Nakal Membawa Berkah


sumber gambar : Google Images


Jam yang menempel di dinding itu menunjukkan pukul 20:30 WITA. Rapat internal pengurus OSIS Pesantren Darul Hamidin (DH) masih berlangsung. Ada tujuh orang santri duduk melingkar di tengah ruang sekretariat berukuran 3x5 meter itu. Mereka berbicara dan mendengarkan silih berganti. Sesekali tawa terdengar. Sesekali nada serius pembicaraan menyeruak. Seorang santri bertubuh jangkung yang di lehernya melingkar sorban biru nampak mendominasi rapat. Memandu rapat agar efisien. Agar tidak terlalu jauh keluar dari tema besar ketika gurau demi gurau terlontar memenuhi seisi ruangan.
“Terus, bagaimana? Apa kita nggak usah ikut?” tanya Farhan, si ketua OSIS. Ia merapikan sorban biru di lehernya.
“Jangan! Kita harus ikut! Ini kesempatan besar untuk membuktikan ke pihak madrasah dan pondok bahwa kita punya potensi!”
“Tapi, saya ragu kita akan diberi izin.” sanggah seseorang di antara mereka.
Ruangan itu hening. Semua terdiam. Seakan mereka memiliki keraguan yang sama. Keraguan yang kini membuat mereka bingung untuk menentukan keputusan. Meski tidak bisa dipungkiri, dalam banyak kasus keraguan yang terus dipelihara hanya akan menimbulkan pesimistis yang membungkam. Hanya ada dua pilihan, membuktikan keraguan itu dengan bergerak atau diam dan terus meyakini keraguan itu tanpa berusaha membuktikannya.
“Kita coba dulu! Siapa tahu kali ini diizinkan.” Agus sedari tadi memang paling antusias membicarakan hal-hal seperti ini. Meski dari raut wajahnya ia juga tak ada beda; sama-sama ragu.
“Oke, kita coba! Besok waktu jam istirahat kita bicara dengan kepala madrasah. Siapa yang mau menemani saya?” tanya Farhan menantang. Ia tatap wajah keenam sahabatnya itu satu persatu. Mereka membalas dengan tatapan mengelak.
Farhan masih menunggu jawaban namun tidak ada satu pun yang bersedia. Mereka malah saling tunjuk.
“Agus! Usman!” tegas Farhan. Dua orang yang namanya disebut menoleh. Raut wajah mereka seakan bertanya ada apa? Jangan saya, please!.
Farhan menatap tajam ke arah dua santri berbeda suku itu. Agus orang Lombok asli, ia suku Sasak, sedangkan Usman jauh-jauh merantau dari Pulau Bali. Tidak semua orang Bali itu beragama Hindu. Dan tidak semua orang Lombok itu Islam. Ah, indahnya perbedaan.
“Kalian yang menemani saya besok, oke?”
“Oke! Setuju. Setuju!” Yang menjawab malah santri lain.
“Eh, kok gitu?” Usman tidak terima. Agus juga.
“Keputusan sudah kita ambil. Jika tidak ada pembahasan yang lain rapat ini biar saya tutup.” Farhan mengabaikan wajah tak terima Agus dan Usman. Ah, andai kalian bisa melihat betapa lucunya wajah dua santri yang mendadak memerah seperti kepiting rebus itu. Mimpi apa mereka semalam hingga mendapat tugas yang memacu adrenalin ini? Esok mereka harus berhadapan dengan Ustadz Malik, sang kepala madrasah. Semoga malam ini mereka tidak mimpi buruk agar lebih pede keesokan harinya.

****

Pesantren DH adalah pesantren yang menerapkan dua kurikulum; kurikulum negeri yang diatur oleh Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan, serta kurikulum kepondokan yang mutlak semuanya diatur oleh pihak pondok. Kurikulum negeri dipelajari dari pagi sampai siang, sedangkan kurikulum kepondokan diterapkan sejak sore hingga malam. Hal ini membuat mereka, para santri, mau tidak mau, harus mempelajari 16 hingga 20 mata pelajaran dalam satu semester.
Di setiap penghujung semester, masing-masing santri akan mendapat dua raport. Tidak jarang ada kejadian santri A mendapat rangking 1 di rapor negerinya, tapi ranking 10 di rapor pondoknya. Adapun pemeringkatan yang diumumkan setiap akhir semester adalah akumulasi nilai dari kedua raport tersebut. Meski ketika mendaftar kuliah nanti, utamanya melalui jalur SNMPTN, hanya nilai raport negeri yang diperhitungkan.
Keberadaan dua kurikulum ini membuat pihak pesantren membuat kebijakan pembagian tanggung jawab. Kepala Madrasah bertanggung jawab melaksanakan dan mengawasi seluruh kegiatan kurikulum negeri, sedangkan Pembina Umum bertanggung jawab atas seluruh kegiatan belajar-mengajar kurikulum pondok.

***

Kantor kepala madrasah itu terasa pengap meski jendela di sisi timur dan barat sudah terbuka lebar. Tangan Ustadz Malik menggenggam sepucuk brosur berwarna hijau. Matanya memicing. Dahinya mengkerut. Rona wajahnya tidak bersahabat. Membuat Farhan, Agus, dan Usman hanya bisa menanti penuh harap akan nasib baik mereka hari ini.
“Tidak! Saya tidak mengizinkan. Lebih baik kalian belajar! Sebentar lagi ujian semester!” Satu kalimat dari Ustadz Malik membuat mereka saling bersitatap. Tuh kan, apa aku bilang, pasti nggak diizinin. Begitu kira-kira gumam mereka.
“Tapi, Ustadz, teman-teman ingin sekali ikut kompetisi ini. Kita punya banyak santri-santri yang hebat bermain bola” Farhan mencoba bernegosiasi.
“Apa sih yang kalian dapatkan dari main bola? Dari futsal? Yang lebih penting itu nilai raport kalian, biar nanti bisa masuk ke Perguruan Tinggi Negeri! Mengerti?” Suara sang kepala madrasah meninggi.
 “Lagian ini yang ngadain bukan Kemenag! Nggak ada untungnya buat kalian!” Ustadz Malik menunjuk-nunjuk brosur hijau di atas meja yang tadi ia genggam. Brosur yang berisi informasi turnamen futsal antar pesantren tingkat kabupaten yang dilaksanakan oleh salah satu pesantren di Kabupaten Lombok Barat.
Ketiga santri itu mati kutu. Kultur pesantren adalah sami’na wa atha’na. Mendengarkan dan melaksanakan segala perintah ustadz merupakan kewajiban selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadist. Sayang, mereka tak punya dalil apapun yang bisa digunakan sebagai alasan untuk melawan ustadz yang melarang mereka mengikuti kompetisi futsal dengan dalih belajar di kelas lebih baik dari pada menendang bola di lapangan hijau.
Keraguan yang mereka rasakan semalam di ruang sekretariat OSIS akhirnya jadi kenyataan. Ustadz Malik pasti tidak mengizinkan mereka mengikuti kompetisi yang berbau non akademik. Andai saja mereka ingin ikut lomba cerdas cermat mungkin tanggapan beliau tak sejudes tadi. Mereka tak ingin memperkeruh suasana dan membuat ustad Malik makin naik darah. Mungkin mood beliau lagi kurang bagus karena duit sertifikasi belum juga turun dari pemerintah. Entahlah.
Farhan, Agus, dan Usman pamit undur diri seiring berdentingnya bel tanda waktu istirahat sudah habis. Mereka beringsut setelah bersalaman dan mencium tangan kepala madrasah yang sudah bertahta 20 tahun lebih lamanya itu. Sekarang apa lagi yang bisa mereka lakukan selain kembali ke teman-teman dengan membawa berita kekalahan ini. Kekalahan negosiasi. Kekalahan melobi bapak kepala madrasah untuk memberikan mereka izin mengikuti turnamen futsal yang akan dilaksanakan dua minggu lagi itu.

***

Matahari mulai merunduk ke ufuk barat. Sinarnya  sudah tak menyengat seperti siang tadi. Puluhan santri berbondong masuk ke kelas masing-masing. Sore itu ada jadwal pelajaran kepondokan untuk seluruh tingkat. Mulai tingkat satu (kelas VII MTs) hingga tingkat enam (kelas XII MA). Kelas paling ujung dihuni oleh bocah-bocah tingkat satu. Kelas itu ramai. Mereka sedang membaca kitab matnul jurumiyah secara jahar (bersuara lantang). Suara mereka sampai terdengar hingga kelas di ujung yang lain.
Beda halnya dengan tingkat enam. Ustadz mereka belum datang. Biasanya mereka akan menunggu selama setengah jam untuk memastikan apakah sore itu pelajaran kosong atau terisi seperti biasa. Ada santri yang berharap kosong, ada pula yang berharap terisi. Bedanya cuma di situ. Kalau urusan yang lain mereka sama semua. Sama-sama pakai peci putih. Sama-sama mengenakan sarung. Dan sama-sama membawa kitab fiqih fathul qarib. Ya, menurut jadwal, sore itu ada pelajaran fiqih yang diampu oleh Ustadz Turmuzi. Tapi sampai detik ini beliau belum juga datang.
Untuk memanfaatkan waktu, Agus mengajak beberapa temannya berkumpul. Katanya sih biar waktu nggak mubazir. Biar dia dan teman-temannya nggak jadi sahabatnya syetan. Beberapa santri bagai kerbau dicocok hidungnya, menurut dan segera mendekat pada Agus. Ia meletakkan kitab fiqih bersampul hijau itu di hadapan semua teman-temannya.
“Ayolah! Diskusi!” pinta Iwan.
“Eh, siapa yang mau diskusi?” Agus membantah.
“Kita mau ngomongin rencana ikut turnamen futsal, bro.” Lanjut Agus memberi penjelasan.
“Lah, katanya nggak diizinin sama ustadz kepala (kepala madrasah)?”
“Memang nggak, tapi tidak ada izin bukan penghalang untuk berperang, kan?” Agus tertawa kecil sambil melempar pandangan menantang ke teman-temannya.
“Wah, jangan gitu! Kita ini udah kelas akhir, jangan bikin kenangan buruk deh di detik-detik terakhir kita di sini.” Sanggah Iwan
“Justru itu! Momennya pas.” Ucap Agus mantap.
“Pas gimana?” mereka bingung. Agus tanpa babibu lagi langsung menjelaskan rencananya pada mereka semua.
Agus dan beberapa santri lain masih ingin mengikuti turnamen itu. Mereka berencana akan mengikuti turnamen itu, tapi diam-diam. Tanpa sepengetahuan pihak pesantren. Pro kontra pun mencuat. Ada yang mendukung tapi tak ingin ikut. Ada juga yang mendukung sekaligus siap bergabung. Ada yang melarang. Dan ada yang menceramahi. Farhan, selaku ketua OSIS dan santri paling berpengaruh di angkatannya masih tak bersuara.
“Kalau misalnya kita terus maju hingga ke puncak,  apa kalian sudah tahu bahwa partai final itu berbarengan dengan jadwal ujian kepondokan kita?” tanya Farhan menyadarkan.
“Eh, masak sih?” santri yang lain seperti baru tersadar.
“Ah, gampang itu mah! Nanti kita bisa ikut ujian susulan.” sergah Agus enteng.
“Gila kamu, Gus! Mana bisa? Apalagi ikut ujian susulan gara-gara membolos. Mustahil!” beberapa diantara mereka ragu.
“Nggak ada yang nggak bisa, percaya sama saya! Man Jadda Wajada!” ucap Agus mantap sambil mengepalkan tangan ke udara.
Farhan tertawa mendengar Agus mengucapkan mahfuzot tidak pada tempatnya. Bagaimana bisa mahfuzot sarat pesan moral seperti itu digunakan untuk menyemangati santri melanggar aturan? Tapi ia tidak heran. Kepala bagian keamanan OSIS Pesantren DH itu memang terkenal pantang menyerah. Beberapa waktu lalu, ketika laga final AFF U-19 dihelat dan disiarkan televisi swasta nasional, dialah yang melobi dan merayu ustadz pembina asrama agar mengadakan nonton bareng bersama santri. Alasannya sih untuk menumbuhkan semangat nasionalisme kaum santri. Kan hubbul wathan minal iman, cinta tanah air bagian dari keimanan. Mungkin karena Agus merayu pakai hadist, atau ustadz senang akhirnya Agus bisa menghafal sabda nabi, atau bisa jadi karena malas meladeni Agus yang cerewetnya melebih wanita PMS, ustadz pun memberi lampu hijau. Jadilah malam itu seluruh santri nonton bareng aksi ciamik Evan Dimas dan kawan-kawan.
Kini, watak Agus kembali keluar. Hanya saja cukup berisiko. Keluar komplek pesantren tanpa izin adalah pelanggaran berat. Tapi di sisi yang lain Farhan menyadari bahwa ada target, mimpi, dan tujuan–yang tak bisa dipungkiri–baik yang melatar-belakangi mereka untuk melakukan ini.
Banyak hal yang mereka bicarakan terkait rencana berisiko itu, utamanya masalah dana. Dana pendaftaran, dana transportasi, dan masih banyak dana lainnya. Tak mungkin minta ke madrasah atau yayasan. Izin saja mereka tidak dapat, apalagi uang. Jika mereka benar-benar ingin pergi, tak ada pilihan lain, mereka harus berangkat dengan biaya sendiri. Ajaibnya, mayoritas setuju. Tinggal Farhan yang belum menentukan pilihan.
Ia masih bimbang. Di satu sisi ia ingin mengikuti kompetisi tersebut bersama teman-temannya. Ia juga percaya pada kemampuan mereka. Agus adalah bek yang handal, Sudir adalah kiper paling tangguh di bawah mistar gawang, dan Farhan sendiri adalah pemain bernomor punggung 8 yang sering dipercaya menjadi pengatur serangan oleh teman-temannya setiap bermain bola di hari Jum’at.
Namun di sisi yang lain ia adalah ketua OSIS, ia harus menjadi panutan bagi seluruh santri. Mau ditaruh di mana mukanya kalau seluruh warga pesantren tahu seorang ketua OSIS bolos gara-gara futsal? Ia tak munafik. Ia tengah memikirkan nama baik yang telah 5 tahun dibangunnya. Selalu menuruti perintah ustadz-ustadznya. Tak pernah sekalipun ia menyanggah apalagi melanggar.
Ingin rasanya ia tak bergabung namun teman-temannya pasti kecewa. Biar bagaimanapun mereka adalah keluarga Farhan juga. Enam tahun bersama bukanlah waktu yang singkat. Meski memiliki karakter yang berbeda-beda mereka selalu kompak melakukan apapun. Persahabatan yang terjalin di lingkungan pondok memang terasa lebih erat dan mengikat. Ia tak sampai hati mengecewakan sahabat-sahabatnya.
Rasanya tidak terlalu salah jika ia mencoba keluar dari zona nyamannya. Ia tak pernah dihukum selama nyantri. Bahkan boleh dibilang Farhan adalah anak kesayangan beberapa ustadz. Sebentar lagi ia akan tamat, tentu prestasi yang patut dibanggakan jika ia tak pernah nakal selama menjadi santri. Akan tetapi apakah nanti setelah tamat ia hanya bisa mengenang hal-hal manis itu saja? Ia ingin punya kenangan pahit juga, terlepas sebenarnya ini adalah bisikan syetan atau lirihan hati nuraninya. Tidak ada yang tahu.

***

Keputusan sudah diambil. Pagi-pagi mereka mengendap-endap keluar dari komplek pesantren. Gerbang depan yang cukup lengang memudahkan prosesi kaburnya mereka. Tujuan pertama adalah jalan raya yang biasa dilewati angkutan umum. Untuk ke sana mereka tidak melewati jalan desa, terlalu berisiko ketahuan.
Mereka menerobos pematang sawah warga yang nanti akan tembus sampai jalan raya yang mereka tuju. Tidak ada raut ketegangan, mereka malah tertawa seakan tanpa beban. Bagi mereka tegang itu ada saatnya, waktu di sidang lantaran keluar pesantren tanpa izin, misalnya. Jadi buat apa tegang bukan pada waktunya. Kalau lagi bahagia ya sudah bahagia saja, jangan rusak bahagiamu dengan pikiranmu sendiri. Karena sedih punya waktu sendiri datang bertamu.
Kompetisi itu berlangsung selama satu minggu. Mulai dari babak penyisihan hingga partai final. Tim futsal Pesantren DH dianggap sebagai tim medioker lantaran pendatang baru dan tidak punya official, apalagi pelatih resmi. Seorang santri bernama Najib mereka angkat jadi pelatih. Hanya formalitas belaka, sekedar untuk melengkapi administrasi pendaftaran.
Dan jika aku sampaikan pada Kalian bahwa tim itu berhasil melaju ke final, apakah Kalian percaya? Kalian harus percaya karena itulah kenyataannya. Dengan sistem tabel dan gugur, mereka berhasil melaju ke partai puncak setelah mengalahkan 3 tim lawan. Di final mereka akan bersua dengan tim tuan rumah. Namun masalah baru muncul. Masalah yang sudah Farhan wanti-wanti sejak jauh-jauh hari. Pertandingan final berbarengan dengan jadwal ujian semester kepondokan mereka.
Tidak mungkin mendapatkan izin dari pihak madrasah. Mereka sudah tiga kali bolos. Meski selalu dihukum namun mereka pikir sudah kepalang basah. Bukankah kita harus menyelesaikan apa yang telah kita mulai. Maka menyelesaikan kompetisi ini dengan keluar sebagai pemenang, apapun risikonya, adalah solusi terbaik. Mereka percaya, esok lusa, jika berhasil juara, sang kepala madrasah tidak lagi memandang potensi non akademik yang dimiliki anak didiknya sebagai aktivitas tidak berguna bagi mereka dan pesantren.
Partai puncak pun dihelat. Di lapangan berlangsung pertandingan yang cukup ketat, seketat ujian kepondokan yang tengah dijalani teman-teman mereka di pondok. Farhan dan kawan-kawan bagai kambing yang masuk ke sarang harimau. Mereka tidak hanya bertemu dengan lawan yang kuat, tapi juga tim dengan suporter banyak. Namanya juga tuan rumah.
Babak pertama berakhir dengan skor kacamata. Baik Sudir maupun kiper tim lawan berhasil menjaga keperawanan gawang mereka. Farhan sedikit terpincang-pincang lantaran terkena tackle dari pemain nomor 10. Sayang wasit tidak menganggap itu sebagai pelanggaran. Tapi kamu jangan khawatir, Farhan masih sanggup melanjutkan pertandingan.
Babak kedua berjalan lebih sengit. Meski tim pendatang baru, permainan futsal pesantren DH tak bisa dianggap remeh. Tim ruan rumah nampak kesulitan membongkar pertahanan tim DH yang dikomandoi oleh Agus. Farhan juga beberapa kali memaksa suporter tuan rumah menahan nafas panjang lantaran nyaris merobek gawang lawan. Farhan benar-benar jadi sasaran empuk bek lawan untuk dihadang dan dijatuhkan.
Bola kini di kaki Farhan. Ia berdiri di tengah lapangan. Kamal membuka ruang ke sisi kanan. Melihat pergerakan Kamal, Farhan langsung mengoper bola yang diterima dengan kontrol yang sangat baik. Seorang pemain lawan berusaha merebut namun Kamal dengan cerdiknya mengembalikan bola ke Farhan. Ia langsung berlari menggiring bola, melewati dua pemain yang mencoba menghadang. Suporter tim tuan rumah dibuatnya tegang.
Lagi-lagi Kamal datang membuka ruang namun pergerakannya dibayang-bayangi bek lawan. Farhan masih menguasai bola. Seorang pemain lawan berusaha merebut bola itu namun Farhan langsung mengoper ke samping kiri, ternyata di sana sudah ada Sudir yang membantu penyerangan. Ia tak terkawal. Terus berlari dan merangsek masuk menuju gawang.
Tim lawan kocar-kacir dibuatnya. Mereka berusaha mengepung pergerakan Sudir. Di saat itulah Sudir mengembalikan bola ke Farhan yang berdiri bebas tanpa pengawalan apapun. Taktik mereka berhasil, paling tidak sejauh ini.
Farhan segera menyambut bola yang disodorkan Sudir dengan tendangan first time. Bola itu meluncur deras ke pojok kanan atas gawang lawan tanpa bisa ditepis kiper. GOOOLLLL!!! Farhan berhasil memberi angka untuk timnya. Penonton membisu menyaksikan tim mereka tertinggal di lima menit terakhir babak kedua.
Seusai melakukan selebrasi kecil-kecilan tim DH kembali ke formasi awal. Peluit ditiup tanda bertandingan kembali dilanjutkan. Kali ini tim tuan rumah benar-benar mengamuk. Mereka memborbardir pertahanan tim DH. Mutlak bola dikuasai tim tuan rumah. Mereka enggan tumbang di kandang sendiri. Serangan yang masif itu memaksa Sudir melakukan pelanggaran di dalam kotak terlarang. Wasit memberi hadiah pinalti yang berhasil dikonversi menjadi gol oleh tim lawan. Skor kembali sama kuat. Pertandingan kembali sengit. Farhan menyemangati kawan-kawannya. Agus mengangguk dan berkata lirih ; “man jadda wajada”

***

Upacara hari Senin itu terasa sedikit berbeda. Yang bertindak sebagai inspektur upacara bukan Ustad Malik, tapi Ustadz Zain. Setelah inspektur upacara selesai menyampaikan amanatnya, MC menambahkan satu lagi acara di apel bendera itu, yakni penyerahan tropi tim futsal DH kepada pihak madrasah yang diwakili oleh Farhan selaku kapten dan pemain terbaik di kompetisi tersebut. Pihak madrasah diwakili oleh Ustadz Zain, tentunya juga mewakili Ustadz Malik selaku kepala madrasah yang berhalangan hadir.
Farhan maju membawa tropi besar diiringi tepuk tangan meriah dari seluruh santri dan jajaran ustadz. Selanjutnya MC menjelaskan bahwa tim futsal madrasah mereka berhasil meraih juara dua tingkat kabupaten. Itu adalah kali pertama tim futsal DH menjuarai turnamen. Semua bangga. Semua senang. Dan semua terinspirasi. Ustadz Zain yang menerima tropi pun sumringah dan menepuk bahu Farhan penuh bangga. Semoga Ustadz Malik juga bangga.
“Mewakili madrasah, saya menerima piala ini dengan bahagia dan rasa bangga. Semoga bisa menginspirasi santri-santri yang lain. Dan sebagai apresiasi, kami akan berikan keringanan untuk mereka agar bisa mengikuti ujian susulan mata pelajaran kepondokan yang mereka tinggalkan sewaktu pertandingan final kemarin.” Ucap Ustadz Zain disambut sorak sorai dari seluruh santri.
Hari itu adalah milik Farhan dan kawan-kawan. Mereka membuktikan bahwa berprestasi tak hanya perkara akademik. Prestasi terbaik adalah saat engkau berusaha, berjuang, sekaligus berkorban dan berani menanggung segala resiko dengan kemantapan hati. Tidak apa bukan kepala madrasah yang menerima tropi mereka, yang penting beliau tahu bahwa apapun potensi yang dimiliki santri pasti bisa dijadikan modal berprestasi. Apakah pondok ini tidak bangga jika kelak bisa menghasilkan pesepak bola yang membela timnas Indonesia namun tetap berkarakter santri baik di lapangan hijau maupun dalam kehidupan sehari-hari? Nggak pernah diving, bersih dari kartu merah, dan selalu menjunjung tinggi fair play selama berlaga.
“Seandainya Ustadz Malik mengijinkan, mungkin kalian bisa juara satu.” ucap Ustadz Zain pada Farhan sembari tertawa.
“Benar ustadz, kami cuma kurang doa restu. Andai direstui kami malah bisa sampai provinsi.”
“Ya sudah! Sekarang siap-siap untuk ujian Tafsir dan Fiqih susulan!”
“Siap, Ustadz! Laksnakan”
Hari itu semua bahagia dan bangga. Tak terkecuali Ustad Malik yang diam-diam mengintip prosesi serah terima piala itu dari balik tirai jendela di dalam kantornya.

Jogja, 04 April 2017
04:28 WIB

Bang Izzu

Komentar

Postingan Populer