Fans Manchester City Bukan Fans Karbitan
Jika bakso dijuluki
makanan sejuta umat dan Avanza sebagai mobil sejuta umat, rasanya olah raga
sepak bola tidak cukup dikatakan sebagai olahraga sejuta umat. Ia adalah
olahraga miliaran umat. Siapa yang tak suka sepak bola? Dari 10 sahabat atau
teman Anda, besar kemungkinan 8 diantaranya menyukai sepak bola.
Sepak bola dari hari ke
hari terus mengalami perkembangan di berbagai aspek. Jika dulu olahraga yang
memperebutkan bola untuk diceploskan ke gawang lawan ini identik dengan kaum
laki-laki sekarang tak seperti itu lagi. Para wanita sudah bisa bermain bola
bahkan hingga ke ajang Piala Dunia. Mereka juga sudah banyak yang menjadi
wasit-wasit profesional.
Sebagai olahraga yang
paling digandrungi khalayak ramai, sepak bola terus menorehkan cerita dari masa
ke masa. Kakek kita mungkin akan menceritakan bagaimana hebatnya seorang Pele
dan Maradona. Orang tua kita akan menceritakan bagaimana kehebatan Ronaldo
Brazil, Luis Figo, hingga Zidane di masanya. Dan sebagai generasi millenial kita tak perlu khawatir kehabisan cerita
untuk dibangga-banggakan pada anak-cucu kelak, karena sejatinya kita hidup
dalam momen rivalitas terbaik sepanjang masa antara Ronaldo vs Messi.
Namun mari kesampingkan
sejenak perihal prestasi individu. Sepak bola adalah olah raga kolektif. Ada 11
pemain di atas lapangan, pelatih dan stafnya di sisi lapangan, serta jangan
lupakan para pemain ke-12. Liga Inggris, Liga Spanyol, dan Liga Italia sedari
dulu menjadi perhatian utama para penikmat sepak bola. Banyak cerita yang hadir
dari setiap liga yang layak untuk dibahas dan terus dibenamkan dalam benak.
Revolusi sepak bola;
bukan sekedar prestasi
Saya rasa arus
materialisme perlahan namun pasti sudah menyentuh ranah sepak bola. Kini
olahraga si kulit bundar tidak hanya terkait prestasti dan prestise. Ia telah
bertransformasi menjadi industri baru yang menggiurkan. Uang berhasil mengubah
budaya tim-tim besar dunia. Mereka yang tak bisa beradaptasi dengan
perkembangan zaman bersiap-siaplah hanya akan bisa membanggakan sejarah di masa
lalunya.
Real Madrid di awal
2000-an menggemparkan dunia dengan meluncurkan Los Galacticos jilid 1. Semua
pemain hebat dikumpulkan oleh Florentino Perez dalam satu klub guna menguasai
sepak bola dunia dan hal itu terbukti berhasil. Di tahun 2009 Perez kembali
melakukan hal yang sama dengan meluncurkan proyek Los Galactico jilid 2 dengan
menghadirkan Cristiano Ronaldo, Benzema, Ricardo Kaka, Gareth Bale, hingga Xabi
Alonso.
Kini bukan hanya Real
Madrid yang memiliki kekuatan finansial menakutkan, PSG dan Manchester City
pasca diakuisisi milyarder timur tengah juga telah berhasil menjadi kekuatan
baru di dunia sepak bola. PSG berhasil mendominasi Liga Perancis, sedangkan
Manchester City butuh waktu lebih lama karena mereka berdomisili di liga paling
kompetitif sedunia.
Kali ini saya, Bajang
Lombok akan membahas Manchester City dan mengapa saya mulai mendeklarasikan
diri sebagai fans klub tersebut.
Membeli City sebagai
langkah awal menjadi besar
Milyarder asal Uni Emirat
Arab, Syeikh Mansour, membeli Manchester City di tahun 2008 dengan harga 265
juta poundsterling. Dilansir panditfootball, Manchester City tidak hanya tumbuh
sebagai kesebelasan yang berprestasi namun juga menjanjikan secara bisnis.
Tahun lalu sang pemilik melepas 13% sahamnya ke konsorsium asal Tiongkok demi
tambahan modal. Mau tahu berapa besar nilainya? Sama dengan nilai pertama kali
Sheikh Mansour membelinya.
Dari sini saya belajar
bahwa sebuah prestasi dan pencapaian besar dimulai dengan langkah pertama. Dan
Manchester City telah memulai langkahnya dengan dibeli oleh Syeikh Mansour.
Lantas apakah MU, Liverpool, dan Bayern Munchen dahulu tak memiliki langkah
pertama hingga sukses seperti hari ini? Of course mereka memilikinya. So,
tidak ada yang salah kan jika The Citizen dimiliki oleh
konglongmerat? Itu langkah awal!
Syeikh Mansour;
pemimpin visioner
Masih dilansir pandit
football, Sheikh Mansour memang datang ke Manchester dengan rencana jangka
panjang berskala besar. Visinya adalah: “We are building a structure for the
future, not just a team of all stars”. Kalimat tersebut keluar dari
mulutnya ketika pertama kali datang. Sebuah visi yang luar biasa hingga
kemudian ditempel di dinding kantor Manchester City.
Untuk mewujudkan mimpinya
ia boyong orang-orang terbaik untuk menangani kesebelasan ini. Jauh sebelum Pep
Guardiola datang, ia lebih dulu mendatangkan atau mungkin lebih tepatnya
membajak Ferran Soriano dan Txiki Begiristain dari Barcelona. Soriano yang
notabene mantan wakil presiden FC Barcelona didaulat menjadi CEO sedangkan
Begiristain ditugasi sebagai direktur teknik.
Ketika pertama kali
membaca visi Syeikh Mansour saya langsung jatuh hati pada Manchester City,
karena saya percaya bahwa tim ini memang tim yang baru bangkit namun memiliki
rencana jangka panjang yang terstruktur. Mereka bukan tim yang hanya ingin
mengumpulkan pemain bintang, namun tim yang ingin menjadi kekuatan baru di masa
yang akan datang.
Salah satu langkah untuk
mewujudkan visi itu adalah dengan membangun akademi sepakbola. Akademi tersebut
bukan sembarang akademi karena diklaim punya fasilitas terbaik di dunia.
Akademi tersebut diberi nama Etihad Campus. Komplek megah seluas 80 hektar
tersebut di dalamnya terdapat 16 lapangan sepakbola berstandar FIFA.
Salah satu lapangan
dibangun di dalam ruangan, dan satu lainnya dikelilingi oleh tribun yang bisa
dipakai pertandingan junior dan perempuan. Komplek tersebut juga langsung
terhubung dengan stadion Etihad melalui sebuah jembatan. Bahkan menurut
beberapa media, anak-anak di Manchester kini mulai banyak yang ingin masuk di
akademi Manchester City, bukan lagi akademi Manchester United.
Intinya, saya percaya
bahwa klub ini punya masa depan cerah.
NO MONEY NO TROPHY
Sudahlah tak usah
munafik! Sepak bola modern zaman now kalau nggak berani ngeluarin duit
akan sulit bersaing meraih trofi. Lihatlah MU yang sempat memecahkan rekor
pemain termahal dunia kala membajak Paul Pogba dari Juventus. Barcelona pun
yang dikenal selalu mengandalkan akademi La Massia kini telah gila-gilaan di
bursa transfer.
Artinya apa yang
dilakukan Manchester City tidak bisa dikatakan merusak atmosfer sepak bola
modern. Namun itulah perubahan dan perkembangan. Dan hanya orang-orang yang
bisa beradaptasi dengan baik yang mampu survive dan terus berbuat
banyak.
So fans Manchester City
bukan fans karbitan, karena kami punya alasan kuat mengapa menyukai tim ini.
Jogja, 17
Desember 2017
17:19 WIB
Bajang Lombok
Komentar
Posting Komentar