"Alibi" Antara Pembenaran dan Kebenaran



Kemarin saya menulis goresan yang menyentil mas AHY. Tulisan itu saya beri judul “Beberapa Alibi AHY Tidak Datang Debat” (versi blog). Kemudian tulisan itu saya letakkan pula di akun kompasiana yang saya miliki. Tapi sebelum tulisan itu saya unggah diri ini membathin “Betul po alibi berarti alasan ?”.
Karena saya adalah tipe manusia yang ndak bisa penasaran maka serta merta saya bertanya pada kamus. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), alibi ialah bukti bahwa seseorang ada di tempat lain ketika peristiwa pidana terjadi (tidak berada di tempat kejadian).
Hayoo... ini kamus lo yang ngomong bukan Kang Sule atau Vicky Prasetyo. Maka definisi kamus mana lagi yang hendak kau dustakan?

Penulis bersama salah seorang kawan, Andri Sansisco saat tampil menghibur penonton

Kali pertama saya mendengar kata alibi ialah ketika salah satu komika nasional asal Kupang NTT, Abdur membawakan materinya di SUCI 4 KOMPAS TV. Kurang lebih ketika itu Abdur menjelaskan bahwa program KB tidak kontekstual dengan kondisi geografis di daerah timur. Bagaimana bisa banyak pekerjaan hanya dilakukan oleh 2 orang anak? Karena itu si Bapak memiliki banyak “alibi” untuk mengajak istrinya memproduksi anak.
“Eh, mama, ayo kita bikin anak, yang potong rumput belum ada”
Akhirnya si anak yang ditugasi memotong rumput lahir.
“Eh, mama, ayo kita bikin anak, yang ambil air belum ada”
Anak yang bertugas mengambil air pun lahir.
“Eh, mama, ayo kita bikin anak lagi”
Kali ini si mama protes.
“Eh, anak kan sudah dua, buat apa bikin lagi?”
“Yang jaga ternak belum ada” sergah si bapak.
Akhirnya ketika anak yang hendak ditugasi menjaga ternak lahir mereka baru sadar bahwa mereka tidak punya hewan ternak.
Ketika itu Abdur menggunakan kata alibi yang oleh saya, dan mungkin juga kebanyakan orang lain, memahaminya sebagai “alasan”. Selanjutnya di banyak kesempatan tak jarang saya membaca atau pun mendengar orang-orang menggunakan kata “alibi” sebagai pengganti kata “alasan”.
Apakah ini sebuah kesalahan penggunaan bahasa? Jika merujuk pada definisi yang tercantum dalam KBBI maka hal ini merupakan sebuah kesalahan. Untuk lebih meyakinkan dan memantapkan lagi mari kita cek di kamus versi Bahasa Inggris, hmm, pilih kamus apa ya, oxford aja dulu, kuy kita lihat.
alibi = a claim or piece of evidence that one was elsewhere when an act, typically a criminal one , is alleged to have taken place (sebuah pernyataan atau bukti bahwa seseorang berada di tempat lain ketika suatu tindakan, biasanya kriminal, diduga terjadi).
Nah, ketahuan kan ternyata alibi itu bahasa serapan dari bahasanya Wayne Rooney. Tapi mengapa kok oleh kebanyakan kita alibi justru digunakan tidak pada makna yang sebenarnya? Menilik dua definisi dari dua kamus di atas kita bisa menyimpulkan bahwa alibi adalah kosa kata dalam dunia hukum. Mirip dengan pleidoi(pembelaan). Pleidoi sendiri kerap digunakan tidak dalam konteks dunia hukum, akan tetapi, sejauh yang saya perhatikan penggunaan kata pleidoi pada konteks yang bukan hukum tidak terlalu menyimpang dari pengertian atau makna dasarnya.
Nah, teman-teman yang berbahagia, kenapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya singkat saja ; karena kita merasa itulah yang benar. Kita meyakini bahwa alibi berarti alasan. Padahal bukan seperti itu kebenaran yang sesungguhnya. Inilah pembenaran yang telah mewabah cukup luas. Sering kali “pembenaran” yang diyakini dan dilakukan membuat orang-orang abai dengan “kebenaran” yang sesungguhnya.
Tapi, mari kita ber-husnudzon dan bila perlu ber-fadhlizon terhadap sesama. Mungkin saja mereka yang masih setia menggunakan kata “alibi” sebagai pengganti kata “alasan” belum mengetahui definisi yang sesungguhnya dari kosa kata tersebut. Kita berharap setelah mereka mengetahui makna yang sesugguhnya, kesalahan berbahasa yang sudah mewabah ini bisa diperbaiki perlahan-lahan.
Sekarang mari tinggalkan sejenak konteks kebahasaan di atas dan berseluncur di konteks yang lain. Dalam kehidupan sosial ternyata banyak kasus di mana “pembenaran” lebih superior dari “kebenaran”.  Misalnya dalam konteks keamanan berkendara roda dua. Banyak pengendara yang “ogah” menggunakan helm dengan beragam alasan. Pernahkah Anda mendapatkan atau justru melontarkan pertanyaan seperti ini ; “Ngapain pakai helm? Toh juga nggak ada polisi”. Jika pernah mari anggukkan kepala. Tenang!! saya juga mengangguk kok.
Keengganan menggunakan helm adalah pembenaran untuk menolak kewajiban menggunakan helm sebagai sebuah kebenaran. Jika kita lebih mengutamakan kebenaran maka percayalah, ada nggak ada polisi helm akan selalu setia melindungi kepala. Beda kalau pembenaran yang kita yakini lebih dominan.
Dalam konteks dunia pendidikan khususnya saat ujian, terdapat dua fenomena; kejujuran dan kongkalikong yang terepresentasikan dalam liturgi contek-mencontek (eh, yang benar mencontek atau menyontek ya?). Pada konteks seperti ini tentu sangat jelas “kejujuran” adalah kebenaran dan “menyontek” adalah larangan yang kemudian berevolusi menjadi sebuah pembenaran yang kerap diaplikasikan oleh sebagian peserta didik.
Sedangkan dalam konteks agama pembenaran kerap muncul dalam permasalahan syari’at. Nah, di sini kita harus lebih hati-hati lagi. Memang benar beragama itu gampang, yang penting ada kemauan dan kehendak, akan tetapi kita tak sepatutnya memudahkan segala urusan agama apalagi yang hukumnya sudah fardhu ‘ain. Dan kebetulan di sini azan magrib sudah berkumandang, saya ndak mau menjadikan aktifitas menulis sebagai pembenaran untuk menolak solat di awal waktu yang notabene adalah kebenaran dari Yang Maha Benar. Hehe. Ya wes, sampai jumpa di goresan selanjutnya. Terima kasih sudah membaca.
Wallahu a’lam.

Jogjakarta, 18 Desember 2016
18:09 WIB

Muhammad Izzuddin

Komentar

  1. memang banyak di indonesia asal berbicara tanpa data .kamu iz harus banyak baca biar vbanyak datanya dan datanya diolah dan kemas dengan baik agtar enak dibaca

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer