"Saya Pancasila" Itu Salah
1 Juni lalu tagar
#SayaIndonesia #SayaPancasila menjadi viral. Dari masyarakat biasa, artis,
pejabat, hingga presiden kompak menggunakan tagar ini. Bukan Indonesia namanya
kalau tidak ada nyinyiran terhadap sebuah fenomena yang tengah booming.
Dan bukan Indonesia juga namanya kalau tidak mengikuti pola yang trending.
Setelah menyaksikan video
Pak Jokowi dengan judul “saya pancasila” kok ya saya tertarik kepingin bikin
kayak begitu. Akhirnya saya buatlah status dengan tagar tersebut ditambah
beberapa tagar penunjang yang saya kira cukup kontekstual. Misalnya, dalam
sebuah status saya menulis, “Saya Muhammad Izzuddin, Saya Pancasila, Saya
Indonesia, Saya Jomblo.” Ada lagi yang berbunyi : “Saya Muhammad
Izzuddin, Saya Pancasila, Saya Indonesia, Saya Barcelona, Saya mendukung
Juventus Juara.”
Selanjutnya saya coba
bikin status yang sedikit provokatif. Hehe. Sedikit kok, nggak banyak. Saya menulis
“Menanti Felix Siauw, Habib Rizieq, Bachtiar Natsir, dan Ismail Yusanto mengucapkan
selamat hari kesaktian Pancasila.” Meski pada akhirnya status saya itu tak
pernah become true. Beliau-beliau yang terhormat itu tidak mengucapkan
satu apapun terkait hari kesaktian Pancasila.
Senior saya di tim debat,
Mbak Rima, mengkritik saya yang salah kaprah dalam hal linguistik. “Saya
Pancasila itu salah, yang benar itu saya pancasilais, masak kamu pancasila,
kamu kan Izzuddin.” Menerima serangan ini seketika naluri debat saya
bergejolak. Pikiran dan hati kompak mencari alasan untuk melawan argumen Mbak
Rima. Bodo amat benar atau salah yang penting nggak mau ngalah (wkwk, jangan
ditiru, ya).
Kepada beliau saya
katakan “mbok ya jangan terlalu linguis jadi orang, mbak. Linguistik itu
dipakai waktu ujian saja. wkwk.”
“Kalau bukan mahasiswa
ilmu bahasa yang menggunakan bahasa yang baik dan benar, lantas siapa lagi?”
tantangnya.
“Kalau aku salah berarti
Jokowi juga salah, NU juga salah, mereka bilang kami Pancasila, lah mereka kan
organisasi yang bernama NU, bukan Pancasila!”
“Dari segi linguistik
salah. Lebih tepatnya dari segi gramatika bahasa.”
“Tapi kan yang penting
dipahami sama pendengar, mbak.”
“Bahasa itu harus baik
dan benar. Baik saja dan cukup. Tapi juga harus benar!”
Pada akhirnya saya
mengiyakan argumen mbak Rima. Selain karena hormat pada senior (baca: yang
lebih tua), argumen beliau memang benar, dari segi gramatika ungkapan tersebut salah.
Tapi Pak Jokowi jangan disalahkan. Beliau kan lulusan kehutanan. Belajarnya ya
tentang kayu. Bukan belajar subjek-predikat-objek. Jadi wajarlah kalau salah. Andai
kata Bapak Jokowi lulusan prodi sastra Indonesia kemudian mengusung tagline Saya
Pancasila, ya patut dipertanyakan IPK beliau. Ingat! IPK lo, bukan PKI! Jangan diotak-atik.
Hehe. Mari jadikan puasa sebagai momen belajar husnuzon. Termasuk husnuzon
pada pemimpin
.
![]() |
Mbak Rima ada di sebelah kiri saya, pake almet UGM, yang wajahnya khas midle-east |
Lain mbak Rima lain lagi
Cak Nun. Beliau lebih mengkritisi penggunaan kata ganti persona. Ketika Jokowi mengatakan
Saya Indonesia, Saya Pancasila, artinya secara tidak langsung yang bukan
Jokowi, atau yang tidak sepaham dengan Jokowi, bahkan yang tidak memilih Jokowi
waktu pilpres lalu, bukan Indonesia dan bukan Pancasila. Lah ini kan bahaya. Menurut
Cak Nun yang tepat itu “Kami Pancasila, Kami Indonesia.” Karena presiden itu
kan milik rakyat. Bukan milik dirinya pribadi, partainya, atau agamanya saja. Ia
harus mengayomi semua penduduk Indonesia, termasuk yang tidak sepaham dengan
Jokowi. Meskipun Jokowi ingin membubarkan HTI tapi ya tetap harus diayomi. FPI
juga begitu. Pokoknya Jokowi itu presiden Indonesia. Presidennya NU,
Muhammadiyah, NW, FPI, HTI, presidennya kristiani dan agama-agama lain.
Dan sejenak setelah saya
merenungi dua kritikan berbeda ranah di atas, ada satu kesadaraan yang muncul
di benak ini. Betapa tagar “Saya Pancasila” beberapa waktu lalu berhasil
memecah belah masyarakat Indonesia meskipun dalam skala yang tidak ekstrim. Masyarakat
bisa saja berasumsi bahwa Bachtiar Natsir, Habib Rizieq, Felix Siauw, dan
Ismail Yusanto itu anti pancasila. Nggak senang dengan pancasila. Buktinya mana?
Lah itu nggak ngucapin selamat hari kesaktian pancasila.
Saya bertanya pada diri
saya sendiri, sejak kapan kita boleh men-judge seseorang berdasarkan tahniah
(ucapan selamat)nya di media sosial? Saya tidak pernah mengatakan rindu
pada kampung halaman setiap hari, apakah itu artinya saya tidak kangen dengan
kampung halaman saya? Ya kangen lah! Ini aja lagi galau tiket Jogja-Lombok mahalnya
minta ampun.
Dan hastag Saya Pancasila
Saya Indonesia tidak menjadi legitimasi bagi si empunya status untuk merasa
lebih pancasilais dibanding yang tidak menggunakan hastag. Kamu itu Pancasila lovers
atau Pancasila haters ditentukan oleh sikapmu, bukan ucapanmu, apalagi
nyinyiran di medsosmu. Ini kritik juga buat saya. Saya merasa bersalah sudah mengikuti
arus namun kurang kritis. Tapi saya tidak akan menghapus status yang sudah
terlanjur terposting. Biarlah ia menjadi saksi bahwa saya pernah salah lalu
kemudian sadar semua yang booming harus dikritisi dahulu sebelum
menentukan sikap mau ngikut atau nggak.
Selamat menanti waktu
berbuka puasa!
Jogja, 5 Juni
2017
17:06 WIB
Izzuddin
Komentar
Posting Komentar