Moratorium UN ; Berkah untuk Semua?

sumber : Google Images

Beberapa waktu lalu saya membaca berita di sebuah portal online bahwa pemerintah siap menghapuskan UN. Adapun ujian pengganti UN diberi nama USBN singkatan dari Ujian Sekolah Berstandar Nasional. Konon USBN sudah siap 70% diterapkan secara menyeluruh.
Tidak ada perbedaan mencolok antara UN dan USBN. Siswa masih harus berkutat dengan soal-soal, menunggu pengumuman beberapa bulan, baru kemudian mendapatkan ijazah. Hanya saja USBN lebih merepresentasikan desentralisasi pendidikan. Jika soal-soal UN diolah di pusat (kemendikbud), USBN sendiri diserahkan kepada guru-guru yang ada di daerah meskipun kisi-kisinya tetap bersumber dari Kemendikbud.
Perbedaan selanjutnya juga terdapat pada mata pelajaran yang diujikan. Jika UN hanya mengujikan beberapa mata pelajaran, lain halnya dengan USBN, semua mata pelajaran diujikan dan standar penilaiannya pun sama.
Menurut rencana USBN akan mulai diberlakukan 2017 mendatang. Pro dan kontra sudah bermunculan. Namun sebagian besar pihak mendukung langkah Mendikbud ini sebagai gebrakan merekonstruksi sistem evaluasi akhir pendidikan menengah yang “munafik” itu.
Kebijakan moratorium UN juga akan berdampak baik bagi APBN. Paling tidak anggaran untuk penyelenggaran evaluasi akhir pendidikan menengah se-Indonesia itu bisa dikurangi. Tidak ada anggaran untuk distribusi soal, membayar pihak keamanan untuk mengawal dan memastikan keamanan “dokumen negara” yang (konon) bersifat “sangat rahasia” itu, dan pastinya biaya percetakan soal yang kesemuanya tak bisa dikatakan sedikit.
Moratorium UN juga dapat meminimalisir kebocoran soal dan kunci jawaban. Karena antara satu daerah dan daerah lain soal-soalnya pasti berbeda. Jelas ini warning bagi para calo kunci jawaban, mereka harus mencari celah lain dalam mengais rezeki haramnya atau memutuskan banting setir dan beralih profesi menjadi pedagang tahu bulat digoreng dadakan lima ratusan gurih-gurih nyoi yang masih booming itu.
Di sisi yang lain, saya yakin, bahkan haqqul yakin, kebijakan pak menteri yang menggantikan Bapak Anies Baswedan ini akan berdampak baik bagi bimbel-bimbel dan para mentor yang bekerja di dalamnya. Tak ada lagi celah lulus dengan membeli jawaban, mereka harus giat belajar. Mereka membutuhkan guru yang tak hanya bisa memberi materi di jam formal, namun juga di luar itu. Berterima kasihlah wahai para pemilik bimbel. Semoga income yang meningkat berbanding lurus dengan peningkatan kinerja kalian.
Lalu, bagi siswa yang notabene menjadi pelaku utama dalam drama UN/USBN itu sendiri, apakah berdampak positif atau negatif? Jawabannya tergantung dari sudut mana, perspektif apa, dan konteks seperti apa yang kita gunakan untuk ber-statement. Saya rasa sebagian siswa dilema menghadapi perubahan UN menjadi USBN. Di satu sisi mereka bersyukur UN dihapuskan, tak ada lagi momok menakutkan lantaran lembar jawaban diperiksa komputer. Namun di sisi lain mereka juga merana, karena ternyata komponen yang diujikan dalam USBN lebih banyak dari UN.
Mungkin jawaban yang paling bijak Cuma satu ; “ujian itu bukan untuk dikeluhkan tapi dihadapi dan ditaklukkan”. Super sekali bukan?  All right. Tepuk tangan untuk saya.
Nah, ada satu spesies homo sapiens yang diam-diam berharap banyak dengan diberlakukannya moratorium UN ini. Spesies itu bernama homo fakir-asmaraesis atau dalam konteks kekinian familiar dengan istilah ilmiah “jomblo”. Spesies ini bukan anti atau alergi UN. Sebagai warga negara yang baik banyak diantara mereka yang telah dan akan menghadapinya. Hanya saja, sebagai spesies yang rentan baper, homo fakir-asmaraesis ini kerap “mangkel” dengan UN. Bagaimana tidak, banyak diantara mereka yang dengan hati tercabik-cabik harus mendengar kalimat pahit;
“Maaf, mas. Aku nggak bisa terima kamu. Aku mau fokus UN dulu”
Meskipun setelah UN kalimat itu akan berubah menjadi “Maaf, mas. Aku mau fokus SBMPTN dulu”. Bertahun kemudian tambah berkembang menjadi “Maaf, mas. Aku mau konsen skripsian dulu”. Hingga akhirnya kalimat pamungkas pun keluar “Maaf, mas. Aku nggak bisa nerima kamu. Kamu jelek!”.
Ya, UN kerap kali digunakan oleh wanita sebagai kambing hitam untuk menolak cinta pria yang tak ia sukai. Nah, ketika UN sudah dihapuskan mereka tentu tak bisa bilang “mau fokus UN dulu”, wong UN sudah almarhum kok.
“Lah, bang. Tapi kan masih ada USBN”
Nah itu dia masalahnya. Bukan tidak mungkin USBN akan bernasib sama dengan UN di kalangan fakir asmara. USBN akan menjadi kambing hitam dan alibi penolakan tatkala kalian menyatakan cinta. Tak ada yang bisa kalian perbuat kecuali bersabar dan terus bertawakkal pada Allah Yang Maha Mencinta.
Bersabarlah wahai fakir asmara, kesendirian pasti kan berlalu. Nggak usah ngebet. Bersyukur saja dengan apa yang hari ini kau miliki ^_^.
Melalui tulisan ini saya haturkan dua jempol untuk Pak Menteri Muhadjir atas gebrakannya. semoga USBN lebih baik, bermartabat, dan berintegritas dari UN. Amiin.
Wallahu a’lam.

Jogjakarta, 05 Desember 2016
17:18 WIB


Muhammad Izzuddin

Komentar

Postingan Populer