Sepenggal Cerita



Beberapa tahun yang lalu, ketika itu rumahku tiba-tiba saja didatangi oleh 3 orang berperawakan seperti preman. Padahal sebelumnya aku sama sekali tak pernah melihat preman secara langsung. Aku tak tahu mereka siapa, namun logikaku yang ketika itu masih berusia sekitar 11 tahun berasumsi bahwa mereka adalah orang jahat, suka dengan kekerasan dan gemar berbicara dengan nada yang lantang seperti orang kesetanan. Mungkin aku berfikir seperti demikian karena pengaruh sinteron-sinetron di televisi yang hampir tiap malam aku saksikan.
3 orang itu mencari ayahku. Konon mereka adalah keluarga dari seorang santri yang bernama Rafi. Beberapa hari yang lalu Rafi memiliki kasus di pondok. Ia kedapatan merokok. Itu  merupakan salah satu kesalahan besar menurut tata tertib pondok dan asrama. Ketika itu saking marahnya, ayahku yang menjadi pembina asrama Rafi tak bisa mengontrol emosi sehingga memberikan hukuman fisik kepada Rafi. Aku tak tahu ayah salah melakukan itu atau tidak akan tetapi Rafi sudah kesekian kalinya kedapatan menghisap batangan rokok di lingkungan pondok. Nasihat melalui lisan sudah sering kali diberikan, pun juga dengan penanda tanganan surat perjanjian namun itu semua tak jua memberikan efek jera pada Rafi.
Ayahpun menyuruh Rafi pulang untuk memanggil orang tuanya supaya menghadap kepada ayah. Tujuan ayah baik, agar mereka bisa berbicara dengan baik dan bekerja sama supaya Rafi bisa berubah menjadi baik tidak nakal lagi. Rafi pun pulang dan berselang sehari datanglah 3 orang berperawakan preman itu. Mereka tak mau masuk ke dalam rumah meskipun sudah dipersilahkan. Mereka hanya menunggu kedatangan ayahku yang masih mengajar di dalam kelas.
Kira-kira 15 menit kemudian ayahpun keluar dari kelas. Di tangan kanan beliau masih tergenggam buku dan kitab. Beliau berjalan dengan tenang menghampiri tiga tamunya itu. Berbeda dengan salah seorang dari tiga tamu tersebut. Nampak ia mengepalkan tanggannya, mukanya memerah padam, ia seperti orang marah. Ah bukan seperti marah lagi tapi dia memang benar-benar sedang marah. Ketika ayah mendekat ia pun maju ke hadapan ayah sembari mengatakan
“ anda kah yang menghukum rafi ? ”
“ iya, saya yang menghukum rafi ” jawab ayah
“ kenapa bapak menghukum rafi haah ? ” ia berkata setengah berteriak sembari mencoba memukul ayah namun untungnya dua orang yang ada di sampingnya menahannya. Terjadilah negosiasi ketika itu. Aku yang masih kecil hanya bisa ketakutan dalam diam. Aku tak berani berkata apa-apa, dalam hati aku berkomat-kamit berdoa agar tak terjadi sesuatu yang buruk pada ayah dan tempat ini. Ingin rasanya aku menangis tapi aku malu, karena aku lelaki. Dan malu juga menangis di lihat oleh banyak orang. Aku berlagak sok tegar dan tenang padahal dalam hatiku sangat kontras dengan apa yang ditunjukkan oleh fisikku. Aku tak tahu aku berbakat jadi artis atau tidak. Biarlah waktu yang akan menjawabnya nanti.
Singkat cerita 3 orang itu dan ayah pun berbicara di dalam rumah. Dari luar aku bisa mendengar dengan jelas suara teriakan-teriakan. Orang yang tadi hendak memukul ayah masih saja emosinya belum sulut. Beberapa santri pun menyaksikan dari kejauhan perdebatan antara ayah dan keluarga Rafi itu. Aku hanya berharap semoga ada jalan keluar dari masalah ini yang tidak merugikan siapapun dan tidak membuat aku takut lagi.
Setelah 20 menitan berteriak-teriak non stop akhirnya orang itu pun bungkam juga. Entah karena memang emosinya sudah mereda atau ia kelelahan teriak-teriak laksana juru kampanye calon legislatif yang sedang berorasi tak jelas. Aku berharap semoga ini sinyal baik terhadap permasalahan yang tengah terjadi di depan mataku,  yang terdengar di telingaku, dan terasa dalam hatiku. Semoga saja.
Tak berselang lama, 3 orang itu didampingi ayah keluar dari dalam rumah. Orang itu terlihat sedikit lebih tampan dibandingkan ketika dia marah tadi. Namun tampannya sedikit kok, berarti kalau tampannya sedikit lebih banyak tidak tampannya dong ya ? :) ayah mengantar mereka sampai depan gerbang. Terlihat  mereka bersalaman dan salah satu diantara mereka aku dengar memohon maaf pada ayah. Ah syukurlah. Kejadian di hadapanku itu sudah cukup membuatku mengelus dada. Aku tenang. insyaAllah masalah ini tidak akan jadi panjang. Segera aku berlari ke dalam rumah mengambil air putih. Konon kalau hati sedang terkejut, orangtua-orangtua di kampungku menyarankan banyak-banyak minum air putih. Aku ketika itu masih kecil bin awam banget. Jadi sami’na wa atho’na sajalah. Tak sadar dua gelas air putih habis ku telan. Segar rasanya. Alhamdulillah..

