jalan tengah sunni-wahabi
Prof. Dr.
Quraish Shihab ketika memberikan kata pengantar dalam sebuah buku terjemahan gubahan
mufti mesir Prof Dr. Ali jum’ah mengatakan salah satu ciri ajaran islam ialah moderasi
( washatiyah ). Atau dalam bahasa sehari-hari kita “ pertengahan “. Beliau mengatakan
demikian berdasarkan firman Allah berikut :
ﭽ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭼ
Dan demikianlah
kami telah menjadikan kamu ( umat islam ), ummatan washatan ( umat pertengahan,
moderat, dan teladan ) supaya kamu menjadi saksi atas ( perbuatan )manusia dan
supaya Rasul ( nabi Muhammad SAW ) menjadi saksi atas perbuatan kamu (
Al-Baqarah[2]:143)
Kata washath
pada ayat tersebut memiliki makna tengah dan baik. Ada hubungan antara dua
makna ini. Sering kali sesuatu yang baik itu digambarkan berada di
tengah-tengah atau pertengahan. Kedermawanaan merupakan pertengahan antara boros
dan kikir, kesucian pertengahan antara dorongan nafsu yang menggebu dan
impotensi, keberanian seyogyanya pertengahan antara sifat ceroboh dan takut.
Ummat islam
adalah ummat yang moderat. Makna harfiah moderat berarti pertengahan. Karena itulah
orang yang menengahi sebuah diskusi atau seminar disebut moderator. Maka ummat
islam yang baik ialah umat islam yang tidak menyepelakan ajaran islam dan tidak
pula terlalu ekstrem ( berlebihan ) dalam menjalankan ajaran agama.
Tidak peduli
akan halal-haram, mengabaikan kewajiban, melailaikan diri dari tugas sebagai
hamba tentu adalah prilaku menyepelekan ajaran islam yang agung. Sebaliknya terlalu
berlebihan dalam beragama akan mendatangkan mudharat, yang halal jadi haram
yang haram jadi halal, sedikit-sedikit menuduh orang lain yang tidak sejalan
dengannya bid’ah bahkan kafir.
Tidak heran
karena dalam segala aktifitas yang dikategorikan “ berlebihan” kebanyakan
bahkan hampir pasti selalu terlandasi nafsu yang terlalu menggebu. Contohnya,
berlebihan makan dilandasi karena nafsu makan yang tinggi, berlebihan dalam
beribadah, sholat terus, zikir tanpa henti namun mengabaikan tugas sebagai
manusia sosial yang harus berhablum minannas juga dikarenakan dorongan nafsu
yang terlalu berlebihan dalam menyikapi ajaran agama. Maka saya rasa kita harus
sepakat bahwa sebaik-baik perkara adalah pertengahannya. Khairul umur
aushatuha.
Beberapa tahun
terakhir ini muncul sebuah kelompok baru dalam islam. Namun mereka tetap adalah
saudara kita selama kita satu tuhan satu nabi dan satu kitab suci. Kelompok tersebut
menamakan dirinya sebagai kelompok yang memperjuangkan sunnah nabi. Sehingga
apa yang tidak ada pada zaman nabi dikatakan bid’ah dolalah yang dimana muara
dari bid’ah dolalah ini ialah fi an-naar ( di api neraka ). Mereka masyhur kita
kenal dengan sebutan kaum wahabi. Semoga mereka selalu dalam lindungan dan
bimbingan Allah SWT.
Islam indonesia
yang kebanyakan berafiliasi pada aliran sunni alias ahlussunnah wal jama’ah
menjadi obyek tuduhan yang dilancarkan wahabi. Tabarukan ke makam orang soleh
tidak boleh, maulid nabi bid’ah, talqin mayyit tidak ada gunanya dan lain
sebagainya. Seyogyanya kalau kita perhatikan sebenarnya perbedaan antara kita (
sunni ) dengan mereka ( kaum sunnah alias wahabi ) hanya berorientasi pada
perkara-perkara parsial, bukan perkara-perkara fundamental dalam islam.
