Ketika Anak Kos Pergi Kondangan



Bismillahirrahmanirrahim...
Semangat pagi !!!
Menjadi anak rantau sekaligus anak kos-kosan adalah pengalaman berharga bagi semua orang yang pernah dan sedang merasakannya. Banyak suka duka yang ditemui. Pun tak sedikit pelajaran berharga serta hikmah kehidupan yang sering menghinggapi. Sungguh benar nasihat imam Syafi’i.
سافر تجد عواضًا عمّن تفارقه
فانصب فإنّ لذيذ العيش فى النصب
Merantaulah! Engkau kan temukan pengganti orang yang kau tinggalkan di kampung halaman. Bekerja keraslah! Karena kenikmatan hidup ada pada usaha yang maksimal.
Sahabat-sahabat yang dimuliakan Allah!
Saya sengaja menuliskan muqaddimah seperti di atas karena pembahasan dalam goresan kali ini akan mencakup keduanya ; balada anak rantau dan esensi nasihat imam Syafi’i. Mari kita mulai saja....
Semalam, saya dan beberapa kawan-kawan diberikan nikmat oleh Allah melalui resepsi pernikahan saudara sepupu dari kawan kami, bang Egata. Dari semua teman yang diajak hanya saya, Syamil, Zamzam, dan Angga yang berkesempatan hadir. Yang lain disibukkan dengan persiapan UAS, berbagai kegiatan lain, dan ada pula yang melantai (menari) di JCM (Jogja City Mall).
Bukan berarti kami tak memikirkan UAS, hanya saja kami tak ingin menjadi golongan orang-orang yang menolak rizki. Sungguh menolak rizki amat dekat dengan sifat mubazir. Dan orang-orang yang suka me-mubazir-kan sesuatu adalah saudara syetan. Kami nggak mau lah jadi saudaranya Syetan. Lebih baik jadi saudaranya Isyana dari pada syetan. Naudzubillahi min dzalik.
So, fix, niat awal kami datang ke resepsi pernikahan orang yang tak kami kenal semalam murni menambah asupan gizi yang terkandung dalam tubuh. Dan lebih detail lagi agar (maaf) feses yang kami hasilkan tidak terbuat dari nasi kucing atau indomie akang-akang burjo saja. Sesekali boleh to makan enak? Gratis lagi! Maka nikmat kondangan mana lagi yang kau dustakan wahai anak rantau!!!
Sungguh benar hadist nabi yang berbunyi “semua amal tergantung niat, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkan”. Dengan berbaju batik rapi kami melangkah pasti menuju meja among tamu. Oiya ding, hampir lupa, acara semalam berlangsung di Grha Sarina Vidi yang terletak di Jalan Magelang. KM berapanya saya kurang ingat betul. Pengantinnya bernama Dita & Sigit. Dua-duanya alumni Fakultas Teknik UGM.
Setelah Egata menulis nama di daftar tamu undangan kami pun melangkah masuk. Beberapa pasangan berdiri beriringan menyalami setiap tamu yang baru datang. Serasa seperti lebaran saja. Setelah menunduk setiap kali bersalaman akhirnya kami sampai pada palang pintu terakhir, itu artinya sebentar lagi kaki kami akan berpijak di depan stand-stand makanan yang sudah disediakan.
“Akaw cong! Orang kaya cong” celoteh si anak Madura penuh takjub. Seketika lapar yang ia tahan lantaran puasa seharian hilang hanya dengan melihat banyaknya makanan ringan yang tersedia. Di saat itu saya bertekad akan mencicipi semua makanan ringan yang adas. Kali aja sepulang kondangan berat badan bisa meningkat walau hanya setengah ons.
Pilihan pertama kami jatuh pada kebab. Dua potong makanan khas Turki itu kami letakkan di piring kecil disertai saus secukupnya. Kapan lagi makan kebab gratis. Kebabnya enak, legit, hanya kurang hangat saja tapi tak menghilangkan kenikmatan dalam setiap gigitan yang kami rasakan. Dua potong kebab pun meluncur dengan lancar tanpa hambatan berarti ke dalam perut.
Salah satu kata-kata mutiara dari banyak motivator, guru, maupun tokoh-tokoh hebat kami aplikasikan dengan baik malam itu, yaitu “jangan cepat berpuas diri”. Maka kami tak mau berpuas hanya dengan kebab. Setelah sedikit berkontemplasi di tengah keramaian tamu yang hilir mudik, pilihan pun jatuh pada sate ayam.
4 tusuk sate ayam beserta potongan lontong dan bumbu khas sate sungguh tak bisa ditolak oleh makhluk bernama anak kos. Ajaibnya, baru makan 2 makanan ringan saja kami kok merasa cukup kenyang. Padahal masih banyak stand makanan yang menanti untuk kami singgahi. Kami pun memutuskan untuk tidak mengikuti nafsu yang sudah kenyang. Doktrin agama agar tak menjadi orang yang me-mubair-kan apapun telah menancap kuat dalam hati. Di situ kami baru sadar bahwa iman kami sedang meningkat.  
Barisan anak kos dari kiri ke kanan : Syamil, Izzuddin, Zamzam, Egata, Angga
muka-muka lapar