=(  )=

Apa yang sebenarnya terjadi ? kenapa 3 orang itu begitu dahsyat emosinya pada ayah ? kalau alasannya karena ayah menghukum Rafi aku rasa banyak juga santri lain yang sudah dihukum seperti itu oleh ayah. Pertanyaan ini terus menjadi teka-teki dalam sanubariku. Ingin aku bertanya pada ayah langsung  tapi pasti hasilnya akan nihil. Aku dianggap masih dibawah umur untuk mengetahui permasalahan seperti itu. Tapi memang benar sih aku masih dibawah umur juga.
Lambat laun akhirnya waktu dan keadaan pun mengizinkanku mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ketika Rafi disuruh pulang memanggil orangtuanya. Rafi ternyata mengatakan bahwa ayahku menantang orangtuanya. masyaAllah! Padahal ayah sama sekali tidak pernah mengatakan demikian. Inikah yang dinamakan fitnah ? kepalaku hanya bisa menggeleng-geleng tak habis pikir sampai hatinya Rafi memfitnah gurunya sendiri. Aku begini bukan bermaksud membela ayahku namun itulah yang aku ketahui.
Rafi memutuskan pindah sekolah. Dari cerita yang aku dengar ia begitu bahagia bisa keluar dari pondok ini. Ya, bagi sebagian kecil santri  pondok merupakan penjara dunia. Tak bebas, selalu dikekang, banyak kegiatan, kalau melanggar dapat hukuman. Sungguh benar-benar penjara bagi sebagian kecil orang. Namun bagi orang-orang yang menyadari proses dari sebuah kesuksesan maka pondok adalah tempat yang paling tepat untuk menggali ilmu dan menempa mental.

=( )=

Sudah 7 tahun berlalu dari kejadian ini. Beberapa bulan yang lalu aku mendapat kabar bahwa Rafi sekarang kerjaannya hanya menjadi penabuh gendang ale-ale ( salah satu perangkat musik kesenian lombok ). Jika dulu di pondok ia hanya kedapatan merokok sekarang aku dengar kabar ia sangat rajin mabuk-mabukan. Aku tak tahu cerita ini shahih ataukah dhaif. Jika Shohih maka aku bisa mengambil pelajaran bahwa jika keburukan yang kita tanam, maka beribu keburukan yang akan kita tuai. Jika cerita yang kudengar itu dhaif maka aku bersyukur ia tidak terlalu terjerumus ke dalam lembah kenistaan duniawi. Semoga saja ia mendapat hidayah dari Allah SWT.
Aku sebenarnya tidak ingin mengingat kembali keburukan seseorang yang pernah ia lakukan. Tapi masalahnya, beberapa hari yang lalu seorang sahabat wanitaku berkonsultasi padaku. Ia hendak menikah. Dan calon suaminya ternyata adalah Rafi. Ia bilang Rafi adalah orang yang baik. Namun ia masih ragu untuk menikah dengan rafi atau tidak. Aku sebagai sahabatnya pun dilanda kebingungan ketika ia meminta pendapatku. Aku hanya bisa memberikan saran istikahroh dan musyawaroh. Aku ragu untuk menceritakan ini padanya, khawatir aku dianggap penghalangnya menikah. Aku juga tak mau beurusan dengannya lagi. Ah entah ia jadi menikah atau tidak, semoga itulah yang terbaik bagi mereka berdua. Semoga saja. Istikharoh dan musyawaroh insyaAllah akan menghantarkan pada kebaikan. Adapun kisah tentang Rafi yang pernah kudengar itu aku harap kualitas cerita tersebut dhaif bila perlu palsu. Amin.. semoga saja.

Komentar

Postingan Populer