Ketika Polemik Rohingnya Direduksi Menjadi Konflik Agama



 
sumber : tirto.co.id
Rohingnya akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat dibicarakan, ditulis, dibikin status, hingga diperdebatkan. Untungnya tidak dibikin meme. Menandakan para pegiat meme di Indonesia tahu aturan dan batasan dalam berkarya. Beragam kecaman, tuduhan, juga kambing hitam muncul ke permukaan. Sementara ini saya mengambil posisi aman sekedar menjadi pengamat yang kadang manggut-manggut, kadang pula tertawa sambil geleng kepala, dan tak jarang murka sembari beristigfar.
Namun izinkan saya sedikit memberi tanggapan terkait beberapa isu turunan yang lahir dari isu besar Rohingnya ini. Terkait pembantaian dan segala tindak kekerasan yang dialami etnis Rohingnya sudah tidak ada nilai tawar lagi, harus dikecam! Saya pun mengecamnya. Sama seperti Anda semua. Kita Cuma bisa mengecam. Selebihnya? Hanya bisa berdo’a dan menjadikan apa yang terjadi di negara tetangga itu sebagai pelajaran agar tidak terjadi di Indonesia.

Kejadiannya di Myanmar, kok Presiden Indonesia yang dihujat? Situ sehat?
Presiden Joko Widodo sejak pertama kali menjabat (bahkan jauh sebelum dilantik) memang sudah punya haters tersendiri. Hatersnya rata-rata terdiri dari barisan pendukung yang sakit hati lantaran kalah di pilpres. Sekali lagi mereka itu pendukung Pak Prabowo ya, bukan beliau pribadi. Kalau Prabowo mah negarawan hebat. Kalah-menang tetap menghormati Pak Jokowi. Lah kok bisa Situ yang cuma tahu Prabowo dari iklan-iklan Gerindra di TV bencinya Masya Allahu Akbar sama Pak Jokowi?
Usut punya usut Jokowi dihujat karena tak mengecam insiden Rohingnya secepat Erdogan. Sedangkan sewaktu kejadian teror di Paris, Perancis, Presiden Jokowi langsung nge-tweet. Muncullah isu kalau muslim yang jadi korban Jokowi mah kurang respek. Lantas saya mulai berfikir bahwa jarak Indonesia-Perancis dan Indonesia-Myanmar jelas beda. Dua negara ini juga terletak pada regional yang berbeda. Perancis adalah salah satu dari 28 negara Uni Eropa sedangkan Myanmar termasuk anggota ASEAN seperti Indonesia. Ibaratnya begini; kalau ada teman di daerah lain kena musibah bolehlah kita mengucapkan rasa duka cita lewat medsos. Tapi kalau yang kena musibah adalah tetangga kita, masih satu RT lagi! kira-kira etis nggak jika kita hanya mengungkapkan rasa duka lewat medsos?
Toh andai kata Jokowi langsung ngetweet ketika konflik Rohingnya itu pecah lagi saya haqqul yakin bakalan ada yang nyinyir begini “Jokowi Cuma bisa mengecam, kenapa nggak dibantu, kan Myanmar itu tetangga Indonesia!”. Well, apapun yang dilakukan Jokowi bagi sebagian orang selalu tak pernah dianggap benar. Jokowi selalu salah, yang benar Erdogan. Duh, Situ Sehat?

contoh salah satu netizen yang menyinyiri Presiden Jokowi

 
beberapa komentar-komentar dari post di atas

Konflik politik, etnis, dan ekonomi direduksi menjadi konflik agama
Inilah akibat menjadi generasi millenial yang kurang piknik. Mohon maaf, bukan Cuma fisik yang butuh piknik tapi pikiran juga kudu jalan-jalan biar lebih luas dan komprehensif dalam memahami suatu isu. Bukan berarti saya rajin piknik intelektual juga. Tapi paling tidak saya telah menahan diri untuk tidak beropini terburu-buru dan dengan sabar membaca berbagai sumber terkait isu Rohingnya ini.
Konflik Rohingnya adalah tali-temali yang cukup panjang. Sehingga harus dilihat dari kacamata sejarah pula. Mereka dianggap bukan warga Myanmar oleh pemerintah, pernah kah kita bertanya kenapa mereka dianggap begitu? Asal-usul Rohingnya pun sampai sekarang menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan mereka berasal dari Bangladesh, sementara yang lain mengklaim mereka datang dari Rakhine di Myanmar. Mereka pun memiliki bahasa tersendiri yang berbeda dengan bahasa Burma yang merupakan bahasa nasional Myanmar. Pemerintah Myanmar sendiri pernah ingin mendeportasi mereka ke Bangladesh namun Bangladesh sendiri tidak mengakui mereka sebagai warga negaranya.
Selain itu, dikutip dari tempo.co, wilayah Rakhine adalah wilayah ekonomi strategis karena di sana dibangun pipa raksasa yang mengalirkan migas yang ada di Myanmar. China menjadi negara yang punya banyak kepentingan di dalamnya. Sebagai mitra usaha Pemerintah Myanmar sudah sepatutnya memastikan keamanan jalur tersebut. Pasalnya muslim Rohingnya, menurut beberapa sumber, adalah muslim garis keras. Mereka kerap melakukan serangan sporadis kepada militer Myanmar. Hal ini tentu mengancam keamanan jalur ekonomi strategis mereka. Maka Pemerintah Myanmar berupaya sekuat tenaga menyingkirkan pihak-pihak yang mengancam kepentingan mereka, termasuk etnis Rohingnya.
Namun isu yang muncul di Indonesia hanyalah konflik umat Budha yang konon membenci umat Islam. Melansir dari tirto.co, bila melihat dari sebarannya, penduduk Muslim terbanyak berada di Yangon dengan jumlah 345.612 jiwa atau setara dengan 4,7 persen dari total penduduk di sana. Sedangkan, berdasarkan porsi penduduk setiap daerah, umat Muslim terbanyak berada di Mon dengan proporsi sebesar 5,8 persen dari total penduduk di wilayah tersebut atau setara dengan 119.086 jiwa. Di ibu kota Myanmar, Nay Pyi Taw, jumlah Muslim hanya 24.030 jiwa atau setara dengan 2,1 persen dari total penduduk ibu kota. Maka kalau umat Budha yang menjadi mayoritas di Myanmar itu memang membenci Islam kenapa muslim di tempat lain tidak disiksa juga? Nyatanya mereka hidup aman dan mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara Myanmar.
Maka ketika Situ melihat konflik Rohingnya hanya sebatas konflik agama, sorry to say, nih, Situ gagal fokus! Atau, Situ jadi korban propaganda yang memang menginginkan Indonesia ini huru-hara dengan isu sentimen agama.

Rencana aksi damai yang salah alamat
Di WhatsApp telah beredar ajakan melakukan aksi bela Rohingnya bertempat di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah. Jleb! Saya langsung ngakak! Kok Borobudur? Esensinya apa? Seorang sutradara lokal mengatakan dalam status FBnya aksi itu bertujuan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa “Nih liat, meskipun mayoritas muslim tapi tempat ibadah orang Budha kami jaga,” Lah bukannya itu memang sudah keharusan kita sebagai warga negara yang berideologi Pancasila?
Lagian saya percaya Borobudur itu telah menjadi media penghasil pundi-pundi rupiah bagi banyak orang, dan mayoritas ya orang Islam. Para tour guide, penjual souvenir, tukang parkir, petugas di sekitar candi. Harusnya Situ berterima kasih pada orang Budha yang sudah ikhlas membiarkan kaum muslim bekerja di tempat ibadah mereka yang kini juga berfungsi sebagai tempat wisata itu. Kalau Borobudur nggak dijaga ladang rezeki sodara-sodara kita juga bisa hilang, bro!
Kesimpulannya Situ udah gagal fokus lagi! Konflik di Rohingnya harus kita kecam dan lawan bersama namun jangan dijadikan sebagai benih-benih konflik baru dengan mereduksinya hanya pada permasalahan Budha vs Islam. Lagian ajaran Budha adalah ajaran yang agung. Cak Nun dalam Maiyah bertempat di Balairung UGM bulan Ramadhan 1438 H lalu pernah nyeletuk gini “Harusnya kita mulai menela’ah keterkaitan ajaran antara Islam dan Budha,” Hal ini tentu tak terlepas dari kemiripan ajaran-ajaran moral dan semangat spiritual yang mendasari kedua agama tersebut.

Refrensi bacaan :


Jogja, 6 September 2017
08:21 WIB

Bang Izzu

Fyi, sebagai salah satu ketua di HMI Ilmu Budaya UGM, saya tengah menggagas diskusi sederhana atau kajian strategis tentang polemik Rohingnya ini. Namun kami belum menemukan narasumber yang “tepat”. Jadi kalau ada usulan siapa kira-kira pemateri yang tepat silahkan email saya di mizzuddin50@gmail.com. Terima kasih!

Komentar

Postingan Populer