Gelisah Itu Sehat
![]() |
sumber : Google Images |
Ketika membaca novel
karya Jostein Gaarder, “Dunia Shopie”, yang membahas tentang Kerkegaard,
seorang filosof Denmark, saya teringat petikan diskusi dengan Abah Husni, saksi
ahli dalam kasus Ahok beberapa waktu lalu. Kerkegaard berujar “kegelisahan itu
nyaris positif. Itu adalah ungkapan dari kenyataan bahwa individu tersebut
berada pada “situasi eksistensial”, dan kini dapat memilih untuk membuat lompatan
besar menuju tahap yang lebih tinggi.
Ya, ketika itu Abah Husni
memantik kami untuk berfikir “Sebenarnya lebih baik gelisah atau tenang?”
kurang lebih begitu. Oiya ding saya rasa perlu untuk menjelaskan asbab
(penyebab) mengapa Abah melontarkan pertanyaan tersebut. Saya ingat betul
ketika itu peserta yang hadir untuk diskusi masih sedikit. Hanya 3 orang, 4
bersama Abah.
Abah terus memberikan
elaborasi, menjelaskan apa sih gelisah itu dan penyebab mengapa orang bisa
gelisah. Yang saya kagumi dari Abah adalah apa yang beliau utarakan selalu
ilmiah. Dalam konteks saat itu jelas kegelisahan yang kami maksudkan adalah
kegelisahan intelektual. Banyak yang malas berdiskusi, enggan baca buku, dan
tidak tertarik terhadap ilmu. Kira-kira penyebabnya apa? Rasanya malas akan
menjadi jawaban mayoritas. Tapi bukan kah malas masih memiliki penyebab lain?
Jas merah! Jangan melupakan
sejarah! Mari kita ikuti nasihat bapak proklamator yang satu ini. Saya sangat
kagum dengan perjuangan para pahlawan untuk merebut kemerdekaan. Pasalnya mereka
hanya berjuang bermodalkan bambu runcing dan juga semangat juang. Semangat juang
yang tak kalah runcing dari bambu di tangan. Tidak ada rasa gentar meski yang
mereka hadapi meriam belina. Eh meriam perang maksud saya.
Kira-kira apa yang
memantik semangat mereka berkobar sedemikian hebat, Sodara-sodara? Menurut salah
seorang aktivis saat diri ini mengikuti Training of Trainer beberapa
tahun lalu ialah “kegelisahan”. Para pahlawan dulu memiliki rasa gelisah jika
terus-terusan terjajah. Mereka gelisah jika anak cucu mereka hidup dalam
kondisi terjajah karena mereka tahu sengsara dan kerugian dijajah itu seperti
apa.
Beruntungnya kegelisahan
itu mereka sikapi dengan cara yang tepat ; melawan. Bayangkan seandainya saat
itu sudah ada sosmed seperti hari ini dan beliau-beliau itu hanya mencurahkan
kegelisahan melalui status-status di media sosial. Bukan tidak mungkin hari ini
kita belum merdeka.
“Jadi sebenarnya yang
bikin sehat itu gelisah atau tenang?”
Orang yang tenang
biasanya bakalan anteng-anteng (santai-santai, tidak mempermasalahkan)
saja dengan apa yang mereka hadapi. Sebaliknya orang gelisah kerap menampakkan
kegelisahannya dengan bergerak tidak karuan. Dari gejala yang ditimbulkan kita
sudah bisa memahami adanya perbedaan yang cukup mencolok dari dua hal berbeda
ini.
Selanjutnya apa yang
menyebabkan seseorang bersikap tenang dan gelisah? Esok hari Anda akan ujian. Sejak
berbulan-bulan lalu Anda sudah mempersiapkan semua kisi-kisi yang diberikan
oleh guru yang memberi ujian tersebut. Ratusan soal sudah Anda coba dan banyak
try out sudah Anda lakukan. Hasilnya sangat memuaskan. Anda pun percaya diri
menghadapi ujian itu. Pertanyaannya, apakah dalam kondisi tersebut Anda akan
tenang? Saya yakin iya.
Sekarang bayangkan
ilustrasi di atas berbeda 180 derajat. Apakah Anda bisa tenang menghadapi ujian
besok? Kalau iya maka Anda begitu “ter...la....lu”. tapi jika tidak saya
ucapkan selamat, paling tidak hati dan moral Anda masih berfungsi dengan baik. Dengan
kondisi tersebut saya jamin Anda pasti gelisah, galau, bahkan putus asa. Kenapa?
Karena Anda merasa tidak siap. Karena Anda merasa tidak mampu menghadapi ujian.