Selanjutnya gulai daging, takoyaki, nasi goreng hijau, es krim, es jeruk, es teh (eh, itu namanya bukan es jeruk sama es teh ding, pasti ada istilah lain, saya agak lupa saking kenyangnya) baru kemudian di akhiri dengan makan besar. Saya pribadi berharap bukan hanya kenyang yang saya dapatkan, tapi juga peningkatan berat badan, serta energi lebih untuk menghadapi UAS di penghujung semeseter ini.
Mendekati jam 21:00 kami beranjak ke singgasana bahagia (baca; pelaminan) untuk bersalaman dan berfoto bersama pengantin. Nah di sini lah saya merasakan sesuatu yang berbeda. Ada keinginan yang membuncah dalam dada. Kapan saya bisa menikah? Membahagiakan istri beserta keluarga saya dan keluarga istri saya kelak. Siapa yang tak ingin berbahagia seperti sepasang pengantin yang saya saksikan di pelaminan malam itu. Tapi saya sadar kebahagiaan itu butuh perjuangan dan pengorbanan.
Tampak pengantin wanita cukup kelelahan menerima tamu, atau mungkin tak nyaman dengan atribut busana pengantin yang cukup “wah” di mata saya. Tapi ia tetap bersedia berdiri dan berfoto bersama kami, rombongan anak kos yang tak mereka kenali. Saya hampir mengira selain bersalaman kami akan cipika-cipiki dengan pengantin, termasuk pengantin wanita. Karena kebanyakan tamu ya begitu (cipika-cipiki). Ah tapi memang realita tak selalu sesuai ekspektasi. Ya Allah, ampuni hamba. Cuma bercanda kok. Hehe.
Dalam jejak langkah keluar dari arena utama resepsi pernikahan malam itu saya terus berdialog dengan diri. Jika saya terus-terusan bertanya “Kapan saya bisa menikah?” maka selamanya pertanyaan itu akan menjadi pertanyaan, tanpa ada jawaban! Sudah saatnya pertanyaan itu saya ubah menjadi sebuah pernyataan, atau lebih tepatnya target. “Beberapa tahun lagi giliran saya yang naik pelaminan”.
Untuk menikah tak hanya butuh kesiapan biologis tapi juga psikologis. Kalau biologis mah saya sudah siap sejak bertahun-tahun lalu. Tapi kesiapan psikologis ini lo yang harus saya usahakan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya kesiapan psikologis, dan yang paling dominan ialah faktor pendidikan dan ekonomi. Maka....
Izzuddin! Jika kamu ingin menikah, sukses dulu dengan pendidikanmu! Bukan hanya pendidikan formal-akademik yang terepresentasi dengan ijazah dan IP Cumlaude, tapi juga pendidikan yang lebih berdampak sistemik untuk dirimu dan orang-orang di sekitarmu. IP Cumlaude nggak cukup untuk menikah. Dan yakinlah, saat Engkau sudah berilmu, bukan harta yang kau cari, tapi harta yang akan mencarimu. Jika kau fokus mencari harta untuk menikah bisa saja kelak kau akan diperbudak olehnya. Naudzubillahi min dzalik.
Sahabat-sahabat di manapun berada. Sungguh ketika anak kos pergi kondangan bukan hanya kenikmatan sajian dan kelezatan hidangan yang mereka dapatkan. Tapi juga semangat untuk terus berusaha, belajar, dan bekerja keras agar bisa segera duduk di pelaminan. Tentu bukan jadi pengibas kipas atau sekedar pendamping pengantin. Tapi menjadi pasangan yang berbahagia dan juga membahagiakan orang lain. Termasuk anak-anak kos yang jarang makan enak. Itulah yang saya rasakan.
Wallahu a’lam...
Jogjakarta, 13 Desember 2016
10:03 WIB

Muhammad Izzuddin

Komentar

  1. ada ada saja kamu iz . bagimana nikmatnya kamu nanti dibutkan acra sama orang lain yg mengisi acara tersebut kamu dengan kawan kawan yang ikut banyak sekali dan banyak menimatinya dgn ketersedian ketring yang melebihi dari itu ...itu kan dak mustahil?..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer