5 Hujjah Debaters Menantu Idaman
Sebulan lebih vakum
menulis. Tak menyentuh keyboard laptop dan mengurai kata demi kata. Beberapa
orang bertanya apakah saya masih menulis? Dengan tegas saya katakan, iya,
alhamdulillah saya masih konsisten menulis. Hanya saja satu bulan terakhir
banyak tanggung jawab yang mau tak mau menyita waktu dan konsentrasi sehingga kesempatan
untuk menulis pun harus dikorbankan. Terasa berat sebenarnya, tapi tidak ada
pilihan lain. Tanggung jawab harus dijalankan dengan maksimal.
Salah satu tanggung jawab
itu ialah mewakili almamater tercinta, Universitas Gadjah Mada di ajang Gebyar
Apresiasi Mahakarya (GAM) 7 tingkat nasional yang diselenggarakan oleh
Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Acara tersebut merupakan ajang silaturahim
mahasiswa-mahasiswi PBA dan BSA se-Indonesia dalam bingkai kompetisi dan
seminar nasional. Saya, Zamzam, dan Syamil diamanahi mewakili UGM dalam cabang
debat ilmiah bahasa Arab.
Bagi Zamzam ini adalah
pengalaman pertamanya berdebat dan kali kedua bagi saya dan Syamil. Pertama
kali kami merasakan atmosfer kompetisi debat ilmiah ialah di acara IUADC 1 yang
diselenggarakan UII beberapa bulan lalu. Alhamdulillah ketika itu kami nyaris
lolos ke babak selanjutnya. 8 tim dengan poin tertinggi berhak masuk ke babak
perempat final. Sayang kala itu kami hanya bercokol di posisi 9.
Beberapa hari sebelum
berangkat ke Jakarta saya berkata pada Syamil “Kita harus punya target, minimal
lebih baik dari sebelumnya, kalau kemarin gugur di babak penyisihan, kali ini,
andai kata gugur, ya jangan di babak penyisihan banget lah”.
Syamil juga berkata
“Bang, kita jangan jadi debaters tanpa mahkota”. Sebuah kalimat singkat namun
menghentak jiwa. Mungkin kalimat ini juga yang memacu kami untuk terus berjuang
maksimal dalam berdebat.
Alhamdulillah, meski kembali
gagal membawa mahkota kami bisa pulang dengan kepala lebih tegak dari
sebelumnya. Dari 24 peserta, kami berhasil menduduki posisi 7 dan berhak lolos
ke babak perempat final. Dan di babak perempat final itulah kami harus mengakui
keunggulan STAI Ar-Rayyah yang di ujung perhelatan keluar sebagai juara ke-2
debat ilmiah bahasa Arab.
![]() |
Muhammad Izzuddin (pembicara ke-2) tengah menyampaikan argumennya |
Saya sudah akrab dengan
kekalahan dan kemenangan. Akan tetapi bukan itu esensi utama dari sebuah
kompetisi. Kompetisi menempa kita untuk terus berusaha, memaksimalkan apa yang ada,
dan memiliki daya saing kuat untuk bertahan. Pengalaman demi pengalaman sangat
diperlukan untuk membentuk mental juara dan pengalaman itulah yang kami
dapatkan dari berbagai kompetisi yang telah kami ikuti. Belajar dari
pengalaman hari ini untuk menyusun target dan strategi yang lebih baik keesokan
harinya. Itulah indikator utama keberhasilan seseorang memanfaatkan
momentum yang tengah ia hadapi.
dari kiri ke kanan : Zamzam, Izzuddin, Syamil (debaters of UGM) |
Apakah kami sudah
memiliki target yang lebih besar untuk kompetisi selanjutnya? Tentu sudah.
Apakah kami telah memiliki strategi untuk mewujudkannya? Alhamdulillah sudah
dirancang. Apakah kami sudah memulainya? Belum, cong. Di kampus sebentar
lagi UAS, jadi mau nggak mau harus konsen ke sana dulu. Demi menyelematkan IP
agar tetap bertahan dalam koridor cumlaude. Hehe.
Nah, izinkan saya dalam
goresan kali ini menyampaikan 5 hujjah (alasan) mengapa debaters itu
pantas dijadikan menantu idaman. Berikut ulasan saya, cekidot....!!!
Debaters itu penuh percaya diri
Debat adalah sebuah
kompetisi yang sangat membutuhkan kepercayaan diri tingkat tinggi. Karena debat
bukan hanya bagaimana berbahasa dengan baik dan indah, tapi juga menyampaikan
pendapat, menjelaskan sebuah permasalahan dengan sistematis, bergulat dengan
data yang akurat, dan siap beradu argumen dengan lawan dalam tempo cepat.
Semuanya membutuhkan kepercayaan diri.
Calon mertua mana yang
tak mau punya calon menantu percaya diri? Hal ini mutlak direpresentasikan oleh
seorang debaters. Jika seorang debaters percaya diri dalam
berdebat, berbahasa, beradu argumen,dan mempertahankan pendapat, maka bukan tak
mungkin debaters hari ini kelak akan menjadi seorang menantu yang
percaya pada kemampuannya dan keluarganya untuk membangun rumah tangga
berkualitas dan berintegritas di kemudian hari.
Debaters itu setia dan berkomitmen
15 menit sebelum debat
dimulai ada sesi case building. Dalam sesi ini kedua tim yang akan
bertanding menentukan apakah mereka pro terhadap mosi yang diperdebatkan atau
kontra. Ketika mendapat pro maka mereka harus setia mendukung mosi tersebut,
pun sebaliknya. Sekalipun mosi tersebut bertentangan dengan hati nurani mereka.
Ini menandakan bahwa debaters itu setia pada komitmen mereka.
Nggak kebayang kan gimana
bahagia dan tenangnya dapat menantu debaters ? kesetiaan dan keteguhan
komitmennya sangat bisa dipertanggung jawabkan. Sungguh, laa raiba walaa
syakka fih.
Debaters itu berwawasan luas
Hujjah ini tak bermaksud
mendiskreditkan mereka, barisan homo sapiens yang tak termasuk debaters. Ini
sekedar pendapat dari penulis yang melihat sendiri kawan-kawan debaters dalam
berdebat. Mosi yang kami perdebatkan sangat beragam, mulai dari permasalahan
sosial, ekonomi, politik, pendidikan, hukum, hingga agama. Hal ini memaksa
barisan para debaters mau tidak mau harus banyak membaca, banyak
bertanya, dan banyak berfikir. Maka jangan heran jika ada mahasiswa Sastra Arab
yang paham permasalahan-permasalahan sosial-ekonomi wa akhawatuha. Itu
pasti debaters.
Maka kualitas debaters
mana lagi yang hendak kau dustakan? Yakin nggak mau menantu cerdas dan
berawasan luas?
Debaters itu kritis dan teliti.
Tak jarang dalam berdebat
emosi sering tersulut. Entah karena lawan yang nyolot atau kitanya saja yang
terpancing emosi. Debaters
profesional biasanya tahu akan hal ini dan telah menyiapkan mental
terlebih dahulu. Sehingga dalam berdebat mereka tegas namun juga sopan. Tegas
agar lawan gentar menghadapi mereka. Dan sopan dalam menyerang dan menjatuhkan
lawan. Saya selalu kagum pada debaters yang mampu menjatuhkan mental
lawan dengan penuh kesopanan.
Ini mengindikasikan bahwa
seorang debaters dalam ikhtiarnya mencapai suatu tujuan tak menghalalkan
segala cara. Baik buruk dipertimbangkan, pun dampak dan akibatnya selalu
diperhitungkan. Inilah bukti bahwa debaters itu teliti dan kritis.
Sebuah sikap yang sangat diperlukan seorang menantu dalam membawa bahtera rumah
tangganya ke arah kebahagiaan.
Setiap ada permasalahan
tak serta merta menanggapi dengan emosi, namun ia akan berfikir dengan kritis
dan mencari tahu akar permasalahannya. Kemudian dengan penuh ketelitian
berusaha mencari jalan keluar terbaik untuk banyak pihak. Nyaris sempurna sudah
5 hujjah di atas sebagai taukid (penguat) bahwa debaters memang
benar-benar calon menantu idaman.
Ulasan saya tentang debat
bahasa Arab bisa disimak di chanel yutub saya. Klik di sini ya, terima kasih
^_^.
Wallahu a’lam ^_^
Jogjakarta,
04 Desember 2016
14:37 WIB
Muhammad
Izzuddin
Komentar
Posting Komentar