Begitulah kegelisahan,
sebagaimana yang dikatakan Kierkegaard, gelisah muncul karena seseorang itu
sadar bahwa ia berada di posisi yang salah, keliru, atau merasa diri belum
memiliki kemampuan dan ketidak-mampuan tersebut berdampak sistemik dan periodik
bagi dirinya. Kegelisahan lahir dari kesadaran internal.
Nah, lantas apakah semua
kegelisahan itu menyehatkan? Tentu tidak semua. Kegelisahan dapat saya
klasifikasikan menjadi 3 kategori; Kegelisahan positif, kegelisahan negatif,
dan kegelisahan mubazir.
Kegelisahan positif ialah
kala kegelisahan yang mendera disikapi dengan bertindak dewasa. Mencoba berbagai
langkah untuk menghilangkan kegelisahan itu. Bahkan merubah kegelisahan menjadi
suatu titik balik untuk meningkatkan kualitas diri. Kegelisahan positif biasa
diawali dengan kontemplasi oleh yang bersangkutan dan adanya evaluasi
menyeluruh yang dilakukan sendiri atau meminta bantuan orang lain. Setelah itu
ia menentukan langkah apa yang diambil untuk menyikapi kegelisahan yang
menyelimuti.
Sedangkan kegelisahan
negatif adalah kegelisahan yang disikapi dengan sikap pasrah dan menyerah. Orang
yang tergolong dalam kategori ini biasanya memiliki semangat fluktuatif
cenderung mengkhawatirkan. Ia orang yang teramat senang di zona nyaman. Sehingga
mager untuk beranjak dan merubah diri. Biasanya orang jenis akan mendoktrin
diri “badai pasti berlalu”. Kegelisahan adalah badai, maka kegelisahan pun
pasti akan berlalu. Masih banyak hal lain yang lebih membahagiakan dari pada
larut dalam kegelisahan.
Adapun kegelisahan
mubazir adalah kegelisahan yang tidak perlu digelisahkan. Gelisah nanti malam
bakalan hujan, lah ini kan nggak perlu. Karena hujan atau nggak hujan toh bukan
kuasa kita. Jadi untuk apa digelisahkan? Pun juga gelisah menjadi tua atau
ubanan. Kita nggak selamanya muda, iya kan? Jika umur panjang maka tua itu adalah
kepastian, so buat apa digelisahkan?
Hal yang masuk akal untuk
digelisahkan adalah apa saja yang berada dalam ranah kuasa kita. Dalam artian
apakah kita bisa mengusahakannya atau tidak. Bisa mengubahnya atau malah kita yang diubah
olehnya.
Kembali ke awal, kala itu
Abah berhipotesa bahwa generasi hari ini banyak yang tidak memiliki kegelisahan
intelektual. Mereka nggak gelisah kalau tidak memiliki ilmu. Mereka tidak
gelisah jika tak paham teori-teori dalam perkuliahan. Mereka disibukkan dengan mengais
materi, mencari reputasi, dan mempertahankan eksistensi. Mereka abai bahwa ilmu
adalah aspek yang amat penting untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan
hidup.
Lantas kok bisa
kegelisahan bisa bikin sehat? Ya bisa lah! Asalkan kegelisahan yang Anda rasakan
disikapi dengan positif. Gelisah miskin akan mendorong Anda untuk terus
berusaha dan bekerja. Gelisah bodoh akan membuat kita belajar terus-terusan. Gelisah
tak mendapat jodoh akan memotivasi kita untuk meningkatkan kualitas diri agar
dipertimbangkan sebagai calon menantu yang potensial oleh orang-orang. Kegelisahan
yang memantik diri kita untuk terus “bergerak”, “berfikir”, dan “bertindak”,
itulah kegelisahan yang menyehatkan.
Maka, melalui goresan ini
izinkan saya mengajak kita semua untuk menanamkan rasa gelisah dalam diri. Kita
harus gelisah jika kelak tak punya ilmu banyak. Kita harus gelisah jika
pengetahuan yang kita miliki teramat sedikit. Harusnya kita gelisah jika keterampilan
yang kita kuasai minim. Harusnya kita gelisah dengan masa depan jika hari ini
kita masih nyaman dengan mager dan bercumbu dengan gabut.
Percayalah! Jika kegelisahan
itu kita sikapi dengan positif niscaya kebaikan demi kebaikan akan terus
terlahir dari jengkal proses yang kita tapaki. Insya Allah
Lombok, 25
Desember 2016
21:31 WITA
Muhammad
Izzuddin
Komentar
Posting Komentar