Hanya saja
kenapa atmosfer perdebatan antara sunni dan wahabi akhir-akhir terasa hangat
bahkan cendrung panas ? bukan bermaksud menyalahkan tapi setahu saya di beberapa
tempat seperti lombok dan sebagian jawa, semuanya dikarenakan satu sama lain
saling menyalahkan. Kelompok Yang tidak melaksanakan maulid mengata-ngatai kelompok
yang melaksanakan maulid. Yang biasa ziarah tabarukan ke makam para wali
dikatakan kafir oleh mereka yang berpendapat berbeda. Jadi sangat manusiawi
jika orang-orang yang melaksanakan maulid tersinggung dengan apa yang
dituduhkan oleh kaum wahabi.
Kenapa saya
mengatakan sangat manusiawi ? karena orientasi tuduhan dari kelompok wahabi
tersebut menyerang sistem keyakinan yang terpatri dalam hati mayoritas muslim
Indonesia. ketika keyakinan diganggu maka kita akan merasa sangat tersinggung
dan cenderung akan mempertahankan mati-matian keyakinan yang kita yakini
kebenarannya. Jadi saya tidak heran kenapa perdebatan sunni-wahabi menjadi
panas akhir-akhir ini, karena satu sama lain saling mempermasalahkan keyakinan
mereka. Bagaimana rasanya ketika kita asyik dan khusu’ menyemarakkan maulid
tapi ada orang-orang yang menuduh kita bid’ah dolalah dengan lantangnya ? niat
sudah begitu baik bersyukur atas nikmat Allah dan mengingat rasulullah SAW tapi
malah dikatai bid’ah. Sakitnya tuh di sini ( nunjuk hati ).
Mungkin fenomena
yang terjadi dewasa ini juga merupakan salah satu ciri kiamat akan segera
menjelang. Dimana ummat islam akan terpecah menjadi berbagai macam sekte (
kelompok ). Lantas apakah tidak ada jalan keluar agar sunni-wahabi tidak terlalu
panas seperti ini? Setiap masalah ada jalan keluarnya. Tidak adil rasanya jika
saya menghadirkan tulisan yang menjurus kritik ini tanpa menghadirkan
solusinya.
Diakhir
tulisan ini saya ingin mengutip tips dari guru saya. TGH. Zuhdi, Lc. Syaikh kami
yang begitu enerjik dan totalitas dalam penyampaian beliau :-). Beliau mengatakan salah satu jalan tengah
yang bisa diambil oleh sunni dan wahabi adalah tidak saling mengganggu
keyakinan yang lain. Wahabi meyakini maulid itu bid’ah maka jangan melakukan
maulid dan jangan pula mengusik keyakinan saudara mereka yang melaksanakan
maulid. Begitupun sebaliknya. Jika keyakinan tersakiti maka rasa tersinggung
sakit hati dan mati-matian mempertahankan keyakinan adalah efek normal yang
akan timbul.
Namun mungkin
saudara kita yang wahabi mengatakan ingin menghilangkan bid’ah di muka bumi
makanya mereka gencar membid’ahkan orang-orang yang mereka anggap bid’ah. Sekali
lagi saya tekankan, perdebatan yang terjadi dewasa ini hanya mempermasalakan
perkara-perkara parsial (cabang) bukan fundamental. Hakikatnya tuhan kita
sama-sama Allah, nabi kita Muhammad SAW, kitab suci kita alqur’an, kita percaya
adanya hari kiamat, percaya adanya malaikat dll. Keyakinan fundamental kita
sama satupun tidak ada yang berbeda. Perbedaan dalam menyikapi perkara-perkara far’iyah
dalam agama muncul karena perbedaan perspektif, pola pikir, dan keyakinan. Lanaa
a’maluna wa lakum a’malukum ( bagi kami apa yang kami kerjakan, bagi kalian apa
yang kalian kerjakan ). Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar