATAN
Sudah beberapa hari
terakhir abah di rumah kerap protes lantaran saya tak jua menulis di blog ini.
Bahkan beliau menyalahkan kegiatan saya yang sering lomba ke beberapa kampus
sebagai biang keladi menurunnya kuantitas tulisan di blog ini. Saya Cuma bisa senyum
simpul mendengarnya. Sejatinya Abah adalah sosok bapak yang sangat mendukung
apa yang dilakukan anak-anaknya, termasuk saya. Untuk itu saya tidak bisa
membantah segala kritikan dan masukan
dari beliau. Apalagi sampai mencari-cari alasan dan pembenaran, hehe.
Dan sore ini, masih di
minggu pertama Desember saya mendapat sebuah ide untuk ditulis. Ide yang muncul
tatkala jemari ini baru selesai menulis sebuah artikel untuk UC News akan
tetapi ketika mau nge-submit jaringan internet malah lola alias loading
lama. Maka sembari menunggu jaringannya normal saya pun memutuskan untuk
membuka microsoft word sekaligus menyaksikan TV.
Jika Anda membuka YouTube
hari ini dan melihat daftar trending, maka video diskusi dalam acara Indonesia
Lawyers Club TV ONE menjadi trending nomor satu untuk skala Indonesia. Acara diskusi
yang dipandu Karni Ilyas itu membahas sebuah tema yang sangat aktual dan
mendulang pro kontra, perlukah AKSI 212 melakukan reuni?
Hadir dalam diskusi
tersebut beberapa pihak yang berbeda pendapat. Saya pribadi fokus pada
tokoh-tokoh seperti Ustadz Felix Siaw, Fahri Hamzah, Rocky Gerung, Ahmad Dhani,
Abu Janda, hingga Mbah Sujiwo Tejo. Juga beberapa anggota DPR yang pro terhadap
pemerintah Jokowi-JK.
Reuni 212 kemarin memang
kembali dipenuhi oleh jutaan orang. Meski ditentang oleh beberapa tokoh namun “reuni”
tersebut tetap saja dilangsungkan. Banyak yang bertanya, untuk apa reuni
tersebut dilangsungkan? Bukankah acara yang bertajuk AKSI BELA ISLAM itu telah
mencapai tujuannya yakni memenjarakan Ahok yang kala itu dituduh melakukan penistaan
agama. Lantas buat aksi-aksi lagi?
Fahri Hamzah
mengungkapkan bahwa acara reuni tersebut ingin menegaskan bahwa Umat Islam
hadir dan siap mendukung kedaulatan NKRI. Untuk itu melalui aksi reuni 212
mereka yang hadir siap bahu-membahu mengawal segala kebijakan pemerintah
Jokowi-JK untuk kemaslahatan umat banyak.
Namun tak dapat
dipungkiri bahwa dalam aksi tersebut saya melihat ada beberapa atribut-atribut yang
identik dengan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang notabene telah dilarang
oleh pemerintah. Juga suara-suara fanatisme Islam terdengar meski tak secara
langsung diungkapkan. Hal ini membuat pemerintah memiliki alasan mengapa mereka
mengkhawatirkan aksi tersebut. Dikhawatirkan aksi tersebut ditunggangi oleh
kepentingan-kepentingan politik. Persis apa yang terjadi tahun lalu.
“Saya berani jamin kalau
tidak ada AKSI 212 tahun lalu, belum tentu Anies Baswedan bisa mengalahkan Ahok
di pilgub Jakarta”
Namun saya sangat setuju
dengan pendapat-pendapat yang disampaikan Prof. Mahfud MD yang juga ikut angkat
bicara melalui sambungan jarak jauh. Prof Mahfud MD mengatakan bahwa semua
kegiatan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun kubu yang berseberangan
dengan pemerintah tidak bisa dipisahkan dari politik. Sangat bohong jika
mengatakan REUNI 212 tidak memiliki kaitan politik. Pun sangat naif mengatakan
bahwa Aksi Jokowi yang kerap blusukan dan bagi-bagi sepeda tak ada kaitannya
dengan Pilpres 2019 mendatang. Maka Prof. Mahfud ingin kita nggak usah munafik
dan sok-sokan tidak memiliki hajat politik tertentu.
Bahkan dalam penunjukkan
KASAU sebagai pengganti Panglima TNI, Jend. Gatot Nurmanyo saya sangat yakin
Jokowi punya pertimbangan politis. Insya Allah akan saya ulas di tulisan
selanjutnya.
Politik terambil dari
bahasa Inggris, policy yang artinya kebijakan. Kegiatan-kegiatan politik
adalah kegiatan-kegiatan yang berdampak pada kebijakan-kebijakan suatu instansi
dan negara. Bahkan manusia adalah makhluk politik. Maka politik tidak bisa
dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun yang patut
diperhatikan adalah politik itu banyak macamnya, ada politik teoritif, ada pula
politik praktis. Nah politik praktis inilah yang sering diperbincangkan dan
diperebutkan. Gerakan Reuni 212 saya rasa adalah gerakan politik praktis tak
langsung. Mereka ingin menunjukkan bahwa jumlah umat Islam yang masih aware pada
AKSI 212 masih banyak. Itu artinya hal tersebut dapat digarap sebagai salah
satu komponen kesuksesan pilpres 2019 mendatang.
Apakah Anies Baswedan dan
Prabowo Subianto siap memanfaatkan “komunitas” ini untuk mencoba peruntungan di
pilpres-wapres 2019 mendatang? Wallahu A’lam.
Komentar
Posting Komentar