Sepekan di Jogja

Sudah satu minggu lebih saya berada di Jogja. Meninggalkan Lombok untuk sementara demi selesainya tesis yang mau tidak mau memang harus dituntaskan. Sedari dulu saya selalu mengatakan Jogja adalah kampung halaman saya yang kedua. Pasalnya sejak 2015 sampai penghujung 2019 saya lebih banyak menghabiskan waktu di Jogja daripada di Lombok. Hingga akhirnya pandemi covid-19 menyerang dan memaksa saya untuk menetap di Lombok dalam kurun waktu yang lebih lama dari biasanya.

Namun kedatangan saya kali ini terasa begitu berbeda. Teman-teman yang dahulu masih banyak tinggal di Jogja kini satu persatu telah kembali ke tanah kelahirannya masing-masing. Hanya tersisa sedikit itupun dengan kesibukan masing-masing. Ada yang bekerja, melanjutkan studi, pun juga fokus mengurus keluarga kecilnya. Ya, semakin banyak saja teman-teman saya yang melepas masa lajang mereka.

Keadaan ini sedikit “diperparah” karena motor kesayangan saya, Shogun 125 R pabrikan tahun 2005 itu kondisinya cukup memprihatinkan. Wajar saja, 2 tahun lebih tidak disentuh apalagi dihidupkan. Saya belum bisa membawanya ke bengkel karena roda depannya sama sekali tidak bisa berputar. Enteh kleher nya rusak atau faktor karatan. Namun yang bikin saya sedikit malas membawanya adalah estimasi biaya untuk memperbaiki kerusakan pada motor itu yang sepertinya lumayan menguras kantong. Setidaknya begitu komentar beberapa kawan saya yang ahli motor setelah saya sampaikan kondisi si buluk itu, nama yang diberikan seseorang untuk sepeda motor yang telah menemani saya berjuang bertahun-tahun di kota istimewa ini.

Dengan pertimbangan saya berencana di Jogja maksimal 2 bulan, rasanya cukup berat memperbaikinya dengan biaya lumayan tapi kemudian ditinggalkan lagi. Alhasil, saya memutuskan untuk tidak memperbaikinya. Kalau ada yang berminat mungkin akan saya jual. Kalau tidak ada ya mungkin akan saya cuci lalu kirim ke Lombok. Nanti diperbaiki di sana saja. Jika opsi terakhir yang harus saya lakukan semoga saja ongkos kirimnya ngga mahal-mahal amat.

Kondisi ini membuat mobilitas saya terbatas. Tidak mungkin dong saya setiap hari pake ojek online. Pun kalau mau naik Trans Jogja harus jalan lumayan jauh ke halte terdekat dari kos. Syukurnya kosan saya terletak di tengah kota sehingga akses untuk makan dan kebutuhan sehari-hari bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Tak ayal saya lebih banyak melangkah di Jogja daripada di Lombok. Biasanya kemana-mana naik kendaraan sekarang saya harus berjalan kaki. Saya juga harus menahan hasrat untuk jalan-jalan keliling Jogja kalau lagi bosan di kosan. Karena itu merupakan rutinitas saya dulu sebelum kembali ke Lombok. Sekarang kalau lagi bosan di kosan saya hanya bisa keluar dan duduk-duduk di balkon kos untuk menghirup udara segar. Sesekali jalan kaki di sekitaran kos. Meskipun kegiatan monoton ini tidak bisa menghilangkan rasa bosan secara drastis setidaknya saya anggap sebagai latihan kesabaran. Juga penyemangat agar tidak terlalu nyaman di Jogja dan ingin segera pulang ke Lombok. Tentu syarat utama pulang ke Lombok adalah menyelesaikan tesis dan urusan-urusan yang lain.

balkon kos saya, ngga ada indah-indahnya memang

Tapi ada satu hal lagi yang saya sadari. Jogja ini memang istimewa tapi bukan karena tempatnya, melainkan orang-orang yang kita temui ketika memijakkan kaki di atasnya. Para wisatawan yang baru datang ke Jogja tidak hanya terkesima dengan hiruk pikuk dan keindahan Jogja, tapi juga keramahan warganya. Para mahasiswa yang tinggal bertahun-tahun di sini juga merasa betah dan kerasan karena bertemu dengan orang-orang yang bisa bikin mereka nyaman. Bisa berwujud teman, terkadang pula pacar.

Btw, terakhir kali saya meninggalkan Jogja, Desember 2019, saya masih punya kekasih. Seorang gadis Jawa yang banyak menemani dan membersamai perjuangan saya selama di Jogja. Akhir Mei 2022 saya kembali ke Jogja tanpa kehadiran dia, lahir dan bathin. Dia memang sudah tidak tinggal di Jogja sekaligus sudah lama meninggalkan hati saya.

Jogja, saat saya menulis goresan ini, memang tidak sehangat dulu. Tapi waktu akan terus berputar dan saya tak boleh terkungkung masa lalu. Jogja yang dulu, dengan kenangan dan orang-orang yang pernah saya temui, akan selalu saya rindu. Selamanya, Jogja akan jadi tempat ternyaman kedua setelah Lombok. Maka, saya berharap semesta Jogja bisa menjadi support system bagi saya untuk menuntaskan urusan-urusan yang memang harus diselesaikan saat ini.

Jogja, mari bekerjasama.

 

Jogja, 5 Juni 2022

Komentar

Postingan Populer